Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘tokoh’ Category

Bismillahirrohmanirrohim.

Halo, akhirnya setelah 2 tahun lebih saya vakum menulis di blog, akhirnya di malam yang sunyi ini, ditemani hujan ringan yang mengguyur Jogja, saya putuskan untuk kembali menulis..

Sebenarnya, sungguh, saya memilih waktu yang sangat tidak pas untuk menulis blog. Kenapa? Karena 2 hari lagi saya harus mengumpulkan sebuah makalah, serta mempresentasikan 2 tugas besar untuk 2 mata kuliah yang berbeda. Tapi, sudahlah.. Saya ingin menulis.

 

Di tulisan kali ini, saya hendak bercerita tentang “perjalanan pemikiran” yang telah saya lalui beberapa tahun terakhir. Sedikit kilas balik hingga akhirnya saya berada di tempat saya berada sekarang.

Saya mulai memiliki pergulatan batin yang cukup serius dan intens di usia 16 tahun, berarti telah dimulai sekitar 12 tahun silam. Di periode sebelumnya, bukan berarti pergulatan batin itu tak ada, namun rasa-rasanya belum signifikan. Tercetusnya kesadaran untuk “mencari jawaban atas berbagai kegelisahan”, yaitu saat di usia 16 tahun tersebut (tahun 2003) saat saya mulai membaca buku “Arus Balik” karya pak Pramoedya Ananta Toer. Arus Balik adalah buku kemanusiaan pertama yang saya baca setelah sekian lama saya “hanya” membaca kumpulan komik balet, komik detektif, novel detektif, novel horor, majalah remaja, dan semacamnya.

Kemanusiaan dan Nasionalisme, adalah kegelisahan pertama yang saat itu kerap “menghantui” pikiran saya. Ternyata sastra kemanusiaan yang ditawarkan pak Pram adalah candu yang dasyat bagi saya, sehingga selama beberapa tahun setelahnya pun saya terus merasa kehausan untuk mencari-cari tulisan-tulisan tentang kemanusiaan dan nasionalisme yang lain, baik itu karya pak Pram atau karya penulis-penulis hebat lainnya.

Arus Balik, dilanjutkan dengan Tetralogi Buru (Bumi Manusia – Anak Semua Bangsa – Jejak Langkah – Rumah Kaca), telah membuka mata hati saya untuk lebih mendalami dan belajar tentang sejarah-sejarah bangsa Indonesia. Lebih dari itu, membuka mata hati saya untuk juga melihat fenomena-fenomena sosial-kemanusiaan yang terjadi di sekitar saya. Saya menjadi kenal dengan banyak tokoh-tokoh Nasional lainnya, salah satu yang terpenting bagi saya adalah pak Tan Malaka. Pak Tan Malaka lewat tulisan-tulisannya, membuka gerbang-gerbang pengetahuan dan pandangan yang baru, yang mungkin belum dibukakan oleh pak Pram, misalnya tentang gerakan kiri, juga tentang Islam. Namun koridor dan temanya tentu saja masih sama, yaitu “Nasionalisme” yang berhubungan erat dengan sosial-kemanusiaan.

Saya masih bisa mengingat dengan jelas, pada tahun-tahun tersebut (mungkin sekitar 2006-2011), berkat pak Pramoedya dan pak Tan Malaka, saya telah bertranformasi dari remaja yang penuh rasa penasaran menjadi seorang dewasa muda yang diliputi rasa cinta pada NKRI. Saya gemar menambah pengetahuan tentang “nasionalisme” ini, misalnya dengan cara berdiskusi bersama teman-teman yang juga memiliki jiwa nasionalisme yang cukup baik, mengikuti perkembangan berita-berita tentang NKRI, melakukan kegiatan-kegiatan sosial-kemanusiaan yang tetap ada hubungannya dengan kecintaan terhadap NKRI, hingga menulis hal-hal yang berbau nasionalisme di blog ini (terekam sejak tahun 2008).

Lalu, di suatu malam di tahun 2011, berlokasi di sebuah warung soto di jalan Cihampelas Bandung, saya berbincang ringan dengan salah seorang teman baik. Di perbincangan malam itu, ia mengemukakan pendapatnya tentang ketidak-setujuannya akan sebuah Negara. Baginya, Negara adalah sebuah mesin/sistem penindasan bagi rakyatnya. Saat itu, apa yang ia kemukakan merupakan ide yang (sangat) aneh, yang saat itu belum pernah saya dengar sebelumnya. Tentu saja malam itu saya sempat menentang dan memperdebatkan pendapatnya itu, karena setahu saya, para Bapak Bangsa tidak mendirikan NKRI dengan tujuan untuk menindas rakyat Indonesia, justru sebaliknya, para Bapak Bangsa mendirikan NKRI untuk membebaskan dan memerdekakan rakyat Indonesia dari Tirani Kolonialisme. Saat itu, pendapat teman saya itu saya anggap sangat aneh dan tidak saya benarkan, namun tetap saja komentarnya itu tersimpan dengan baik di dalam pikiran saya dan saya anggap itu sebagai sebuah pengetahuan baru.

Di tahun-tahun berikutnya, di kehidupan sehari-hari atau dari berita-berita di sosial media/media mainstream, anehnya saya banyak melihat alasan-alasan masuk akal untuk membenarkan pendapat teman saya yang pernah ia lontarkan kepada saya di tahun 2011 tersebut. Betapa Negara ini suka bertindak tak adil terhadap rakyatnya. Betapa banyak penindasan-penindasan yang dilakukan oleh aparatur-aparatur negara terhadap rakyatnya. Pemukulan terhadap para petani di Kendeng yang menolak pendirian pabrik semen, misalnya. Atau pembunuhan terhadap para aktivis lingkungan yang bersuara nyaring melawan korporasi. Atau pengabaian pemerintah terhadap kaum fakir-miskin. Atau daftar kasus korupsi dari para pejabat pemerintahan yang tidak ada habisnya. Atau kasus-kasus hukum yang tebang pilih, keras pada yang miskin, lembek pada yang kaya. Sebut saja, daftar penindasan ini tidak akan habis jika saya teruskan.

Hingga di satu titik, mungkin di tahun 2013 atau 2014, saya pun mulai muak dengan pemberitaan-pemberitaan di media mainstream, utamanya televisi. Saya mulai enggan memikirkan tentang “negara” atau “nasionalisme” atau isu-isu terkini tentang politik dagelan yang ada di televisi. Sosial-kemanusiaan menjadi jauh lebih penting bagi saya, dibandingkan sekedar “nasionalisme” semu yang banyak digembar-gemborkan, yang makin hari saya pun makin kehilangan maknanya. Lambat laun saya berpikir, untuk apa lagu-lagu kebangsaan itu? Bendera itu? Simbol ini simbol itu? Jika rakyat di dalamnya saja masih susah makan, masih hidup dalam garis kemiskinan, masih ditindas oleh korporasi (yang dibantu oleh aparatur negara), dan masih-masih yang lain.

Di saat yang bersamaan, tepatnya sejak saya menikah di tahun 2012, saya mulai banyak belajar tentang Islam. Sehingga tahun 2014, saat saya berada di titik “muak” terhadap persoalan-persoalan negara yang tidak ada habisnya itu, saya lebih mengembangkan pengetahuan dan pemikiran saya ke arah religi. Saya sedikit demi sedikit belajar tentang Islam, saya rutin mendatangi acara-acara pengajian, dakwah, atau diskusi-diskusi yang ada kaitannya dengan Islam, khususnya yang menyentuh ranah kehidupan sosial sehari-hari. Saya juga banyak berdiskusi dan bertukar pikiran dengan teman-teman mengenai hal ini. Buku-buku yang jadi santapan saya pun tidak lagi didominasi dengan buku-buku bertema nasionalisme. Saya juga tak lagi ingin banyak tahu tentang seluk beluk dunia politik praktis, sekalipun sesekali saya tetap mengikuti perkembangan berita tentang hal-hal tersebut. Saya lebih memilih dan menyenangi buku dengan tema-tema yang lebih sederhana, buku yang menyentuh ranah sehari-hari kita sebagai manusia. Sastra pak Pram tetap menjadi favorit, tentu saja. Namun sastra karya Y.B. Mangunwijaya tidak kalah indahnya, dengan temanya yang sederhana. Buku-buku karya Emha Ainun Nadjib juga menjadi sangat menarik, karena ia menyentuh ranah budaya dan sosial-kemanusiaan yang banyak ditinjau dan dikaitkan dengan nilai-nilai Islam. Karya-karya Nietzsche dan Goethe juga memiliki tempat yang istimewa di dalam pikiran saya. Di periode 2014-2015 ini, saya lagi-lagi bertransformasi, dari seorang dewasa muda yang jiwanya penuh dengan gejolak nasionalisme, menjadi seorang dewasa yang -bisa dibilang- lebih bijak, semoga. Jika mengutip kata-kata Rumi, mungkin kutipan berikut cukup tepat menggambarkan transformasi ini.

“Yesterday I was clever, so I wanted to change the world.

Today I am wise, so I am changing myself.”

Namun ternyata 2015 tidak menyelesaikan ceritanya sampai di situ. Saya, yang tak lagi terlalu tertarik dengan hal-hal berbau politik praktis, yang tak lagi se”nasionalis” dulu, ternyata tetap memiliki kesadaran untuk “mencari jawaban atas berbagai kegelisahan”, sama seperti saya 12 tahun yang lalu. Kegelisahan itu masih ada, jawaban yang saya cari belum juga ketemu. Setiap hari, setiap jam, setiap menit saya masih melihat penindasan di mana-mana, saya masih sering menitikkan air mata dengan sebab-sebab yang mungkin dianggap remeh oleh sebagian besar orang.

Melihat para karyawan di DKI Jakarta pulang berdesak-desakan di dalam bus trans-jakarta, hati saya hancur. Melihat pemulung sedang mengambili botol-botol plastik bekas di jalan, hati saya hancur. Melihat orang-orang kaya yang kikir dan bersikap keras terhadap “orang kecil”, hati saya hancur. Melihat kemiskinan dan penderitaan yang begitu banyak terjadi di sekeliling saya setiap hari, menghancurkan hati saya setiap hari. Lagi dan lagi.

Penghisapan oleh korporasi terhadap rakyat kebanyakan, kesewenang-wenangan aparatur negara terhadap rakyat kecil, manipulasi media yang dengan sukses membuat masyarakat tercuci otak menjadi konsumtif dan mengejar gaya hidup “ideal” ala modal, pengrusakan dan eksploitasi lingkungan yang terus-menerus, jarak yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin, ketidak-pedulian kaum terpelajar terhadap kondisi yang sedemikian gelap ini, telah mengahncurkan hati saya secara konstan dan terus-menerus. Setiap hari, setiap saat.

Saya tahu ada yang salah, tapi apa? Apa inti persoalannya? Apa isu besarnya? Bagaimana pemecahannya? Saya tidak tahu. Saya terombang-ambing dan terus mengalami kegelisahan.

Tapi, seperti pesan mas Budiman Sudjatmiko, “jangan pernah abaikan kegelisahan di dalam hatimu.”, maka untuk itulah saya tak pernah mengabaikan kegelisahan itu. Saya terus mencari dan mencari, membuka hati, mengkaji, menambah pengetahuan, dan tidak lupa berdoa. Setiap kali saya membaca surat Al-Fatihah, saya memang sungguh-sungguh mengharapkan Alloh, Subhanahu wa Ta’ala, menunjuki saya jalan yang lurus, jalan yang Ia ridhai, bukan jalan orang-orang yang Ia murkai, dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat.

Hingga suatu hari di tahun 2015, tepatnya mungkin sekitar 2-3 bulan yang lalu, sampailah “perkenalan” saya kepada dua orang Guru. Perkenalan saya di sini, sayangnya, bukan perkenalan tatap muka secara langsung, namun perkenalan saya terhadap pemikiran-pemikiran beliau berdua yang tertuang pada karya-karya tulis maupun buku-buku. Berbeda dengan perkenalan saya terhadap pak Pramoedya Ananta Toer dan pak Tan Malaka di mana kedua penulis hebat dan kedua pemikir revolusioner tersebut saya “temui” setelah mereka berdua tak lagi hidup di atas bumi ini. Kedua Guru saya kali ini masih hidup, sekalipun beliau berdua berada di belahan bumi bagian Barat yang jauh dari Indonesia. Beliau adalah Shaykh Dr.Abdalqadir As-Sufi dan Shaykh Umar Ibrahim Vadillo.

Buku karya Shaykh Dr.Abdalqadir As-Sufi, terutama Root Islamic Education, berhasil membuka mata hati saya akan jawaban kegelisahan yang saya cari-cari selama ini. Beliau sendiri dahulu tidak lahir sebagai Muslim, dan memilih Islam dengan kesadaran penuh melalui perjalanan pemikiran yang sangat panjang. Dalam berbagai dakwahnya, beliau “menguliti” permasalahan umat manusia dewasa ini. Memberikan kesadaran tentang apa isu besar dan inti persoalan yang sedang dihadapi umat manusia saat ini. Mengapa umat manusia mengalami degradasi moral dan sosial seperti yang terjadi hari ini. Apa yang membuat umat manusia saat ini “berkubang” dalam kegelapan. Adapun Shaykh Umar Ibrahim Vadillo, dalam berbagai tulisan dan dakwahnya, dengan gamblang menjelaskan tentang apa itu “kapitalisme”, seluk beluknya, dan bagaimana kapitalisme telah menjadi sebuah “agama” yang membuat seluruh umat manusia saat ini tunduk tak berkutik di bawah kekuasaannya, dan mengapa umat Muslim wajib memeranginya. Beliau berdua, tak membicarakan mengenai janggut, atau potongan celana, karena Islam memang bukan tentang itu. Islam sudah sedemikian dikebiri hingga hanya boleh menyentuh ranah moral-pribadi. Padahal seharusnya Islam menjadi sebuah realitas sosial-politik.

Semua ketidak-adilan karena sistem yang ada saat ini, sehingga mengakibatkan kedzaliman yang luar biasa terhadap umat manusia, mengakibatkan kehancuran lingkungan yang luar biasa, mengakibatkan kemiskinan dan penderitaan di mana-mana, dan hanya menguntungkan segelintir  manusia, yang telah menjadi pokok kegelisahan saya selama bertahun-tahun, yang membuat hati saya hancur secara terus menerus, ternyata kedzaliman dan keadaan gelap-gulita yang terjadi saat ini sudah diramalkan oleh Rasulullah, Salallahu ‘alayhi wa salam, sejak jaman dahulu. Dan jalan keluarnya pun dengan terang benderang dan jelas sudah ada di dalam Al-Qur’an, walaupun sebagian besar umat Muslim hari ini pun mengingkari itu, dengan atau tanpa mereka sadari. Pengkerdilan terhadap Islam sebagai realitas sosial-politik menjadi sekedar moralitas-pribadi sudah demikian jauh, sehingga umat Muslim sendiri tidak tahu siapa musuh terbesar mereka, umat Muslim tidak sadar apa yang harus mereka perangi, dan justru sibuk meributkan hal-hal remeh seperti janggut dan potongan celana. Atau sibuk melakukan bom-bom bunuh diri. Sedemikian hebat pengkerdilan yang dilakukan terhadap Islam, hingga siapapun yang berusaha menegakkan kembali Islam sebagai sebuah realitas sosial-politik di masa ini akan dianggap sangat aneh dan tidak lazim. Ini pun ternyata telah diperkirakan oleh Rasulullah, Salallahu ‘alayhi wa salam,

“Islam mulai sebagai sesuatu yang tidak biasa dan asing dan akan kembali lagi sebagaimana ia mulai.”

Baru 2-3 bulan saya “bertemu dan mengenal” dua Guru baru saya yang sangat revolusioner ini, masih banyak sekali hal-hal yang harus saya pelajari. Namun yang saya yakini, sebuah keyakinan yang begitu mantap yang baru pertama kali saya miliki selama 28 tahun saya hidup di muka bumi ini, bahwa Islam adalah jalan yang saya pilih dengan penuh kesadaran, bukan Islam yang sekedar sebagai “moralitas-pribadi” seperti keinginan para kapitalis itu, tapi lebih jauh, yaitu Islam sebagai sebuah realitas sosial-politik, Islam sebagai jalan hidup, dan Islam sebagai sebuah jalan keselamatan dan penerang. Bukan dwi-shahadat yang diucapkan setiap hari lewat mulut (ketika menjalankan solat) tapi diingkari dalam perbuatan sehari-hari, namun dwi-shahadat yang diucapkan terus-menerus sekaligus dijalankan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Insya Allah.

Saya akan menutup tulisan yang sudah kepanjangan ini dengan kutipan singkat dari Shaykh Umar Ibrahim Vadillo,

“Be mad (intoxicated) in Allah, until they call you a Hypocrite.

Be mad in Him.”

Read Full Post »

to all the girls.

When it comes to men who are romantically interested in you, it’s really simple. Just ignore everything they say and only pay attention to what they do. 

– Randy Pausch

Read Full Post »

Di kegelapan ruangan, cahaya berwarna warni berpendar dengan indahnya. Menerobos celah-celah yang ada, besar dan kecil, dengan letak yang tak beraturan. Sama tak beraturannya dengan bentuk geometri ruangan tersebut. Itulah Notre Dame du Haut karya seorang arsitek yang namanya pasti tak asing lagi di telinga kita, Le Corbusier.

 

Notre Dame du Haut adalah sebuah gereja yang berdiri kokoh di atas bukit di sebuah kota kecil bernama Ronchamp. Saya belum pernah ke Ronchamp, untuk itu saya juga belum pernah melihat secara langsung karya Corbusier ini. Namun ada satu hal yang saya tangkap saat melihat foto-foto gereja ini, yakni kesendirian.

 

Sebenarnya saya agak heran mengapa arsitek semacam Corbusier, seorang pencetus Arsitektur Modern, bisa membuat karya seperti Notre Dame du Haut ini. Melihat bentuknya yang plastis, gereja ini tidak memiliki karakter Arsitektur Modern yang biasanya dicirikan dengan bentuk geometris kotak yang kuat. Melihat bentuknya yang lebih mirip karya seni, gereja ini jelas tidak pula memenuhi syarat arsitektur modern yang bersifat industrialis dan bisa diproduksi massal.

Lantas, apa maksud Corbusier? Sama seperti supir bajaj, tidak ada yang tahu apa maksudnya, kecuali Corbusier sendiri, dan Tuhan tentunya. Saya yang berada di barisan penonton hanya bisa menikmati du Haut sambil menginterpretasikan sendiri apa maksud di balik rancangannya yang tidak biasa ini.

Banyak yang berpendapat bahwa Corbusier mementingkan prinsip rasional dalam merancang du Haut, sehingga karya ini menjadi pondasi dan pijakan penting arsitektur modern. Ada juga yang bilang bahwa Corbusier membuat gereja ini tanpa mementingkan prinsip kebebasan, melainkan lebih mementingkan prinsip kemurnian alam.

 

Namun, lain kata orang, lain pula kata saya. Hahaha. Sayangnya kacamata saya justru melihat bahwa karya ini jauh dari prinsip rasional Arsitektur Modern. Untuk itulah di awal tadi saya mengatakan gereja ini lebih mirip sebuah karya seni ketimbang produk teknologi dari Arsitektur Modern.

Saya juga berpendapat bahwa Corbusier justru sangat bebas dan lepas saat merancang du Haut. Ia justru menjadi sangat individualis dan tidak lagi terbelenggu dengan label yang sudah terlanjur membelenggu dirinya. Ia juga tidak lagi memikirkan keselerasan bangunan ini dengan sekitarnya. Sehingga bangunan ini tampil sendirian dengan segala keunikannya di antara rumah-rumah penduduk di Ronchamp. Tidak heran jika hingga kini, Notre Dame du Haut menjadi ikon bagi kota Ronchamp.

Saya juga cenderung menghubungkan karakter bebas dan individualistis yang sangat terasa pada du Haut ini dengan fungsinya sebagai rumah ibadah. Di mana menurut saya (dan mungkin menurut Corbusier) hubungan seseorang dengan Tuhannya itu sangat personal, hingga tak ada pengaruh-pengaruh luar lain yang bisa mengganggu itu. Untuk itulah Corbusier pun melepaskan atributnya sebagai bapak Arsitek Modern, dan memilih bersikap bebas dan individual pada karya ini.

 

Lantas saya semakin yakin dengan pendapat saya saat suatu hari saya mengetahui bahwa ia pernah mengatakan ini selama proses merancang Notre Dame du Haut,

Lima tahun terasing di bukit, saya tidak dapat menjelaskan arti sebuah pekerjaan dalam kehidupan saya. Pekerjaan mungkin sekedar suka atau tidak suka, mengerti atau tidak mengerti. Apa bedanya itu bagi saya?

 

🙂

 

Read Full Post »