Saya mulai mengenal dunia jurnalisme sekitar delapan tahun silam, yakni ketika saya membaca kisah tentang Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Ia adalah seorang pendiri surat kabar Medan Prijaji, surat kabar pertama yang menggunakan Bahasa Melayu-Pasar. Penggunaan bahasa melayu-pasar ini memiliki tujuan tersendiri, yakni agar semakin banyak pribumi (yang kala itu hanya sanggup berbahasa melayu-pasar) membaca surat kabar ini. Tidak hanya pilihan bahasa, pilihan hurufnya pun lebih besar jika dibandingkan dengan surat kabar lain yang ada kala itu. Alasannya sederhana saja, agar banyak pribumi yang matanya tak begitu sehat dan tak mampu membeli kacamata tetap sanggup membaca surat kabar ini. Dengan semakin banyaknya pribumi yang sanggup membaca surat kabar ini, maka semakin ampuhlah surat kabar ini sebagai alat propaganda dan pembentuk opini publik. Medan Prijaji dengan kritik-kritik pedasnya terhadap pemerintahan Kolonial, berita-beritanya yang menggelorakan jiwa, hingga rubrik-rubrik tanya jawab yang sangat mengedukasi, membuatnya menjadi pemantik api keberanian bagi setiap pribumi terjajah yang membacanya. Maka tak berlebihan jika saya mengatakan bahwa TAS dengan Medan Prijaji nya menandakan dimulainya periode Kebangkitan Nasional di negeri ini. Fungsi utama jurnalisme sebagai alat propaganda dan pembentuk opini publik, saya nilai sangat efektif kala itu untuk membukakan mata masyarakat bahwa apa yang mereka terima selama itu dari pemerintah Kolonial patut untuk dilawan. Jangan lupa, kala itu juga ada surat kabar asuhan Kolonial atau asuhan pribumi yang memihak kepentingan Kolonial yang beredar di wilayah Indonesia. Maka hadirnya Medan Prijaji penting untuk “melawan” berbagai surat kabar asuhan Kolonial, sekaligus penting untuk meningkatkan rasa percaya diri masyarakat pribumi di jaman itu.
Fungsi jurnalisme sebagai alat propaganda dan pembentuk opini publik tidak berubah hingga kini. Yang membedakan hanya tujuannya. Jika dulu TAS melahirkan Medan Prijaji dengan tujuan pencerdasan dan peningkatan kualitas kepercayaan diri bagi masyarakat pribumi, maka jurnalisme hari ini tidak demikian. Bahkan bisa dibilang, justru sebaliknya, yaitu pembodohan dan penurunan kualitas kepercayaan diri masyarakat. Jika dulu Medan Prijaji menjadi pemantik api keberanian bagi masyarakat untuk mulai melawan penindasan Kolonial, maka jurnalisme hari ini justru membuat kebanyakan masyarakat menjadi insecure dan mengalami krisis keberanian (baca: pengecut). Tidak semua memang, tapi sebagian besar.
Mungkinkah ini karena jurnalisme hari ini bertuhan kepada Modal?
Ah, jawabannya tentu saja bukan mungkin, tapi pasti!
Mengerikan memang tuhan yang bernama Modal ini. Ia begitu berkuasa dan mampu membuat segala-galanya tunduk patuh terhadapnya. Ia mampu membuat semua yang tak mau tunduk patuh, tergilas dan tergerus habis. Jurnalisme hari ini, bukan pengecualian. Ia pun tunduk patuh terhadap Modal.
Saya sendiri dua tahun belakangan ini terjun di dunia jurnalisme. Jurnalisme-arsitektur lebih spesifiknya. Saya memang bukan seorang jurnalis kawakan jika dilihat dari rentang waktu keterlibatan yang baru seumur jagung tersebut, tapi saya tahu apa-apa yang dipentingkan di dunia ini. Saya tahu karena saya berkecimpung sendiri di dalamnya.
Saat awal saya memasuki dunia ini, saya berpikir bahwa fungsi adanya jurnalisme-arsitektur adalah untuk mengenalkan dunia arsitektur kepada masyarakat luas, membuat masyarakat luas sadar terhadap keberadaan dan eksistensi dunia arsitektur, lebih jauh membuat masyarakat luas paham terhadap seluk beluk dunia arsitektur. Namun kenyataan di dunia modal tentu saja tak seindah angan-angan. Pada kenyataannya, saya, sebagai salah satu jurnalis arsitektur, harus pula tunduk patuh terhadap tuhan yang satu ini: Modal.
Beberapa bulan awal berada di dunia jurnalisme-arsitektur, saya memiliki semangat menggelora dan ketertarikan yang cukup kuat. Saya bersemangat untuk berkenalan dengan para Arsitek dan Desainer kawakan negeri ini, bertukar pikiran dengan mereka adalah pengalaman yang patut dikenang. Saya tak bosan untuk menghadiri berbagai acara diskusi dan peluncuran buku, merasakan keriuhannya, kembali berkenalan dengan orang-orang baru. Saya tak hendak melewatkan secuil detail pun saat mengunjungi karya-karya arsitektural yang begitu mengagumkan, karya-karya yang nantinya akan saya liput dan ulas di majalah tempat saya bekerja. Soal menulis artikel, jangan ditanya, ini adalah hal yang paling saya gemari. Saya suka menulis, dan memiliki kesempatan untuk menulis bidang yang telah saya pelajari selama 4 tahun kuliah, dan saya tahu bahwa tulisan tersebut akan dibaca oleh banyak orang, tentu merupakan kehormatan tersendiri.
Di permukaan, dunia ini terasa begitu menggairahkan. Namun, tidak butuh waktu lama bagi sang Modal untuk merenggut gairah tersebut dari hati dan pikiran saya. Dengan segera, saya tahu bahwa yang dipentingkan dari dunia ini adalah soal bisnis semata, tidak lebih. Dan selama sang Modal masih berkuasa, soal bisnis inilah yang akan selalu dipentingkan dalam setiap aspek kehidupan umat manusia. Walaupun para jurnalis-arsitektur yang jauh lebih senior meyakinkan saya bahwa apa yang kami lakukan ini “mulia”, yakni memperkenalkan dan mengedukasi masyarakat luas mengenai arsitektur, namun kenyataan dengan ucapan memang tak selalu sama. Tidak, bukan edukasi bagi masyarakat yang penting, yang penting hanya bisnis yang menguntungkan. Lagi-lagi yang penting hanyalah sang Modal.
Tuntutan bagi jurnalis-arsitektur baru seperti saya hanyalah untuk mampu berkenalan dengan sebanyak-banyaknya Arsitek dan Desainer ternama, dengan tujuan merebut kepercayaan mereka, lantas bisa “menguasai” karya-karya terbaru dan terbaik mereka untuk diulas di dalam majalah. Majalah yang akan memenangkan pasar dan mampu bertahan di dunia Modal ini adalah majalah yang bisa menampilkan karya-karya paling menakjubkan dan paling baruyang sebisa mungkin dirancang oleh Arsitek yang paling ternama. Semakin bergengsi dan tersohor Arsitek yang ditampilkan, semakin bergengsi pula majalah itu. Tidak berbeda dengandunia jurnalisme pada umumnya, sebut saja surat kabar atau televisi. Semakin surat kabar tersebut mampu menghadirkan berita-berita “panas”, semakin larislah ia. Berita-berita itupun tidak sepenuhnya kebenaran. Banyak yang “dipoles” agar sesuai dengan keinginan pasar dan pemegang modal. Omong kosong itu edukasi buat masyarakat. Jurnalisme hari ini hanyalah alat propaganda Modal, agar ia bisa terus berjaya dan berkuasa atas umat manusia. Dan para jurnalisnya adalah ujung tombak sang Modal dalam memburu dan menyebarkan berita. Berita-berita yang berpihak kepada Modal, tentu saja.
Kenapa saya bilang bahwa jurnalisme hari ini berpihak kepada Modal? Lihat saja di kehidupan sehari-hari kita. Berkat TV, surat kabar, dan majalah, kita menjadi terdoktrin untuk memiliki sebuah kehidupan ideal ala Modal. Rumah besar dengan kolam renang dan taman yang luas lengkap dengan perabot-perabot stylish yang tentu tak murah harganya, mobil terkini, gadget terkini, tak lupa untuk selalu memakai baju, tas, dan sepatu branded. Gaya hidup dibentuk sedemikian rupa agar semakin menguatkan sang Modal. Kita dipaksa masuk ke dalam sistem agar mampu bertahan. Kita didoktrin untuk mencapai “puncak” karir agar kualitas kehidupan ala modal ini semakin baik dan nyaman. Untuk mencapai puncak karir, maka mesti menjadi tangan kanan sang Modal, kita diajarkan tak peduli dengan penghisapan antar kelas, semua itu wajar kata mereka. Kita ditidur-lenakan dengan fasilitas dan kenyamanan, tanpa sadar bahwa tiap detik waktu berharga kita terbuang untuk menguatkan kekuasaan sang Modal.
Tidak, saya tak bermaksud menyudutkan jurnalisme, atau arsitektur, atau jurnalisme-arsitektur. Yang saya benci adalah Modal yang telah menguasai bidang-bidang tersebut dan membuatnya berubah. Di awal tulisan tadi, saya mengatakan bahwa tidak semua jurnalisme dikuasai Modal, dan itu benar. Masih ada teman-teman yang menjalankan fungsi jurnalisme-arsitektur atau fungsi arsitektur tanpa diperbudak oleh Modal. Masih ada yang benar-benar serius dengan ucapannya untuk mengenalkan dunia arsitektur kepada publik, untuk menyebarkan manfaat arsitektur.
Ivan Kurniawan Nasution bersama Giri Narasoma, dua-duanya kakak kelas saya di kampus, mendirikan web dan free e-magz tentang arsitektur dan urban desain, yakni: membacaruang.com
Danny Wicaksono, seorang arsitek muda, mendirikan: JongArsitek.com dengan free e-magz dan berbagai kegiatan yang sangat menarik
Raras dan Sri, dua-duanya adik kelas saya di kampus, membuat blog tentang kota, yakni: kolasekota.tumblr.com
Alexander Phillips, seorang teman dari negeri nun jauh di sana yang saya kenal lewat twitter, bersama seorang kawannya menggagas web mengenai urban desain, yakni: urbantimes.co
dan masih banyak lagi.
Tak hanya dalam hal jurnalisme-arsitektur, dalam hal arsitektur itu sendiri, tak sedikit Arsitek yang mau mengaplikasikan ilmu mereka tanpa menghitung untung-rugi. Sebut saja Romo Mangun dengan rumah-rumah di bantaran kali Code, Yu Sing dengan program Papan untuk Semua, Yori Antar dengan peremajaan rumah-rumah Wai Rebo, dan pasti masih banyak lagi.
Sistem Modal memang tak bisa begitu saja dilenyapkan, tidak dalam waktu dekat, tidak jika tak ada yang berbuat apa-apa. Saya dan kalian memang butuh mendapatkan “untung” dalam bekerja, untuk bertahan hidup. Tak berarti semua yang kita lakukan hanya didasarkan untung-rugi. Tak berarti makna jurnalisme dibelokkan hanya untuk kepentingan Modal. Tak berarti kita diam saja dengan sistem penghisapan antar-kelas yang terus merajalela, legal, dan diwajarkan oleh masyarakat berkat propaganda Modal melalui media.
Mulai munculnya jurnalisme-warga yang tidak berkiblat pada Modal, adanya aksi-aksi spontan para Arsitek, tentu menumbuhkan harapan dan rasa tenang. Judul provokatif di atas tentu saja saya tujukan pada Jurnalisme-Modal. Mungkin ia masih akan terus hidup dan berkuasa untuk waktu yang lama, tapi yang saya percaya adalah jurnalisme yang diajarkan oleh TAS dengan Medan Prijaji nya. Mencerdaskan, bukan membodohi. Meningkatkan kepercayaan diri dan menggelorakan jiwa, bukan membuat menjadi ciut bahkan pengecut. Meluaskan sudut pandang dan wawasan, bukan menyempitkan. Melawan penghisapan dan penindasan, bukan ikut-ikutan melakukan penghisapan.
Selamat tinggal jurnalisme (modal). Mari terus berkarya!