Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘Arsitektur’ Category

Saya mulai mengenal dunia jurnalisme sekitar delapan tahun silam, yakni ketika saya membaca kisah tentang Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Ia adalah seorang pendiri surat kabar Medan Prijaji, surat kabar pertama yang menggunakan Bahasa Melayu-Pasar. Penggunaan bahasa melayu-pasar ini memiliki tujuan tersendiri, yakni agar semakin banyak pribumi (yang kala itu hanya sanggup berbahasa melayu-pasar) membaca surat kabar ini. Tidak hanya pilihan bahasa, pilihan hurufnya pun lebih besar jika dibandingkan dengan surat kabar lain yang ada kala itu. Alasannya sederhana saja, agar banyak pribumi yang  matanya tak begitu sehat dan tak mampu membeli kacamata tetap sanggup membaca surat kabar ini. Dengan semakin banyaknya pribumi yang sanggup membaca surat kabar ini, maka semakin ampuhlah surat kabar ini sebagai alat propaganda dan pembentuk opini publik. Medan Prijaji dengan kritik-kritik pedasnya terhadap pemerintahan Kolonial, berita-beritanya yang menggelorakan jiwa, hingga rubrik-rubrik tanya jawab yang sangat mengedukasi, membuatnya menjadi pemantik api keberanian bagi setiap pribumi terjajah yang membacanya. Maka tak berlebihan jika saya mengatakan bahwa TAS dengan Medan Prijaji nya menandakan dimulainya periode Kebangkitan Nasional di negeri ini. Fungsi utama jurnalisme  sebagai alat propaganda dan pembentuk opini publik,  saya nilai sangat efektif kala itu untuk membukakan mata masyarakat bahwa apa yang mereka terima selama itu dari pemerintah Kolonial patut untuk dilawan. Jangan lupa, kala itu juga ada surat kabar asuhan Kolonial atau asuhan pribumi yang memihak kepentingan Kolonial yang beredar di wilayah Indonesia. Maka hadirnya Medan Prijaji penting untuk “melawan” berbagai surat kabar asuhan Kolonial, sekaligus penting untuk meningkatkan rasa percaya diri masyarakat pribumi di jaman itu.

 

Fungsi jurnalisme sebagai alat propaganda dan pembentuk opini publik tidak berubah hingga kini. Yang membedakan hanya tujuannya. Jika dulu TAS melahirkan Medan Prijaji dengan tujuan pencerdasan dan peningkatan kualitas kepercayaan diri bagi masyarakat pribumi, maka jurnalisme hari ini tidak demikian. Bahkan bisa dibilang, justru sebaliknya, yaitu pembodohan dan penurunan kualitas kepercayaan diri masyarakat. Jika dulu Medan Prijaji menjadi pemantik api keberanian bagi masyarakat untuk mulai melawan penindasan Kolonial, maka jurnalisme hari ini justru membuat kebanyakan masyarakat menjadi insecure dan mengalami krisis keberanian (baca: pengecut). Tidak semua memang, tapi sebagian besar.

Mungkinkah ini karena jurnalisme  hari ini bertuhan kepada Modal?

Ah, jawabannya tentu saja bukan mungkin, tapi pasti!

Mengerikan memang tuhan yang bernama Modal ini. Ia begitu berkuasa dan mampu membuat segala-galanya tunduk patuh terhadapnya. Ia mampu membuat semua yang tak mau tunduk patuh, tergilas dan tergerus habis. Jurnalisme hari ini, bukan pengecualian. Ia pun tunduk patuh terhadap Modal.

 

Saya sendiri dua tahun belakangan ini terjun di dunia jurnalisme. Jurnalisme-arsitektur lebih spesifiknya. Saya memang bukan seorang jurnalis kawakan jika dilihat dari rentang waktu keterlibatan yang baru seumur jagung tersebut, tapi saya tahu apa-apa yang dipentingkan di dunia ini. Saya tahu karena saya berkecimpung sendiri di dalamnya.

Saat awal saya memasuki dunia ini, saya berpikir bahwa fungsi adanya jurnalisme-arsitektur adalah untuk mengenalkan dunia arsitektur kepada masyarakat luas, membuat masyarakat luas sadar terhadap keberadaan dan eksistensi dunia arsitektur, lebih jauh membuat masyarakat luas paham terhadap seluk beluk dunia arsitektur. Namun kenyataan di dunia modal tentu saja tak seindah angan-angan. Pada kenyataannya, saya, sebagai salah satu jurnalis arsitektur, harus pula tunduk patuh terhadap tuhan yang satu ini: Modal.

 

Beberapa bulan awal berada di dunia jurnalisme-arsitektur, saya memiliki semangat menggelora dan ketertarikan yang cukup kuat. Saya bersemangat untuk berkenalan dengan para Arsitek dan Desainer kawakan negeri ini, bertukar pikiran dengan mereka adalah pengalaman yang patut dikenang. Saya tak bosan untuk menghadiri berbagai acara diskusi dan peluncuran buku, merasakan keriuhannya, kembali berkenalan dengan orang-orang baru. Saya tak hendak melewatkan secuil detail pun saat mengunjungi karya-karya arsitektural yang begitu mengagumkan, karya-karya yang nantinya akan saya liput dan ulas di majalah tempat saya bekerja. Soal menulis artikel, jangan ditanya, ini adalah hal yang paling saya gemari. Saya suka menulis, dan memiliki kesempatan untuk menulis bidang yang telah saya pelajari selama 4 tahun kuliah, dan saya tahu bahwa tulisan tersebut akan dibaca oleh banyak orang, tentu merupakan kehormatan tersendiri.

Di permukaan, dunia ini terasa begitu menggairahkan. Namun, tidak butuh waktu lama bagi sang Modal untuk merenggut gairah tersebut dari hati dan pikiran saya. Dengan segera, saya tahu bahwa yang dipentingkan dari dunia ini adalah soal bisnis semata, tidak lebih. Dan selama sang Modal masih berkuasa, soal bisnis inilah yang akan selalu dipentingkan dalam setiap aspek kehidupan umat manusia. Walaupun para jurnalis-arsitektur yang jauh lebih senior meyakinkan saya bahwa apa yang kami lakukan ini “mulia”, yakni memperkenalkan dan mengedukasi masyarakat luas mengenai arsitektur, namun kenyataan dengan ucapan memang tak selalu sama. Tidak, bukan edukasi bagi masyarakat yang penting, yang penting hanya bisnis yang menguntungkan. Lagi-lagi yang penting hanyalah sang Modal.

Tuntutan bagi jurnalis-arsitektur baru seperti saya hanyalah untuk mampu berkenalan dengan sebanyak-banyaknya Arsitek dan Desainer ternama, dengan tujuan merebut kepercayaan mereka, lantas bisa “menguasai” karya-karya terbaru dan terbaik mereka untuk diulas di dalam majalah. Majalah yang akan memenangkan pasar dan mampu bertahan di dunia Modal ini adalah majalah yang bisa menampilkan karya-karya paling menakjubkan dan paling baruyang sebisa mungkin dirancang oleh Arsitek yang paling ternama. Semakin bergengsi dan tersohor Arsitek yang ditampilkan, semakin bergengsi pula majalah itu. Tidak berbeda dengandunia jurnalisme pada umumnya, sebut saja surat kabar atau televisi. Semakin surat kabar tersebut mampu menghadirkan berita-berita “panas”, semakin larislah ia. Berita-berita itupun tidak sepenuhnya kebenaran. Banyak yang “dipoles” agar sesuai dengan keinginan pasar dan pemegang modal. Omong kosong itu edukasi buat masyarakat. Jurnalisme hari ini hanyalah alat propaganda Modal, agar ia bisa terus berjaya dan berkuasa atas umat manusia. Dan para jurnalisnya adalah ujung tombak sang Modal dalam memburu dan menyebarkan berita. Berita-berita yang berpihak kepada Modal, tentu saja.

 

Kenapa saya bilang bahwa jurnalisme hari ini berpihak kepada Modal? Lihat saja di kehidupan sehari-hari kita. Berkat TV, surat kabar, dan majalah, kita menjadi terdoktrin untuk memiliki sebuah kehidupan ideal ala Modal. Rumah besar dengan kolam renang dan taman yang luas lengkap dengan perabot-perabot stylish yang tentu tak murah harganya, mobil terkini, gadget terkini, tak lupa untuk selalu memakai baju, tas, dan sepatu branded.  Gaya hidup dibentuk sedemikian rupa agar semakin menguatkan sang Modal. Kita dipaksa masuk ke dalam sistem agar mampu bertahan. Kita didoktrin untuk mencapai “puncak” karir agar kualitas kehidupan ala modal ini semakin baik dan nyaman. Untuk mencapai puncak karir, maka mesti menjadi tangan kanan sang Modal, kita diajarkan tak peduli dengan penghisapan antar kelas, semua itu wajar kata mereka. Kita ditidur-lenakan dengan fasilitas dan kenyamanan, tanpa sadar bahwa tiap detik waktu berharga kita terbuang untuk menguatkan kekuasaan sang Modal.

Tidak, saya tak bermaksud menyudutkan jurnalisme, atau arsitektur, atau jurnalisme-arsitektur. Yang saya benci adalah Modal yang telah menguasai bidang-bidang tersebut dan membuatnya berubah. Di awal tulisan tadi, saya mengatakan bahwa tidak semua jurnalisme dikuasai Modal, dan itu benar. Masih ada teman-teman yang menjalankan fungsi jurnalisme-arsitektur atau fungsi arsitektur tanpa diperbudak oleh Modal. Masih ada yang benar-benar serius dengan ucapannya untuk mengenalkan dunia arsitektur kepada publik, untuk menyebarkan manfaat arsitektur.

Ivan Kurniawan Nasution bersama Giri Narasoma, dua-duanya kakak kelas saya di kampus, mendirikan web dan free e-magz tentang arsitektur dan urban desain, yakni: membacaruang.com

Danny Wicaksono, seorang arsitek muda, mendirikan: JongArsitek.com dengan free e-magz dan berbagai kegiatan yang sangat menarik

Raras dan Sri, dua-duanya adik kelas saya di kampus, membuat blog tentang kota, yakni: kolasekota.tumblr.com

Alexander Phillips, seorang teman dari negeri nun jauh di sana yang saya kenal lewat twitter, bersama seorang kawannya menggagas web mengenai urban desain, yakni: urbantimes.co

dan masih banyak lagi.

Tak hanya dalam hal jurnalisme-arsitektur, dalam hal arsitektur itu sendiri, tak sedikit Arsitek yang mau mengaplikasikan ilmu mereka tanpa menghitung untung-rugi. Sebut saja Romo Mangun dengan rumah-rumah di bantaran kali Code, Yu Sing dengan program Papan untuk Semua, Yori Antar dengan peremajaan rumah-rumah Wai Rebo, dan pasti masih banyak lagi.

 

Sistem Modal memang tak bisa begitu saja dilenyapkan, tidak dalam waktu dekat, tidak jika tak ada yang berbuat apa-apa. Saya dan kalian memang butuh mendapatkan “untung” dalam bekerja, untuk bertahan hidup. Tak berarti semua yang kita lakukan hanya didasarkan untung-rugi. Tak berarti makna jurnalisme dibelokkan hanya untuk kepentingan Modal. Tak berarti kita diam saja dengan sistem penghisapan antar-kelas yang terus merajalela, legal, dan diwajarkan oleh masyarakat berkat propaganda Modal melalui media.

Mulai munculnya jurnalisme-warga yang tidak berkiblat pada Modal, adanya aksi-aksi spontan para Arsitek, tentu menumbuhkan harapan dan rasa tenang. Judul provokatif di atas tentu saja saya tujukan pada Jurnalisme-Modal. Mungkin ia masih akan terus hidup dan berkuasa untuk waktu yang lama, tapi yang saya percaya adalah jurnalisme yang diajarkan oleh TAS dengan Medan Prijaji nya. Mencerdaskan, bukan membodohi. Meningkatkan kepercayaan diri dan menggelorakan jiwa, bukan membuat menjadi ciut bahkan pengecut. Meluaskan sudut pandang dan wawasan, bukan menyempitkan.  Melawan penghisapan dan penindasan, bukan ikut-ikutan melakukan penghisapan.

 

Selamat tinggal jurnalisme (modal). Mari terus berkarya!

 

Read Full Post »

mari bicara Jakarta.

Bosankah kalian jika kali ini lagi-lagi saya akan membicarakan tentang Jakarta? Maafkan jika ya. Tapi saya merasa Jakarta memang luar biasa. Saya tidak tahan hanya duduk diam dan tidak berpikir tentangnya. Jakarta yang luar biasa ini memang menggiurkan untuk terus dikaji, dibahas, dan tentu saja dicela di berbagai kesempatan. Oh ya, saat saya mengatakan ‘luar biasa’, ada baiknya untuk tidak menganggap itu sebagai pujian, karena sesungguhnya memang bukan.

 

Keinginan membahas dan mencela ini kembali timbul sekitar satu bulan terakhir, saat Jakarta dilanda bencana kemacetan yang lebih dari biasanya. Kemacetan yang makin lama makin menggila di beberapa minggu terakhir ini, terutama berada di area Jakarta Pusat. Untuk perbandingan bahwa kemacetannya lebih dari biasanya, saya akan mengambil sebuah contoh peristiwa yang dialami oleh seorang kawan kantor saya yang bertempat tinggal di Rempoa (kawasan dekat Bintaro). Jika pulang dari kantor yang berlokasi di Tebet (Jakarta Selatan), biasanya ia menghabiskan waktu di jalan sekitar 2 jam dengan menggunakan mobil pribadi. Namun beberapa minggu terakhir, ia terpaksa menghabiskan 3-4 jam waktunya untuk bisa tiba di rumah.

Kawan saya ini masih cukup beruntung, karena ia “menikmati” macetnya Jakarta di dalam sebuah mobil sedan cukup mewah lengkap dengan kursi empuk, musik, AC.  Lebih beruntung lagi mereka yang “menikmati” macet di dalam mobil mewah yang sudah dilengkapi dengan supir, tinggal tidur saja dan biarkan pak supir yang bertempur melawan macetnya Jakarta, daripada ikutan sumpek memikirkan ruwetnya Ibu Kota. Lantas bagaimana dengan warga yang harus naik kendaraan umum? Seperti angkot, kopaja, atau bus trans-jakarta? Bayangkan para warga yang berada di dalam bus yang penuhnya bukan main, sesak napas, berdiri berhimpitan dalam jangka waktu berjam-jam? Tidak hanya penumpangnya, bayangkan juga sang pengemudi angkot/kopaja/bus/taksi yang harus berjibaku dengan kemacetan separah itu setiap harinya, belum lagi target setoran yang harus mereka berikan kepada si bos setiap harinya. Bayangkan juga para pengendara sepeda dan sepeda motor yang harus menghirup asap knalpot di sekelilingya selama berjam-jam, belum lagi jika musim hujan seperti ini, bagaimana rasanya berada di kondisi basah kuyup dan kedinginan di tengah kemacetan?

Dengan kemacetan seperti itu, dan harus dilalui hampir setiap hari pula, maka saya tak akan heran jika banyak warga Jakarta yang depresi, tidak bahagia, bahkan mungkin perlahan berubah menjadi sinting. Tak heran pula jika semakin banyak warga yang menjadi gemar berpesta demi melepaskan stres, atau banyak keluarga yang berubah menjadi tak harmonis, atau perilaku warga yang kian hari kian beringas dan mudah tersulut emosi. Mengerikan memang efek kemacetan ini. Walaupun saya yakin bahwa kepenatan warga Ibu Kota bukan hanya disebabkan oleh kemacetan semata, namun juga karena banyak persoalan-persoalan lainnya.

Lantas, dengan kemacetan seperti itu, adakah yang bisa saya dan kita perbuat untuk setidaknya menguranginya? Saat saya mengatakan ” kita”, saya merujuk kepada para warga Jakarta non-pejabat dan non-aparatur negara yang lain, karena sudah putus asa rasanya menggantungkan harapan kepada mereka. Pejabat-pejabat itu lebih suka membunyikan nguing-nguing (bahasa kerennya: voorijder) di tengah kemacetan sehingga mobil mewah mereka bisa melenggang mulus membelah kemacetan. Para polisi lalu lintas itu juga tampaknya lebih tertarik dengan uang suap bagi mereka yang tertangkap sedang melakukan pelanggaran kecil, daripada benar-benar fokus untuk menguraikan macet Jakarta. Yah, memang tidak semua pejabat dan polisi lalu-lintas seperti itu, tapi yang sering saya temui di jalanan Ibu Kota memang yang berperilaku seperti itu.

 

Baik, kembali ke pertanyaan “dengan kemacetan seperti itu, adakah yang bisa saya dan kita perbuat untuk setidaknya menguranginya?”. Tentu saja ada.  Caranya adalah..

 

1. Pindah dari Jakarta

Jangan terburu-buru marah membaca usulan ini. Walaupun terdengar kurang ajar, tapi ini adalah usulan yang cukup masuk akal. Kita semua pasti sadar, bahwa beban Ibu Kota terlalu besar. Penduduknya sudah terlalu banyak. Penduduk yang luar biasa membeludak ini tak mungkin lagi ditampung di lahan Jakarta yang terbatas. Diakui atau tidak, terima atau tidak, memang itu kenyataannya. Saya sadar sesadar-sadarnya bahwa sebagian besar warga datang ke Jakarta bukan dengan tendensi membuat Ibu Kota menjadi penuh sesak, namun “didesak” kebutuhan untuk mengais rejeki. Dan apalah bisa dikata, bahwa perputaran modal di Jakarta yang begitu luar biasa ini membuat banyak masyarakat negeri ini memutuskan untuk hijrah dan menetap di Ibu Kota.

Saya hanya ingin mengatakan, jika toh saya dan kalian bisa mengais rejeki di kota lain, mengapa tak coba dilakukan saja? Toh demi kebaikan kondisi mental dan pikiran diri sendiri. Demi kebaikan warga Jakarta lain yang mau-tak-mau memang harus tetap tinggal di Jakarta karena tak punya pilihan lain. Selagi saya dan kalian punya pilihan, kenapa tidak?

Jika ada yang dengan nada sinis menghujat saya dengan pertanyaan “lo sendiri ngapain juga masih di Jakarta?”. Pertanyaan bagus kawan. Karena saya sendiri akan dengan senang hati pindah dari sini, dan sedang mengusahakan agar suami saya bisa dipindah ke kota selain Jakarta. Lagipula, siapa pula yang mau membesarkan anak dengan kondisi sekolah yang penuh bully dan senioritas, kekerasan, tawuran, dan gaya hidup yang berorientasi pada materi, seperti yang banyak ada di sekolah-sekolah di Jakarta? Saya kira bukan hanya saya yang tidak ingin.

 

2. Hentikan memakai mobil pribadi, jika hanya berkendara sendirian atau berdua.

Baik, jika pindah dari Jakarta bukan opsi yang baik karena belum ada pilihan lain, maka setidaknya jangan menggunakan mobil pribadi jika hanya berkendara sendirian atau berdua. KECUALI, anda berkendara di malam yang telah larut, atau sedang membawa wanita hamil, wanita menyusui, orang yang tua renta, dan orang sakit, maka jangan lakukan kebiasaan manja yang berakibat buruk terhadap sekitar tersebut. Naik moda transportasi umum tidak seburuk itu kok. Cobalah sekali-kali sedikit menurunkan kadar manja dan kadar gengsi demi kepentingan bersama.

Jika khawatir dengan masalah keamanan, tips dari saya yang sudah terbiasa wira-wiri dengan menggunakan moda transportasi umum adalah, pertama, jangan menggunakan pakaian atau apapun yang terlalu menarik perhatian. Menggunakan segala sesuatu yang wajar akan menghindarkan kita dari pandangan mereka yang bermaksud tidak baik.

Kedua, siapkan diri anda dengan ilmu bela diri, serius ini. Jika belum bisa, maka persenjatai diri anda dengan alat-alat yang bisa digunakan untuk membela diri di saat darurat, misalnya semprotan yang bisa membuat mata lawan menjadi pedih, pisau lipat, atau bahkan senjata api (jika memang ada).

Ketiga, siapkan mental dan keberanian, walaupun memiliki senjata di dalam kantong, tanpa keberanian cukup, senjata tersebut tidak akan ada artinya. Dengan mental dan keberanian, kita bisa melakukan apapun yang dirasa perlu di keadaan darurat, seperti menendang, menyikut, meninju, dan sebagainya.

Sebenarnya saya ingin memberikan alasan keempat, namun saya yakin saran keempat ini tidak masuk akal bagi sebagian besar orang (walaupun masuk akal bagi saya), dan tentu saja saran keempat ini tidak bisa dilakukan di sembarang kondisi. Yaitu empati. “Empati pada penjahat? Nggak salah?”. Siapa sih yang kita definiskan sebagai penjahat itu? Penipu? Perampok? Copet? Bagi saya, kadang-kadang kita harus berusaha untuk melihat lebih jauh dari apa yang sekedar terlihat di permukaan. Saat di tengah jalan ada yang menghampiri kita untuk memalak harta benda kita, jangan buru-buru menjudge orang tersebut adalah penjahat. Siapa yang tau jika si pemalak memang sedang butuh dana untuk biaya rumah sakit anaknya? Siapa yang tau jika si pemalak belum makan selama 2 hari? Jika kondisi memungkinkan, mengapa tidak jika kita ajak bicara dan beri saja si pemalak itu jumlah uang yang memang ia butuhkan? Namun, lain ceritanya jika si pemalak mengancam keselamatan pribadi kita, di titik ini saya pikir kita harus mempertahankan keselamatan diri sendiri dengan saran kedua dan saran ketiga di atas.

Oke, saya maklum jika banyak yang tidak setuju dengan saran aneh nomer empat, tapi itu hanya sekedar pendapat pribadi untuk melihat segala sesuatunya lebih dari yang hanya terlihat oleh mata. Namanya juga saran..

Masalah lain yang biasa dikeluhkan mereka yang tak mau naik moda transportasi umum adalah: kenyamanan. Untuk masalah ini, apa mau dikata kawan, saran saya hanyalah: biasakan diri anda dengan ketaknyamanan. Takut gerah? Maka jangan pakai baju berwarna gelap atau baju berlapis-lapis. Takut gosong karena kepanasan saat lama menunggu angkot? Maka pakailah sunblock, topi, atau payung. Lagipula matahari di atas jam 9 pagi memang tak baik untuk kesehatan kulit. Takut keseleo saat berjalan di jalur pedestrian yang kondisinya memilukan? Maka gunakan sepatu flat yang nyaman, high-heelsnya disimpan sampai di tempat tujuan. Takut capek berdiri di bus trans-jakarta? Maka bayangkan petugas pembuka pintu bus trans-jakarta yang harus berdiri setiap saat. Atau kalau terpaksa, pasang saja tampang memelas, niscaya ada mas-mas baik hati yang akan memberikan tempat duduknya pada kita. Takut bosan selama berada di angkutan umum (kalau di mobil sendiri kan bisa sambil dengerin musik)? Maka ajaklah bicara orang-orang di sekeliling anda. Mereka terlihat sombong atau nggak mau diajak ngobrol? Ya ajak ngobrol aja supir angkot, biasanya cerita-cerita mereka seru dan luar biasa lho.

Jadi, masalah keamanan dan kenyamanan sebenarnya bisa diatasi kan jika kita mau sedikit saja menurunkan kadar manja dan kadar gengsi? Percayalah, moda transportasi umum di Jakarta tidak seburuk itu jika kita mau membuka hati kita, berhenti menghujat pemerintah (ngapain capek-capek? percuma, mereka nggak akan dengerin juga) dan mulai melakukan apa yang bisa kita lakukan.

 

3. Usahakan memilih tempat tinggal yang dekat dengan tempat beraktivitas

Bagi yang masih single, tentu tak susah untuk menyewa kamar kost yang dekat dengan sekolah/kampus/kantor? Bagi yang sudah berkeluarga, mungkin agak sulit. Bagaimana tidak? Harga properti di tengah kota Jakarta itu mahalnya sudah tak terkira lagi, jika bukan orang yang kaya-raya, rasanya hampir mustahil membeli tanah/rumah di tengah kota. Sehingga memang menjadi wajar jika akhirnya banyak yang memutuskan untuk tinggal di kota-kota kecil di dekat Jakarta, seperti Bekasi, Tangerang, Depok, Bogor dan dari Senin-Jumat bolak-balik ke Jakarta untuk bekerja. Namun sekarang ada banyak pilihan tempat tinggal di tengah kota yang harganya cukup terjangkau, misalnya Apartemen dan Rumah Susun. Tinggal di hunian yang dekat dengan tempat beraktivitas tidak hanya akan mereduksi kemacetan, namun juga mengehmat waktu dan tenaga kita (yang lebih baik kita manfaatkan untuk hal-hal lain ketimbang terjebak di tengah kemacetan), juga hemat energi! Bayangkan berapa banyak BBM yang bisa dihemat jika sebagian besar masyarakat tinggal berjalan kaki saja menuju tempat mereka beraktivitas.

Yah, jika semua opsi untuk tinggal di tempat yang dekat dengan tempat beraktivitas benar-benar tidak memungkinkan, maka saya akan kembali ke solusi dua, yaitu tetaplah teguh menggunakan moda transportasi umum untuk jarak jauh, seperti KRL atau bus umum.

 

Oke, cukup sudah membicarakan solusi untuk mengatasi kemacetan. Dangkal ya? Ya nggak apa-apa. Soalnya saya memang cuma mau memberi tips yang bisa segera dilakukan oleh rakyat-jelata-tak-berdaya semacam saya, saya nggak mau repot ngomongin kebijakan pemerintah anu dan inu yang harus diambil untuk mengatasi kemacetan. Kalau kompak, semuanya mungkin kok, dengan atau tanpa bantuan para aparatur negara dengan segala kebijakan mereka yang lambat dan kurang jelas.

 

Masalah Jakarta berikutnya yang patut dicela adalah: banjir.

Yah, berhubung saya belum pernah mengalami sendiri banjir Jakarta (saya tinggal di daerah yang tidak banjir), saya juga kurang jelas apakah permasalahan banjir Jakarta itu karena banjir kiriman, karena masyarakat memang suka buang sampah di kali dan got, atau karena gorong-gorong yang tidak cukup besar dan sistem drainase yang belum baik. Sungguh, saya tidak tahu akar permasalahannya. Maka hal yang bisa dilakukan oleh masyarakat umum untuk mengantisipasi atau setidaknya mereduksi banjir adalah: menjaga kebersihan (sekali lagi, saya tidak ada urusan dengan pemprov, pemkot, dan teman-temannya itu).

Menjaga kebersihan itu terdengar sangat sangat mainstream dan klise bukan? Tapi bagi saya, itu memegang peranan sangat penting. Dan jangan dikira mudah melakukannya. Dengan kebiasaan menahun masyarakat yang gemar membuang semua-muanya ke jalanan dan ke kali, sulit untuk mulai membuang sampah ke tempat yang seharusnya. Saya kira bagus juga pengolahan sampah secara mandiri yang sudah banyak dilakukan di kampung-kampung di Jakarta. Atau program kerja bakti yang rutin diadakan seminggu sekali di berbagai permukiman warga. Buang sampah pada tempatnya, pengolahan sampah secara mandiri, dan kerja bakti membersihkan lingkungan sangat baik dan penting untuk dilakukan secara konsisten. Dalam kaitannya dengan banjir Jakarta, tujuannya hanya satu, yaitu agar kali, got, dan gorong-gorong menjadi bersih dan bebas sampah.

Ngomong-ngomong soal pengolahan sampah, khusus untuk sampah organik (sisa makanan, kuah makanan, kulit buah, tulang ayam, dll) bisa diolah secara mandiri oleh setiap keluarga yaitu dengan cara membuat lubang resapan biopori di halaman rumah. Yang mahasiswa/lulusan arsitektur pasti sudah sering dengar, kan? Buat yang lain yang belum pernah dengar, lubang biopori adalah lubang kecil berdiameter sekitar 10 cm dengan kedalaman sekitar 1 meter. Lubang-lubang ini (ya, lebih dari satu, setiap rumah biasanya punya beberapa lubang biopori) kita isi dengan sampah organik hingga penuh. Biasanya setelah satu minggu, lubang ini telah kosong (karena sampah organik telah melebur, somehow) dan bisa kita isi lagi dengan sampah organik lain. Lubang biopori tidak hanya berguna untuk pengolahan sampah organik secara mandiri, namun juga berguna untuk meningkatkan kemampuan tanah dalam menyerap air, sehingga dengan kata lain memperkecil kemungkinan terjadinya banjir. Apalagi jika semakin banyak warga (yang punya halaman di depan atau belakang rumahnya) berinsisiatif untuk membuat lubang resapan biopori seperti ini, maka kemungkinan banjir akan semakin kecil. Menakjubkan bukan mengetahui bahwa hal-hal kecil ternyata bisa berdampak luar biasa?

 

Masalah lain Jakarta adalah… ruang publik yang terlalu sedikit. Selain mall, tentunya. Lagipula memangnya mall itu ruang publik? Kalau benar ya,  maka cobalah berdandan kumal dengan membawa karung yang dipenuhi botol plastik, dan beritahu saya jika dengan dandanan seperti itu, kamu tetap diijinkan oleh sekuriti mall untuk masuk dan berajalan-jalan di dalam mall. Ruang publik yang saya maksud itu kalau di Jakarta contohnya Taman Tebet. Serius deh, di sana siapapun boleh masuk dan melakukan aktivitas, seperti lari pagi, senam, pacaran, foto-foto, syuting film, baca buku, main sepak bola, main voli, bengong sambil dengerin musik, dan lain-lain. Siapa saja boleh masuk dan menikmati fasilitas di taman tebet itu. SIAPAPUN, pengusaha kaya raya yang lagi mau olahraga, pemulung, tukang gorengan (asal jangan bawa gerobak segede gaban), mahasiswa, anak kecil, orang tua, dua sejoli, sekeluarga besar yang mau piknik, cowo serem bertatto yang lagi pengen menyendiri, mbak-mbak pake piyama dan sendal jepit, dan lain-lain. Dan tempatnya benar-benar nyaman karena di sana terdapat tumbuhan dan pohon-pohon lebat. Gratis pula! Nggak kayak di mall yang kalau mau duduk aja musti beli sesuatu. Beda, kan?

Nah, kurangnya ruang publik semacam taman tebet ini tentunya berdampak tidak baik bagi aktivitas sosial warga Jakarta. Mau lari pagi, nggak ada tempat. Mau main bola, nggak ada tempat juga, padahal nggak ada duit buat sewa lapangan futsal. Mau pacaran atau kongkow sama teman, harus ke mall deh, tapi nggak punya uang buat nongkrong di starbucks, nggak punya pakaian yang “keren” juga kayak anak-anak orang kaya itu, jadilah dikatain ndeso dan alay. Punya anak kecil, mau ngajak jalan-jalan, tapi jalan ke mana, sekarang semuanya harus bayar, padahal penghasilan pas-pasan. Susah ya bok. Padahal, ruang publik ini memberi dampak positif sangat banyak. Anak-anak jadi punya tempat untuk bermain, orang dewasa punya tempat untuk bersosialisasi, bercengkerama bersama teman atau keluarga, berolahraga, atau menyendiri sambil baca buku di sebuah taman kota yang indah dan rimbun. Bahkan tidak menutup kemungkinan untuk mengenal orang-orang baru yang kita temui di ruang publik tersebut.

Ruang publik ini yang dibutuhkan warga bukan hanya yang berupa taman dan ruang bermain saja, tapi seyogyanya juga ada ruang publik yang fungsinya seperti perpustakaan yang penuh dengan buku-buku menarik, serta ada ruang-ruang santai untuk siapapun membaca. Yah, ada sih Perpusnas, tapi sebelum komentar, coba ke sana dulu, dan bilang ke saya kalau kamu betah berlama-lama berada di sana. Perpustakaan untuk publik hendaknya juga bisa berfungsi sebagai ruang belajar bersama. Ruang publik seperti bale (atau apapun yang memiliki shelter) yang berguna untuk mengadakan rapat-rapat organisasi atau sekedar untuk ngobrol dan kongkow bersama teman juga rasanya perlu. Kalau musim hujan, kan nggak mungkin juga ya jadi basah kuyub karena kongkow di tengah-tengah taman.

Jenis ruang publik lain misalnya adalah lahan yang bisa dimanfaatkan bersama untuk bertani, menanam sayuran dan buah, memelihara ternak, dan membudidayakan ikan. Mengapa harus membiarkan sebidang tanah yang luas kosong jika tanah itu bisa dimanfaatkan oleh warga lain untuk bercocok tanam dan berternak?

Banyak jenis ruang publik yang dibutuhkan, dan jika lagi-lagi kita tak bisa mengandalkan pemerintah dan aparatur negara yang lain dengan segala kebijakan mereka, maka mari kita mulai dari diri sendiri. Punya rumah dengan satu kamar kosong tak terpakai? Maka manfaatkan ruangan tersebut untuk ruang baca terbuka bagi aak-anak sekitar. Punya taman yang cukup luas? Maka ajak warga sekitar untuk memanfaatkan taman tersebut, sebagai ruang bermain atau mungkin untuk bercocok tanam. Punya dua rumah, dan salah satunya kosong? Mengapa tak biarkan rumah kosong itu dihuni oleh beberapa keluarga yang setiap harinya harus tidur di emperan toko atau di dalam gerobak? Di rumah ada kolam renang yang jarang dipakai? Panggil anak-anak sekitar untuk berenang di sana.

 

Oke, tulisan saya kali ini panjang sekali ya. Sebenarnya masih banyak permasalahan Jakarta yang patut kita cela sekaligus kita cari tahu solusi yang bisa diterapkan langsung di kehidupan sehari-hari, namun tangan saya sudah mati rasa karena terus-terusan mengetik. Jadi untuk kali ini, mari kita sudahi dulu.

 

Mari mulai merubah diri sendiri, daripada berkoar-koar agar pemerintah merubah sikap dan kebijakan mereka. Mari mulai lakukan apa yang bisa kita lakukan, daripada stres memikirkan sebagian besar pemimpin negara yang nampaknya tak menaruh perhatian akan permasalahan warganya. Untuk lingkungan yang lebih baik!

 

🙂

 

Read Full Post »

Arsitektur untuk siapa?

Bagi saya, memahami dunia ini bukanlah perkara yang sederhana. Begitu banyak ketidakpahaman akan begitu banyak hal. Dan hidup memang seperti itu, kan? Bukankah kita tidak akan pernah bisa benar-benar memahami “hidup” seperti seorang dokter forensik yang mampu memahami dengan detil setiap centi tubuh korban kejahatan?

Seperti halnya hidup, Arsitektur pun penuh dengan interpretasi, penuh dengan tujuan dan mimpi. Interpretasi, tujuan, dan mimpi itulah yang membentuk makna Arsitektur pada masing-masing individu. Dari begitu banyak literatur dan kata-kata dosen, hal utama dari Arsitektur adalah tentang perencanaan dan estetika. Namun, benarkah demikian?

Saya teringat kata-kata pak Bianpoen dalam sebuah acara bincang-bincang, bahwa tidak ada artinya Pembangunan jika ia mengorbankan dan meninggalkan sebagian (bahkan walaupun hanya sebagian kecil) masyarakat di belakangnya. Begitu pula dengan Arsitektur yang selalu seiring sejalan dengan “pembangunan” ini.

Saya sedih mendapati fakta bahwa saat ini Arsitektur begitu dipersempit maknanya menjadi sebuah transaksi bisnis semata. Saya sedih membaca berbagai forum arsitek yang isinya melulu memperdebatkan masalah fee arsitek yang dianggap terlalu rendah. Setiap orang butuh uang untuk hidup di jaman seperti ini? Memang benar. Tapi tidak berarti yang menjadi perhatian kita adalah melulu perkara fee belaka, perkara proyek menguntungkan belaka. Jika demikian, bukankah makna sejati dari Arsitektur dan Pembangunan menjadi hilang? Kesedihan ini adalah kesedihan yang sama persis yang pernah saya alami ketika mengetahui latar belakang beberapa kawan saya yang ingin menjadi seorang dokter supaya secara finansial menjadi kaya raya.

Mungkin sudah tidak aneh lagi melihat hal-hal semacam ini di sekitar kita, tapi saya tetap bertanya-tanya, mengapa setiap hubungan antar manusia, setiap karya, setiap perbuatan baik, setiap apapun yang kita lakukan harus selalu ditakar dengan ukuran uang dan kekayaan? Saya hanya ingin tahu, mengapa?

 

Kembali ke Arsitektur.

Jika interpretasi saya mengenai Arsitektur adalah creating space for people. Sebuah ruang yang baik secara fungsi, baik secara estetika, baik pula untuk psikologis dan kenyamanan manusia. Lalu pertanyaan berikutnya adalah, manusia yang mana? Tentu saja jawabannya adalah untuk SEMUA MANUSIA. Ya, sama seperti pesan Bianpoen, Arsitektur pun seharusnya tidak mengorbankan dan meninggalkan seorang manusia pun di belakangnya.

Tidak usah yang jauh-jauh, mulai saja dengan orang-orang yang ada di sekitar kita. Apa orang-orang di sekitar kita telah memiliki tempat yang layak untuk beraktivitas? Apa rumah mereka adalah rumah yang baik bagi kesehatan mereka? Apa ruangannya nyaman untuk dihuni? Apa anak-anak kecilnya punya tempat untuk bermain? Jika belum, maka mulailah untuk creating space bagi orang-orang di sekitar kita. Persetan dengan fee atau bayaran, aplikasikan ilmu kita untuk orang-orang di sekitar kita. Karena itulah gunanya ilmu, untuk diaplikasikan di dalam kehidupan, bukan untuk ditransaksikan atau dijual!

Creating space yang saya maksud di atas bukan berarti kita harus punya uang milyaran untuk membeli sebidang tanah dan membagi-bagikannya kepada orang-orang di sekitar kita. Bukan. Karena tentu saja sangat susah kalau harus menunggu kita punya uang milyaran atau sebidang tanah yang luas. Lagi-lagi ini berhubungan dengan ilmu yang telah kita pelajari.

Kalau ada teman kantor yang ingin merenovasi rumah, segera tawarkan diri kita untuk mendesainkan rumah mereka, secara gratis tentunya. Buat rumah mereka menjadi sehat, nyaman, dan indah. Jika di jalan melihat rumah yang sangat kronis kondisinya, datangi, ketuk pintunya, sampaikan niat baik kita, kalau perlu bantu cari biaya dan material untuk perbaiki kondisi rumah tersebut. Jika kita punya rumah/lahan, berikan sebagian ruangan/sebagian lahan agar bisa diakses dan dimanfaatkan oleh publik, bisa berupa ruangan untuk bermain, ruangan untuk belajar, dan sebagainya. Karena kita semua pun tahu bahwa dewasa ini ruang-ruang publik (selain mall, tentu saja) sangat sulit ditemui. Lebih ekstrim, seperti yang dilakukan oleh Romo Mangun, tinggalah di sebuah perkampungan, pelajari budaya dan kebiasaan mereka, lalu bersama-sama dengan masyarakat bangunlah perkampungan tersebut menjadi lebih baik lagi, sesuai dengan budaya dan kebutuhan mereka.

Banyak yang bisa dilakukan! Sebarkan manfaat Arsitektur kepada masyarakat, lupakan fee dan transaksi-transaksi bisnis lainnya. Jangan penjarakan pikiran dan ilmu kita dengan label harga, lantas begitu saja melupakan esensi sejati dari Arsitektur.

 

Mari berkarya!

 

Read Full Post »

less is meow.

Tunggu dulu. Ada yang aneh bukan dengan judul di atas? Mahasiswa arsitektur manapun (maupun mantan/lulusan mahasiswa arsitektur manapun) pasti sudah tidak asing lagi dengan slogan yang dipopulerkan oleh Ludwig Mies van der Rohe ini. Namun seharusnya slogan tersebut berbunyi “less is more”.

Mies van der Rohe, sama seperti Corbusier, adalah salah seorang bapak Arsitektur Modern dengan ciri khas desain berbentuk kotak, bangunan-bangunan simpel nan sederhana yang bisa diproduksi massal, cocok dengan booming nya era industrialis kala itu. Arsitektur modern adalah langgam arsitektur yang menekankan pada fungsionalitas, dan cenderung “mengharamkan” ornamen. Untuk itulah, less is more maupun form follows function merupakan slogan yang cocok untuk mendefinisikan langgam arsitektur yang satu ini.

 

Namun, rasanya penjelasan singkat saya mengenai Mies dan Arsitektur Modern di atas tidak ada kaitannya dengan judul less is meow, bukan?

Well, memang tidak. Barusan saya hanya bermaksud menjelaskan bahwa less is meow merupakan plesetan dari slogan less is more yang dipopulerkan Mies, seorang bapak Arsitektur Modern. Kan tidak semua yang baca tulisan ini berlatar belakang arsitektur, maka saya pikir akan lebih baik jika saya jelaskan sedikit apa itu less is more, apa itu Arsitektur Modern, dan siapa itu Mies van der Rohe.

 

Less is meow adalah sebuah slogan dadakan yang dibuat secara spontan oleh salah seorang kawan saya yang paling kocak. Hal ini berkaitan dengan keinginan kami berdua untuk berpartisipasi dalam sebuah sayembara arsitektur. Pada formulir pendaftaran sayembara, kami diharuskan mengisi “nama institusi”. Well, ini pertanyaan membingungkan bagi kami berdua. Mengapa? Karena saya bekerja di majalah (bukan konsultan arsitektur), sedangkan kawan saya ini sedang menempuh pendidikan master di Jerman, dan mahasiswa sama artinya dengan jobless. Jelaslah sudah bahwa kami tidak sedang mewakili institusi manapun. Sehingga tidak terang apa yang akan kami tulis pada bagian pertanyaan ini, sedangkan pertanyaan ini wajib untuk diisi.

Dari polemik di atas, maka tercetuslah ide untuk membuat sebuah nama studio kami sendiri. Sehingga di kemudian hari, nama studio ini bisa kami gunakan lagi saat kami mengikuti kompetisi yang lain dan mengharuskan kami mencantumkan nama “institusi”. Dengan terburu-buru, kawan saya ini mengusulkan nama “Proki” untuk studio kami, diambil dari nama kami berdua, Prima dan Okita. Sangat tidak kreatif tentu saja, dan agak menggelikan karena mengingatkan saya akan sebuah merk sarden kalengan (pronas). Sudah tentu nama yang tidak kreatif ini harus saya tolak. Pantang menyerah, sang kawan kembali menjajal peruntungan dengan mengusulkan nama iKorp. Ketika saya tanya apa artinya, ia menjawab santai, “itu sih kebalikannya Proki. hehehehe”.

 -______-”

 

Maka, pertarungan mencari nama pun harus tetap dilanjutkan. Dan pilihan nama-nama selanjutnya dari kami berdua adalah:

prokiti (oh mai gat, nggak banget)

prima-okita studio (standar pisan ini mah)

anti-mainstream studio (no komen)

antrosintesis (antro = manusia, sintesis = ya sintesis. terdengar serius sih..)

ma-o studio (diambil dari kata primaokita, agak terdengar seperti antek Mao Zedong)

 

dan ketika saya mengajukan nama ma-o ini, sang kawan langsung menimpali, “meow aja deh!”

ketika saya hanya menganggapnya sedang bercanda, ia meyakinkan saya, “keren lagi, meow. biar terdengar seperti mao, tapi suara kucing. hehehe. kalo menang, semua orang pasti langsung inget kita.”

 

Karena malam sudah semakin larut, dan mata sudah semakin berat, maka saya pun menyetujui nama ini. Lagipula, apalah arti sebuah nama? Dan lagi, menurut kepercayaan banyak orang, kucing merupakan hewan pembawa keberuntungan bukan? Kalaupun tidak, juga tak apa, toh kami berdua penyuka kucing.

Maka, hari minggu pukul 1 dini hari Waktu Indonesia Barat (dan entah pukul berapa di Jerman sana), meow studio resmi dilahirkan. Apakah dengan semangat “less is meow” seperti kata pak Mies? Ah tidak juga. Slogan itu hanya kebetulan. Dan nama ini hanya menunjukkan semangat kami untuk berkarya, dan terus berkarya, bahkan ketika tidak satupun sayembara pernah kami menangkan sebelumnya.

 

Mari berkarya!

 

Read Full Post »

Jumat yang lalu, saya diminta untuk menjadi salah satu pembicara di salah satu diskusi yang diadakan oleh IMA-G, sebuah himpunan mahasiswa arsitektur di ITB, di mana saya dan dua pembicara yang lain merupakan anggota madya dari himpunan ini (baca: alumni). Well, jangan bayangkan sebuah diskusi besar seperti acara ILC di tvone, misalnya. Diskusi ini hanya dihadiri sekitar 30 orang, agar suasana yang terbentuk benar-benar diskusi antara pembicara dan peserta, bukan sekedar peserta mendengarkan ocehan pembicara.

 

Dua pembicara selain saya adalah Devi Soraya, seorang teman seangkatan saat kuliah dulu. Saat ini, Devi bekerja sebagai penulis junior di sebuah studio penulisan arsitektur milik Imelda Akmal, seorang penulis buku arsitektur hebat yang saya kagumi. Saya pikir, Devi sangat beruntung bisa berguru langsung dengan seorang penulis wanita hebat seperti mbak Imelda Akmal.

Seorang lagi adalah Ivan Kurniawan Nasution, seorang kakak kelas yang empat tahun lebih tua dari saya dan Devi. Karena perbedaan angkatan inilah, saya belum pernah mengenalnya secara personal sebelum acara diskusi ini. Padahal berulang kali saya baca tulisannya yang luar biasa di sebuah majalah arsitektur online gratis di mana ia merupakan salah satu pendirinya. Ruang Magazine namanya.

Selain itu, diskusi ini dimoderatori oleh Rofianisa Nurdin, seorang adik kelas yang juga merupakan penggagas Vidour, yang memfokuskan diri dalam pendokumentasian karya-karya maupun pergerakan arsitektur dalam bentuk video.

 

Dengan melihat profil pembicara dan moderatornya, tentunya sudah bisa ditebak topik apakah yang diangkat pada diskusi kali ini. Tentu saja tak lain dan tak bukan adalah mengenai Tulisan Arsitektur, yang diawali dengan sebuah pertanyaan mendasar,

“Mengapa kita (arsitek) harus menulis?”

 

Dari pertanyaan mendasar itu setiap pembicara mengemukakan mengapa menulis dan menulis arsitektur itu perlu dan penting, setidaknya bagi diri kami sendiri. Kami ceritakan alasan kami mulai menulis, pengalaman kami selama menjadi “penulis”, dan sebagainya. Para peserta juga sibuk bercerita dan membagi pengalamannya, sibuk pula menanyakan ini dan itu seputar dunia tulis-menulis ini kepada kami. Diskusi yang seharusnya berakhir pukul 20.00 akhirnya baru bisa diakhiri pukul 21.30.

Dan sebab musabab saya menulis tulisan kali ini adalah tak lain karena saya punya hutang untuk menjawab berbagai pertanyaan yang peserta ajukan dan belum sempat terjawab malam itu karena sempitnya waktu. Maka akan saya jawab berbagai pertanyaan tersebut sekarang.

Here we go…

 

Pernah sampai titik jenuh kak? -Reina-

Jenuh? Menulis itu sudah seperti kebutuhan bagi saya, sama seperti bernafas, makan, atau tidur. Jadi bagaimana mungkin saya bisa jenuh? 🙂

 

Bagaimana memilih judul yang tepat untuk sebuah tulisan? -anonim-

Sejujurnya sampai sekarang saya butuh waktu sangat lama untuk menentukan judul sebuah tulisan. Karena pekerjaan memilih judul ini memang tidak gampang bagi saya. Kalau saya sih, biasanya menulis isi tulisan terlebih dahulu, lantas baru memilih judulnya. Kalau dari yang pernah saya baca, judul harus singkat, menarik, namun sesuai dengan konteks isi tulisan.

 

Untuk kak Okita, saat menulis apakah ejaan menjadi prioritas jika kita publish di socialmedia? -anonim-

Saat saya menulis di majalah, ada editor bahasa yang akan membenahi kesalahan ejaan yang saya tulis. Sedangkan saat menulis di blog, saya lebih mementingkan gaya bahasa saya sendiri. Tetap memperhatikan ejaan sih, karena pada dasarnya saya gemar berbahasa Indonesia yang baik, namun tidak menjadi prioritas.

 

Untuk kak Okita, bagaimana jika hal yang dirasakan saat di lapangan berbeda dengan idealisme atau standar, beda dengan yang digambarkan. Apa yang harus ditulis? Hal yang digambarkan atau kenyataan? -anonim-

Bagi saya, menulis dengan jujur itu penting. Kalau kenyataan di lapangan berbeda dengan yang dijelaskan oleh sang desainer, maka saya akan tetap menuliskan konsep dari sang desainer, namun saya juga akan menuliskan apa yang saya rasakan saat bertandang ke karya tersebut, sekalipun apa yang saya rasakan bertentangan dengan konsep sang desainer.

 

Menyenangkan tidak perjalanan dan wawancara? Ada pengalaman yang kurang menyenangkan? -anonim-

Menyenangkan! Banget! Saya suka jalan-jalan, suka juga ketemu orang-orang baru. Dan saya beruntung pekerjaan saya mendukung untuk bisa sering jalan-jalan dan untuk bisa sering mengenal banyak orang baru. Lalu karena sikap setiap orang beraneka macam, saya justru jadi banyak belajar bagaimana cara menghadapi beragam tingkah laku arsitek yang ajaib.

 

Gimana latihannya/caranya supaya bisa nulis secara objektif? -anonim-

Gimana ya? hehehe. Objektif versi saya adalah, ketika nulis saya masukkan data dan konsep dari arsitek, saya tulis juga kesan-kesan yang dialami owner, saya tulis juga apa yang saya rasakan saat berada di karya tersebut. Belum bisa dibilang objektif sih, tapi saya berusaha untuk menuliskan dari banyak sudut pandang.

 

Bagaimana kita menulis dengan diksi yang baik? Dalam artian, supaya tulisan tidak biasa dan memiliki gaya. -anonim-

Jadi diri sendiri. Itu yang penting. Bagi saya, tulisan nggak perlu dibuat-buat supaya terlihat keren. Tulis aja apa yang pengen kamu tulis, bagaimana hasilnya, itu urusan belakang.

 

Q –> Ka Okita

1. Jadi, di dalam tulisan yang akan dipublikasikan, lebih penting “citra” objek atau keadaan yang sebenarnya?

2. Saya merupakan orang yang suka nulis walau kadang abstrak, tapi bukan yang suka banget baca. Ngaruh kan? Gimana ya? 😦

-CIA-

1. Dua-duanya penting. Saya memandang “citra” objek adalah apa yang diharapkan atau apa yang dikonsepkan oleh arsitek. Sedangkan keadaan yang sesungguhnya pun tidak kalah penting karena menunjukkan keberhasilan maupun kegagalan apa saja yang ditimbulkan dari penerapan konsep tersebut. Keduanya sebaiknya diceritakan.

2. Menurut saya sih nggak masalah sama sekali kok. 🙂 saya sih menulis apa yang saya ingin tulis, apa yang saya rasakan, apa yang saya pikirkan. Perasaan serta pikiran saya itu terbentuk dari banyak hal, misalnya dari apa yang saya baca dan dari apa yang saya alami. Jadi, kalau kamu lebih suka mengalami dan tidak begitu suka membaca, menurut saya sih nggak ada yang salah dengan itu.. 🙂

 

Memulai. Bagaimana caranya membiasakan menulis arsitektur? -anonim-

Biasakan untuk menulis terlebih dulu. Menulis apa saja. Jangan terlalu banyak berpikir sebelum menulis. Maksudnya berpikir “aduh, takut salah” atau “aduh, takut jelek”, tulis aja apa yang kamu ingin tulis. Nanti ketika kebiasaan menulis itu sudah mulai tumbuh, secara otomatis kita juga akan menulis arsitektur. Karena kita pernah belajar arsitektur, dan biasanya secara otomatis tergelitik untuk mengomentari karya-karya arsitektur atau bahkan mengomentari arsiteknya. Nah komentar-komentar di dalam kepala itu dicoba pelan-pelan untuk dituangkan ke dalam bentuk tulisan.

 

Untuk mengatur Iklan/Sponsor apakah susah? Apakah mereka ada intervensi terhadap karya tulisan atau hanya sekedar iklan? -anonim-

Saya juga belum begitu mengerti tentang seluk beluk iklan ini, karena di kantor saya ada divisi khusus yang menangani iklan. Namun tulisan-tulisan saya (dan saya yakin demikian pula dengan tulisan-tulisan redaksi yang lain) tidak pernah terpengaruh iklan. Karya tulisan adalah tulisan yang kontennya dikendalikan penuh oleh sang penulis, sedangkan iklan merupakan iklan tersendiri  yang tidak ada hubungannya.

 

Opini pribadi seperti apa yang layak ditampilkan di tulisan arsitektur, apa tetap harus berlandaskan teori? Atau bebas aja? -Maryam-

Opini yang berlandaskan teori arsitektur yang pernah saya pelajari, tentunya penting untuk mendukung opini pribadi saya. Namun kesan yang saya rasakan terhadap karya tersebut menurut saya adalah yang terpenting.

 

Okita,

1. Tantangan terbesar yang pernah dialami dalam dunia “pertulis-tulisan” apa?

2. Cara agar tulisan tidak menimbulkan ambiguitas (masyarakat tidak bertanya-tanya lagi untuk memunculkan pertanyaan baru)? –> Terkait tujuan untuk membuat masyarakat dari nggak ngerti menjadi ngerti.

-anonim-

1. Hmm… tantangan terbesarnya adalah menghadapi beraneka macam tingkah laku arsitek yang kadang suka nyeleneh. :p tantangan lain adalah mengkompromikan pendapat pribadi dengan konsep desain yang diusung arsitek.

2. Kalau untuk menulis di majalah, saya upayakan menulis sejelas mungkin, dengan istilah-istilah populer. Serta meminimalisir penggunaan istilah-istilah yang terlalu berat. Saya pikir ini penting, karena yang saya lihat para arsitek maupun mahasiswa arsitek terlalu sibuk dengan dunianya sendiri, sibuk menggunakan istilah-istilah yang hanya dimengerti oleh kalangan tertentu saja, padahal arsitektur adalah hak setiap lapisan masyarakat. Maka saya berusaha menggunakan bahasa populer ketika menulis di majalah, supaya semakin banyak masyarakat yang menyadari bahwa keindahan arsitektur adalah milik semua orang. Walaupun kadang memang cukup sulit untuk benar-benar lepas dari istilah-istilah tertentu.

 

Buat kak Okita, apakah kak Okita berencana terus-terusan jadi jurnalis bidang arsitektur atau ada cita-cita lain untuk ke depannya? Kenapa? -anonim-

Wah, terima kasih untuk pertanyaan yang sangat personal ini. 🙂 tadinya saya tidak pernah berencana menjadi jurnalis dan penulis arsitektur. Saya “tercebur” ke dunia ini karena semata-mata saya benci bekerja di konsultan perencana yang terlalu menghabiskan waktu saya, dan kebetulan pula saya suka menulis. Namun, sampai saat ini saya masih suka mendesain, saya suka pula menulis hal-hal lain di luar arsitektur, dan masih banyak mimpi lain yang ingin saya lakukan selagi saya hidup. Jadi, saya tidak begitu tahu dan tidak begitu ingin berencana untuk mencapai masa depan tertentu. Akan saya lakukan apa yang ingin saya lakukan saat ini. Jadi apakah saya akan terus berkecimpung di bidang ini atau tidak, mari kita lihat nanti.. 🙂

 

 

Cheers!

😀

 

Read Full Post »

Di kegelapan ruangan, cahaya berwarna warni berpendar dengan indahnya. Menerobos celah-celah yang ada, besar dan kecil, dengan letak yang tak beraturan. Sama tak beraturannya dengan bentuk geometri ruangan tersebut. Itulah Notre Dame du Haut karya seorang arsitek yang namanya pasti tak asing lagi di telinga kita, Le Corbusier.

 

Notre Dame du Haut adalah sebuah gereja yang berdiri kokoh di atas bukit di sebuah kota kecil bernama Ronchamp. Saya belum pernah ke Ronchamp, untuk itu saya juga belum pernah melihat secara langsung karya Corbusier ini. Namun ada satu hal yang saya tangkap saat melihat foto-foto gereja ini, yakni kesendirian.

 

Sebenarnya saya agak heran mengapa arsitek semacam Corbusier, seorang pencetus Arsitektur Modern, bisa membuat karya seperti Notre Dame du Haut ini. Melihat bentuknya yang plastis, gereja ini tidak memiliki karakter Arsitektur Modern yang biasanya dicirikan dengan bentuk geometris kotak yang kuat. Melihat bentuknya yang lebih mirip karya seni, gereja ini jelas tidak pula memenuhi syarat arsitektur modern yang bersifat industrialis dan bisa diproduksi massal.

Lantas, apa maksud Corbusier? Sama seperti supir bajaj, tidak ada yang tahu apa maksudnya, kecuali Corbusier sendiri, dan Tuhan tentunya. Saya yang berada di barisan penonton hanya bisa menikmati du Haut sambil menginterpretasikan sendiri apa maksud di balik rancangannya yang tidak biasa ini.

Banyak yang berpendapat bahwa Corbusier mementingkan prinsip rasional dalam merancang du Haut, sehingga karya ini menjadi pondasi dan pijakan penting arsitektur modern. Ada juga yang bilang bahwa Corbusier membuat gereja ini tanpa mementingkan prinsip kebebasan, melainkan lebih mementingkan prinsip kemurnian alam.

 

Namun, lain kata orang, lain pula kata saya. Hahaha. Sayangnya kacamata saya justru melihat bahwa karya ini jauh dari prinsip rasional Arsitektur Modern. Untuk itulah di awal tadi saya mengatakan gereja ini lebih mirip sebuah karya seni ketimbang produk teknologi dari Arsitektur Modern.

Saya juga berpendapat bahwa Corbusier justru sangat bebas dan lepas saat merancang du Haut. Ia justru menjadi sangat individualis dan tidak lagi terbelenggu dengan label yang sudah terlanjur membelenggu dirinya. Ia juga tidak lagi memikirkan keselerasan bangunan ini dengan sekitarnya. Sehingga bangunan ini tampil sendirian dengan segala keunikannya di antara rumah-rumah penduduk di Ronchamp. Tidak heran jika hingga kini, Notre Dame du Haut menjadi ikon bagi kota Ronchamp.

Saya juga cenderung menghubungkan karakter bebas dan individualistis yang sangat terasa pada du Haut ini dengan fungsinya sebagai rumah ibadah. Di mana menurut saya (dan mungkin menurut Corbusier) hubungan seseorang dengan Tuhannya itu sangat personal, hingga tak ada pengaruh-pengaruh luar lain yang bisa mengganggu itu. Untuk itulah Corbusier pun melepaskan atributnya sebagai bapak Arsitek Modern, dan memilih bersikap bebas dan individual pada karya ini.

 

Lantas saya semakin yakin dengan pendapat saya saat suatu hari saya mengetahui bahwa ia pernah mengatakan ini selama proses merancang Notre Dame du Haut,

Lima tahun terasing di bukit, saya tidak dapat menjelaskan arti sebuah pekerjaan dalam kehidupan saya. Pekerjaan mungkin sekedar suka atau tidak suka, mengerti atau tidak mengerti. Apa bedanya itu bagi saya?

 

🙂

 

Read Full Post »

16 Mei 2012

 

Baru-baru ini saya dan seorang teman secara menggebu-gebu memperbincangkan tentang beberapa orang arsitek tersohor tempo dulu, yang mempopulerkan langgam arsitektur yang berbeda-beda. Perbincangan ini membuka pikiran saya terhadap perspektif dan cara pandang berbeda dalam menilai dan mengamati sebuah karya arsitektur. Dan ada satu orang arsitek yang begitu menarik perhatian saya kali itu.

 

Ia tidak lain dan tidak bukan adalah Antoni Gaudi. Seorang arsitek tersohor dengan segala absurditas karya-karyanya. Saya sendiri sejujurnya bukan penggemar karya-karya Gaudi. He’s just not my type. Memang tidak mudah untuk memahami karya-karya Gaudi yang luar biasa ‘unik’ (baca: aneh) ini. Mau bukti? Tengok foto salah satu karya Gaudi berikut.

 

The Casa Batllo

The Casa Batllo

Bangunan di atas adalah The Casa Batllo yang terletak di Barcelona. Ini merupakan salah satu karya monumental Gaudi yang sebenarnya “hanyalah” proyek renovasi dari bangunan yang sudah ada. Namun, fasad bangunan eksisting digarap sedemikian rupa olehnya hingga menghasilkan sebuah tampilan yang… well, harus saya akui, luar biasa dan pasti membuat setiap mata melirik dan tercengang. Karya ini luar biasa, terlepas dari segala keanehannya.

 

the detail of Casa Batllo

the detail of Casa Batllo

it’s a bit odd, isn’t it?

 

Tapi arsitektur tidak melulu bicara soal selera. Jika akhirnya saya hanya memperdebatkan soal selera, maka sia-sia belaka tulisan saya ini. Sama sia-sianya dengan perilaku beberapa dosen saya yang dengan kekuasaannya lantas secara sewenang-wenang memberi mahasiswanya nilai D atau E, karena desain mahasiswa tersebut tidak sesuai dengan selera para dosen tersebut. Meributkan selera, adalah bentuk penolakan terhadap keragaman bukan?

Terlepas dari suka dan tidak suka, Gaudi mengolah setiap detail secara serius. Bahkan pengolahan detail merupakan ciri khas karya-karyanya. Bentuk massa bangunan yang organik dan jauh dari kesan kaku, adalah cara Gaudi untuk mengekspresikan kedekatannya dengan alam. Bentuk organik ini juga menunjukkan semangatnya yang meyakini bahwa “batas” apapun bisa didobrak dan dilampaui.

Gaudi juga menginspirasi saya akan semangatnya dalam membuat karya-karya yang original. Dan baginya, betapa berharga karya-karya yang seperti itu. Ia pernah berkata, “Copiers do not collaborate.“, sekalipun saya sendiri yakin bahwa tidak ada satu hal pun ciptaan manusia yang benar-benar orisinil. Namun jika melihat kutipan berikut sekaligus membandingkan karya-karyanya yang monumental, saya segera tahu apa makna “orisinalitas” yang Gaudi maksudkan.

 

Originality consists of returning to the origin. Thus, originality means returning, through one’s resources, to the simplicity of the early solutions.

 

Jadi sebenarnya, karya-karya Gaudi tersebut bisa diklasifikasikan sebagai gaya arsitektur macam apa? Saya hanya akan membuat sedikit kesimpulan pribadi saya sendiri. Sebenarnya banyak orang beranggapan bahwa Gaudi adalah seorang master besar bagi gaya arsitektur Modernisme Katalan. Tetapi bagi saya, karya-karyanya melampaui setiap gaya atau klasifikasi arsitektur yang ada. Ia mendobrak itu. Karya-karya nya sangat imajinatif yang jelas sekali terinspirasi dari bentuk-bentuk alam. Gaudi mempelajari bentuk-bentuk geometris dan organik-anarkis alam secara menyeluruh, mencari caranya sendiri untuk mengekspresikan bentuk-bentuk baru dalam arsitektur.

 

He’s a genius.

 

Read Full Post »

Design, in its broadest sense, is the enabler of the digital era – it’s a process that creates order out of chaos, that renders technology usable to business. Design means being good, not just looking good.

— Clement Mok

 

Pernah dengar Clement Mok? Actually, he’s not an architect. He’s an excellent designer. Namun di tulisan kali ini saya tidak bermaksud membahas mengenai Mok yang tersohor itu, melainkan mengenai desain itu sendiri. Lebih tepatnya desain dalam konteks berasitektur. Karena arsitektur berkaitan erat dengan desain.

 

Seperti kutipan yang saya letakkan sebagai pembuka tulisan ini, “design means being good, not just looking good”. Itulah inti dari sebuah desain, beeing good. Karena dewasa ini, sebuah desain yang baik telah disalah artikan menjadi desain yang tampil menarik. Maknanya dipersempit menjadi pemanja visual semata.

Begitu pula Arsitektur. Siapa bilang tugas arsitek adalah membuat desain bangunan yang indah saja? Tidak! Arsitektur tidak melulu bicara soal estetika, justru aspek non-estetika lah yang lebih penting. Jika aspek non-estetika ini tidak diperhatikan, pasti karya arsitektur tersebut akan menimbulkan polemik dan permasalahan di masyarakat.

Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa aspek estetika dan keindahan tidak penting, namun keindahan dalam berasitektur seharusnya lahir karena aspek non-estetika nya. Dengan memprioritaskan aspek-aspek non-estetika tersebut, akan lahir keindahan yang sesungguhnya, tidak sekedar keindahan “kulit” dan permukaan saja. Aspek non-estetika yang saya maksud misalnya fungsi, kenyamanan, keharmonisan dengan alam, kemampuan dan kemudahan untuk mewujudkan (perkembangan teknologi, ketersediaan bahan baku), dan yang tidak kalah penting yaitu budaya, nilai-nilai luhur, dan cara hidup.

 

Arif dalam menggunakan sumber alam.

Masalah banjir atau longsor apakah menurut kalian adalah akibat dari bencana alam semata? Tentu tidak. Saya pikir sebagian besar dari kita telah menginsyafi bahwa banjir dan longsor adalah akibat keputusan desain yang buruk. Apa korelasinya? Keputusan desain yang buruk menyebabkan eksploitasi besar-besaran terhadap pohon-pohon, penggundulan hutan yang tidak berkesudahan, pembabatan lahan dan kontur, pembangunan permukiman di daerah-daerah resapan air, pembuangan limbah dan sampah ke sungai-sungai. Jadi omong kosong kalau sekarang kita malah menyalahkan “alam”. Karena alam itu seimbang, tuan! Kitalah yang telah merusaknya. Dan jangan lupa, para arsitek dan desainer berperan penting dalam pengrusakan tersebut, baik secara langsung atau tidak, disadari atau tidak.

Dengan semakin rusaknya alam, semakin banyak pula permasalahan yang harus kita rasakan sebagai konsekuensinya. Lalu sekarang di mana-mana munculah komunitas-komunitas, jargon-jargon, kegiatan-kegiatan, yang meneriakkan semangat “hijau”. Atau yang biasa kita dengar sebagai Green Design, Sustainable Design, maupun Green Attitude. Walaupun sayangnya sebagian besar semangat hijau yang diteriakkan pun lagi-lagi hanya sebatas di “permukaan”. Saya bukannya sembarangan menuduh atau berburuk sangka. Kita sendiri juga bisa melihat dengan jelas bahwa pohon-pohon tetap diekploitasi, hutan-hutan tetap digunduli, udara dan air tetap dicemari. Sayang sekali.

Kembali ke kaitan dengan Good Design. Jika arsitek dan desainer arif dalam memanfaatkan sumber daya alam, tentu tidak akan jadi begini ceritanya. Jadi bukannya habis-habisan mencari bahan baku dan sumber alam untuk mewujudkan sebuah desain, namun pola pikirnya dibalik menjadi: menghasilkan desain dari apa yang ada di sekitar kita.

Contoh mudah, saat kita membangun rumah. Perhatikan sekeliling dengan seksama. Jika ada bahan baku maupun material yang bisa dimanfaatkan, jangan segan untuk memasukkannya ke dalam desain hunian tersebut. Jika tidak jauh dari sana ada industri rumahan yang menjual genteng misalnya, tidak perlu kita membeli genteng nun jauh di tempat lain, dan malah memboroskan energi (bbm misalnya) untuk mengangkutnya dari tempat yang jauh itu. Jika kita punya sisa kayu yang bisa dimanfaatkan kembali, tidak perlu kita membeli kayu-kayu baru lagi. Karena membeli kayu baru sama dengan menebang pohon lagi. Toh kayu-kayu bekas tersebut juga bisa “disulap” agar nampak seperti baru.

Masih banyak hal-hal sederhana yang bisa kita lakukan dalam mengambil keputusan desain yang arif dalam menggunakan sumber alam. Dan jika setiap arsitek atau desainer memiliki kesadaran untuk menerapkan hal-hal sederhana tersebut, saya yakin bumi yang kita tinggali ini akan menjadi tempat yang jauh lebih baik.

 

Mempelajari tata hidup manusia dan nilai-nilai dalam masyarakat.

Desain yang baik tidak akan menghilangkan begitu saja nilai-nilai luhur yang berlaku pada masyarakat. Saat saya mengatakan nilai-nilai luhur, jangan samakan dengan hal-hal berbau klenik dan mistis. Namun nilai-nilai luhur yang saya maksud lebih berkaitan dengan budaya yang dimiliki masyarakat itu sendiri.

Desainer dan Arsitek yang baik akan terlebih dahulu mempelajari dengan betul-betul mengenai perilaku dan budaya masyarakat sebelum mengambil keputusan-keputusan desain yang nantinya akan berdampak pada keseharian masyarakat tersebut.

Contoh,  revitalisasi permukiman kumuh di kawasan urban. Sebenarya hal-hal semacam ini baik saja untuk dilakukan, toh sebenarnya tujuannya adalah demi perbaikan lingkungan permukiman masyarakat. Namun perlu diingat bahwa kita tidak bisa begitu saja menggusur dan membangun kembali sebuah kawasan dengan keputusan desain yang sepihak. Setiap yang terlibat dalam perbaikan kawasan tersebut (baik arsitek, landscaper, pemerintah) sudah semestinya berkenalan dan membaur dengan masyarakatnya. Mempelajari keseharian mereka, kebiasaan mereka, nila-nilai mereka, budaya mereka, apa yang mereka butuhkan, apa kendala mereka selama ini, dan sebagainya. Sehingga nantinya keputusan-keputusan desain yang dihasilkan memang akan pas dan cocok bagi masyarakat yang disasar. Seperti yang dilakukan oleh Mangunwijaya atau yang lebih dikenal sebagai Romo Mangun dalam merevitalisasi kawasan Kali Code di Yogyakarta. Dalam proses itu, Romo Mangun benar-benar tinggal di antara masyarakat Kali Code selama bertahun-tahun untuk menggali lebih dalam dan mengetahui, apa yang baik dan apa yang tidak, apa yang cocok dan apa yang tidak bagi masyarakat sekitar Kali Code.

Baiklah, rasanya tulisan ini sudah terlalu panjang. Tentunya kita semua (terutama kita yang berkecimpung di dunia desain) sudah menyadari betapa dalam makna dari kata-kata yang diucapkan Mok tersebut. Maka mulai sekarang, mari kita hasilkan sebuah desain yang baik, bukan sekedar desain yang cantik!

 

Salam.

 

Read Full Post »

Sabtu 21.01.2012

Pagi itu pesawat yang kami tumpangi mendarat secara kasar di Bandara Internasional Juanda. Pendaratan yang jauh dari kata mulus itu mau tidak mau berhasil membangunkan saya dari tidur singkat di dalam pesawat. Suara halus seorang pramugari terdengar dari pengeras suara menandakan bahwa pesawat telah tiba dengan selamat di Surabaya.

Saya mengucek mata, mematikan musik, melepas ear phone, dan menoleh ke tempat duduk di samping saya. Ternyata sang pacar telah bangkit dari duduknya dan sibuk mengambil ransel kami yang terhimpit di antara ransel-ransel lain di dalam kabin pesawat.

Dengan langkah gontai setengah mengantuk yang diakibatkan tidur terlalu malam dan bangun terlalu pagi, saya dan pacar berjalan menyusuri area lobby bandara menuju pintu keluar. Perut kami mulai melakukan paduan suara dengan riuhnya, tanda bahwa kami kelaparan. Aneh, padahal sebelum pesawat lepas landas, kami masih sempat mengisi perut dengan menu Soto Kriuk di bandara Soekarno-Hatta. Baru 2-3 jam berlalu, namun mengapa perut sudah protes minta diisi kembali?

Saya memutuskan untuk mengabaikan teriakan perut tersebut, mengabaikan pula rengekan pacar utuk mampir di gerai Roti Boy. Toh tidak lama lagi kami harus makan siang. Lagi pula berat badan saya sekarang sudah mencapai angka 49 kg! Dan pacar juga sudah jauh lebih menggendut jika dibandingkan awal pertemuan kami 1,5 tahun yang lalu. Maka sebaiknya kami harus mulai mengatur pola makan. For sure.

 

Ternyata papa sudah menunggu kami di bandara. Setelah bersalam-salaman dan sedikit berbincang, kami langsung meluncur pulang ke rumah.

Finally going home! Yay!

 

Suasana rumah, wanginya, dan hangatnya masih seperti yang dulu. Saya menyempatkan menyapa ikan-ikan koi di kolam yang langsung berkerumun di dekat saya seraya membuka mulut mereka, tanda minta dikasih makan. Mama dan Bude sudah memasak beragam menu untuk kami santap siang itu. Yang tentu saja sangat delisioso. Maklum, sejak tinggal di Bandung dan Jakarta, lidah saya jarang dimanjakan dengan masakan-masakan pedas yang sedap. Maka sesegera mungkin saya melahap beragam menu yang ada di atas meja makan, dan melupakan rencana untuk merampingkan tubuh yang mulai chubby ini.

Seharian itu banyak saya habiskan dengan bersantai dan berbincang di depan tv, menonton pertandingan tennis Australia Open bersama papa, mama, dan pacar. Malamnya, saya mengajak pacar untuk pergi ke mall kecil di dekat rumah, dengan berjalan kaki. Surabaya jauh lebih dingin dari biasanya, mungkin karena hujan yang setiap hari rajin mengguyur kota Pahlawan ini. Jika hawanya sedingin ini, saya pikir Surabaya menjadi jauh lebih menyenangkan dari kota apapun. Karena belakangan ini Surabaya memang terlihat sangat bersih dan terawat. Ruang-ruang publik gratis seperti Taman Kota yang ditata apik, ada di mana-mana dan selalu ramai akan pengunjung dari berbagai kalangan. Taman-taman kota ini sangat bagus, sangat terawat, dan tentunya gratis. Di sekitar taman selalu ada banyak Pedang Kaki Lima yang turut meramaikan suasana. Para PKL ini sama sekali tidak dilarang berjualan, tidak seperti kota-kota lain yang kerap menggusur mereka. Namun anehnya, mereka justru bisa tertib berjualan dan tidak jorok ataupun semrawut, mungkin saja ada aturan untuk mereka. Entahlah.

Selain itu, permukiman kumuh juga terlihat semakin berkurang di kota ini. Penggusuran semata jelas bukan solusi. Dan saya pikir semua orang goblok juga tahu, menggusur dan menggusur tanpa solusi di mana para penduduk harus tinggal setelah itu, hanya akan membuang-buang dana, energi, dan waktu. Jika pemerintah mau menggusur demi alasan estetika kota, boleh saja. Asalkan mereka mau juga bertanggung jawab menyediakan lahan lain untuk dijadikan permukiman oleh para penduduk bekas penggusuran tersebut.

Katanya “…setiap warga Negara berhak mendapatkan tempat tinggal yang layak dan nyaman untuk tempat bermukim…” kan?

 

Saya cukup kagum dengan walikota Surabaya yang sekarang, Bu Risma. Beliau itu sungguh pemberani dan keras. Terlihat sekali bahwa beliau mengupayakan yang terbaik bagi kota dan warga Surabaya. Banyak kebijakan-kebijakannya yang membuat para elit kebakaran jenggot. Sehingga tidak heranjika banyak sekali pihak-pihak yang berusaha menjatuhkan beliau, sebut saja DPRD. Tapi masyarakat juga tahu, siapa yang benar-benar memihak kepada mereka. Maka Risma tetap berdiri memimpin Surabaya. Panjang umur!

 

***

 

Minggu 22.01.2012

Saya terbangun jam 5 pagi dengan udara dingin menusuk kulit. Saya bergegas membersihkan diri dan menyiapkan pakaian pesta yang akan saya kenakan di pesta pernikahan saudara sepupu saya. Jam 6 pagi saya sudah harus berada di salon langganan mama untuk disanggul dan dirias. Repot memang jadi perempuan.

Dua jam berlalu, sanggul dan riasan saya pun telah siap. Ta da!

Saya membelalakkan mata menatap cermin. Terdiam beberapa detik dengan mulut menganga. Apa-apaan iniiii? Rambut saya disanggul mirip orang gila. Make up yang tebal membuat saya terlihat seperti bencong. Bayar mahal-mahal hasilnya menor begini. Ck!

Saya kembali ke rumah dengan bibir ditekuk ke bawah. Bukankah seharusnya make up membuat orang terlihat lebih cantik? Kok saya malah terlihat seperti bencong sih? Menyebalkan. Mama dan pacar meyakinkan saya bahwa dandanan saya baik-baik saja. Papa hanya tertawa melihat saya manyun. Huh.

 

Tepat jam 09.00 kami pun tiba di rumah saudara sepupu saya yang akan menikah. Akad nikah akan digelar di rumah mempelai wanita pagi ini, sedangkan resepsi akan dihelat dua minggu lagi, yang sayangnya tidak mungkin saya hadiri. Tenda dan dekorasi sudah siap menyambut para tamu dengan apiknya. Kursi-kursi putih berpita pink ditata rapi. Bunga-bunga ada di mana-mana. Menurut saya, dekorasinya sangat dipikirkan dengan baik dan sangat cantik. Senang melihatnya.

Saya bertemu dengan pakde, bude, om, tante, eyang, dan banyak suadara lainnya. Menyalami mereka sambil berbasa-basi sedikit. Pacar mulai sibuk dengan kameranya, memotret ini dan itu. Sedangkan saya sibuk mengumbar senyum sambil diam-diam mengamati dekorasi yang indah. Dari beberapa foto prewedding yang dicetak besar, dibingkai, dan dipajang di sana-sini, terlihat bahwa ternyata si mempelai pria gemar motor besar. Tapi menurut saya tampangnya kurang gahar.

Prosesi akad nikah berlangsung lancar. Terlihat sekali kelegaan terpancar di wajah om dan tante saya. Saya turut berbahagia, terutama untuk sang mempelai wanita yang merupakan saudara sepupu saya. Rasanya baru kemarin dia bermain petak umpet bersama saya. Sekarang dia sudah terlihat sangat cantik dan anggun dengan kebaya pengantin. Mungkin tidak lama lagi dia juga akan melahirkan anak-anak yang lucu. Saya sungguh turut berbahagia melihatnya bahagia dengan pria pilihannya. Selamat menempuh babak baru kehidupan ya. :’)

 

Waktu menunjukkan jam 11.00, saya, pacar, mama, dan papa segera berpamitan. Kami harus segera menghadiri satu pesta pernikahan lagi. Yakni pernikahan sahabat terbaik saya sejak kecil, Karina.

Selama di perjalanan saya banyak berdiam diri dan melayangkan pikiran saya ke sahabat terbaik saya itu. Well, kami kenal sejak TK, namun baru dekat saat SD. Kami hampir selalu menghabiskan waktu bersama, bermain, berenang, belajar. Rasanya saya bisa membahas masalah apapun dengannya. Untuk itulah saya merasa sangat kehilangan saat akhirnya dia memutuskan untuk menikah dengan pria yang telah dipacarinya selama empat tahun. Sebenarnya pola pikir kami sangat berbeda, sifat kami pun tidak bisa dibilang mirip. Namun yang unik, dia selalu bisa membuat saya bercerita tentang apapun yang menimpa saya. Dia bisa memberi nasehat tanpa terasa seperti menggurui. Dia selalu bisa menghargai pendapat saya. Mengingatkan saya saat saya mulai berubah ke arah yang tidak seharusnya. Dan memahami sifat saya yang keras kepala dan sulit diatur. Mungkin begitu pula sebaliknya. Sehingga kami bisa menjadi dua sahabat baik yang bisa saling mengisi dan melengkapi.

Yah, saya yakin pria pilihannya itu sangat baik dan sangat cocok menjadi suaminya. Tetapi yang selalu saya tanyakan adalah, mengapa secepat ini? Mengapa tiba-tiba dia seyakin itu? Karena dia tidak jauh berbeda dengan saya yang terlalu banyak berpikir sebelum menikah. Dan ketika akhirnya keyakinan itu muncul di hatinya, saya merasa sendirian. Saat saya menanyakan ini kepadanya, dengan halus dia hanya menjawab, “setidaknya aku nggak akan menghabiskan sisa hidupku dengan cowo sok ganteng yang nyebelin“. Kadang pula ia menjawab, “setidaknya calon suamiku bukan cowo petakilan“. kadang pula ia menjawab, “pernikahan kan untuk melengkapi fase kehidupan“. Sampai akhirnya saya menyerah dan menerima bahwa mungkin pernikahan adalah yang terbaik baginya.

Saya hanya berharap bahwa persahabatan kami tetap sejati, menyenangkan, dan mengasyikkan sampai kapanpun. Dan dia pun meyakinkan itu kepada saya, bahwa tidak akan ada yang berubah dalam persahabatan kami. Maka saya harus percaya.

Happy wedding Karina dan Dimas. Semoga kebahagiaan selalu menyelimuti rumah tangga kalian. Amin ya Allah.

 

***

 

Senin 23.01.2012

Hari ini adalah hari terakhir saya di Surabaya. Maksud saya hari terakhir untuk kunjungan saya di bulan ini. Tidak seperti hari senin biasanya, hari ini merupakan hari Tahun Baru Cina, yang artinya kami semua libur! Yay!

Sambil menunggu sore, di mana saya dan pacar harus kembali ke Jakarta, papa dan mama mengajak kami jalan-jalan sebentar ke Madura untuk makan siang di Restoran Bebek yang cukup terkenal di sana.

Sejak adanya jembatan Sura-Madu, perjalanan menuju pulau Madura terasa lebih cepat dan praktis. Kami tidak perlu lagi mengantri kapal Ferry untuk menyeberangi selat Madura. Cukup bayar tol, maka mobil pun bisa dipacu melewati selat yang cukup besar itu. Tidak hanya masalah kepraktisan dan efisien waktu, jembatan Sura-Madu juga memiliki bentuk arsitektural yang cukup indah dengan kabel-kabel gantung. Mungkin agak mirip jembatan Pasopati di kota Bandung. Bedanya, kalau Pasopati Bandung itu kabel gantungnya bohongan dan cuma hiasan semata, ukuran jembatannya juga kecil mungil, sedangkan jembatan Sura-Madu ini memang asli menggunakan struktur  gantung dengan skala jembatan yang jauh lebih besar. Sehingga terlihat jauh lebih megah dan indah dibandingkan Pasopati.

 

Madura di musim hujan terlihat lebih hijau. Terakhir kali saya mengunjungi pulau ini dua tahun yang lalu, hamparan rerumputannya sangat gersang, dan sangat jarang ada pohon-pohon peneduh. Namun, walaupun jembatan Sura-Madu sudah dibangun, kondisi pulau ini masih saya rasai mencekam. Tidak ada satu pun lampu jalan selama kami melaju ke tengah kota. Saat siang sih tidak masalah, tapi jika gelap datang tentu suasananya sangat gelap dan mengerikan.

Beberapa jam kami habiskan di Madura, dan tidak terasa hari semakin siang. Kami pun segera melaju kembali ke Surabaya karena tentu tidak ingin ketinggalan pesawat yang dijadwalkan lepas landas jam empat sore.

 

Sesampai di Bandara Juanda, masih ada kejutan menyenangkan menanti saya. Salah seorang sahabat saya saat SMA, Rani, datang bersama kekasihnya untuk mengantar kepergian saya. Sudah 3 tahun kami tidak bertemu, Rani semakin cantik dan putih. Dulu saat SMA kami selalu dibilang mirip, oleh guru, teman-teman, bahkan oleh orang tua kami sendiri. Rani mungkin versi cantik, feminin, dan lembut dari saya.

Ucapan pertamanya kepada saya setelah kami berjabat tangan dan bercipika-cipiki adalah, “ya ampun kit, kamu gondrong gitu tambah ganteng deh!“. Sial.

Jadi mungkin beberapa teman saya yang beranggapan bahwa saya ganteng atau mirip Aming itu ada benarnya. Huh. Sambil menunggu pesawat boarding, kami banyak berbincang mengenai ini itu. Ia menyampaikan bahwa bulan depan ia akan segara ditempatkan di Magetan untuk magang menjadi dokter di sana. Memang, beberapa minggu lalu ia dan teman-teman saya yang lain akhirnya dilantik menjadi dokter. Berarti mungkin Magetan akan menjadi salah satu kota tujuan saya saat jalan-jalan bulan Maret nanti.

 

Akhirnya kami pun harus berpisah. Saya dan pacar berpamitan pada semua orang yang mengantar kami. Rani masih menitipkan satu tas yang berisi roti-roti dan kue-kue untuk kami cemil di dalam pesawat. Saya melambaikan tangan kepada Papa, mama, kedua adik saya, serta Rani dan kekasihnya. Pemandangan yang mirip 5 tahun lalu saat mereka mengantar kepergian saya ke Bandung untuk kuliah.

 

Sampai bertemu lagi, semua.

 

Sampai bertemu lagi, Surabaya! 🙂

 

Read Full Post »

Tgl 26 November 2011 kemarin, salah satu teman arsitek saya, Yu Sing, mengadakan acara syukuran untuk studionya yang baru selesai dibangun.

 

akanoma. Begitulah Yu Sing memberi nama untuk studio barunya yang terletak di Padalarang Bandung ini (sebelumnya, studionya bernama Genesis). Ia sempat menjelaskan kepada saya, mengapa ia memilih nama ‘akanoma’.

akanoma adalah singkatan dari Akar Anomali.

Akar berhubungan dengan konteks budaya, alam, dan manusia. Sehingga ia dan timnya senantiasa mengembangkan arsitektur nusantara, ramah lingkungan, serta arsitektur bagi semua kalangan masyarakat, tidak terbatas masyarakat menengah ke atas saja. Karya-karya seperti rumah murah, perumahan sosial, pendampingan kampung kota menjadi salah satu contohnya.

Anomali berhubungan dengan kondisi khusus yang berbeda dari biasanya, sebagai semangat untuk terus bereksperimen dan tidak larut dalam kecenderungan keseragaman arus besar perkembangan arsitektur yang sedang terjadi.

Maka akanoma dimaksudkan untuk memiliki makna “berbeda tapi tetap berakar”.  Begitulah kira-kira penjelasannya.

Hari itu, saya menyempatkan diri datang ke Bandung untuk menghadiri acara syukuran kantor baru ini. Sabtu pagi sekitar jam 9, saya tiba di kantor saya di kawasan Tebet Jakarta, untuk kemudian berangkat bersama-sama pak Jalal, salah satu teman kantor yang selama ini rela mengantar saya ke sana ke mari untuk urusan pekerjaan. Hehehe, terima kasih pak.

 

Perjalanan Jakarta-Padalarang memakan waktu sekitar 2 jam 30 menit. Dan bukan Okita namanya kalau tidak tertidur pulas di perjalanan. Teman-teman sampai menjuluki saya ‘pelor’, artinya nempel langsung molor. Dokter pernah bilang, saya lebih mudah mengantuk (jika dibandingkan orang-orang lain) di antaranya karena tekanan darah saya yang dibawah rata-rata. Selain itu, faktor anemia atau kurang darah juga turut berpengaruh. Ini serius lho.

 

Anyway, saya terbangun saat pak Jalal bilang bahwa sebentar lagi kami akan masuk ke Gerbang Tol Padalarang. Berhubung studio akanoma terletak di perkampungan (lebih tepat disebut perdesaan, karena di daerah situ bahkan belum ada nomer untuk setiap alamatnya), maka alih-alih memberikan alamat lengkap, Yu Sing justru memberi saya instruksi lengkap cara menuju studio tersebut (lengkap dengan belokan dan patokannya seperti rumah makan padang dan pangkalan ojeg).

Akhirnya, tibalah saya dan pak Jalal di studio baru itu, yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari gerbang tol padalarang, namun suasananya masih seperti perdesaan.

Setelah memarkir mobil di bawah pohon Trembesi yang rindang, pak Jalal berkata bahwa ia ingin tidur-tiduran saja di mobil sembari menunggu saya. “Nanti saja kalau sudah waktunya makan, saya dipanggil.” Hehehe, dasar.

 

Saya pun masuk ke studio sendirian. Waktu di jam tangan saya menunjukkan pukul 11.20, seharusnya saya terlambat 1 jam 20 menit. Tapi anehnya, suasana masih terlihat sepi. Hanya terlihat beberapa anak kecil sedang asyik bermain di bagian bawah bangunan studio yang memang difungsikan sebagai ruang publik untuk masyarakat sekitar.

Samar-samar terlihat sosok Yu Sing, saya pun bergegas menghampirinya dan menyapanya.

“Wah mas, sudah selesai ya acaranya?” kata saya dengan wajah panik dan bersalah.

“Halo mbak! Sendirian? Belum mulai kok, tadi jam 10 sih ada acara syukuran dengan warga sekitar. Tapi sudah selesai barusan. Nanti acara dengan tamu undangan baru dimulai sekitar jam 1.”

Saya pun bernapas lega. Ternyata saya justru kepagian.

Mumpung masih belum banyak tamu yang hadir, Yu Sing pun mengajak saya untuk berkeliling melihat studio barunya. Saya pun tidak lupa memotret ini dan itu sambil menyimak penjelasannya.

tampilan depan studio akanoma

tampilan depan studio akanoma

 

Begitulah. Seperti kebanyakan karya-karyanya yang lain, Yu Sing selalu punya ciri khas tersendiri. Begitu pula dengan tampilan studio ini yang penuh dengan material-material bekas yang dimanfaatkan kembali. Material-material alam yang banyak diaplikasikan seperti bambu dan batu alam membuat bangunan ini terasa sangat dekat dengan alam. Selain itu, nuansa arsitektur nusantara sangat kental terasa pada bangunan ini, dan terkesan lawas. Tidak seperti bangunan-bangunan baru kebanyakan yang selalu tampil modern dan mutakhir, studio ini sungguh sederhana.

Yang menarik adalah, lantai dasar studio ini sengaja dirancang untuk ruang publik warga sekitar. Jadi ibu-ibu bisa membuat arisan di sini, bapak-bapaknya pun bisa rapat dan kumpul-kumpul di sini. Tidak jarang anak-anak kecil pun seliweran dan lari-lari di area amphitheater.

suasana amphitheater (waktu udah rame)

suasana amphitheater saat sudah ramai

 

Ada juga perpustakaan mungil buat anak-anak kecil. Jadi setelah pulang sekolah, anak-anak sekitar bisa main-main dan baca-baca di sini. 🙂

Material yang digunakan untuk membuat rak buku di ruang baca ini adalah krat minuman bekas. Memanfaatkan barang-barang bekas sebagai elemen arsitektur dan interior memang telah menjadi kebiasaan Yu Sing. Menarik kan?

suasana perpustakaan mungil. sayangnya buku-bukunya belum banyak terkumpul.

suasana perpustakaan mungil. sayangnya buku-bukunya belum banyak terkumpul.

 

Selain itu, Yu Sing juga membuat taman untuk menanam sayur dan kolam ikan untuk berternak ikan di pekarangan belakang studio ini.

kebun sayur yang mulai hijau.

kebun sayur yang mulai hijau.

kolam ikan yang belum berisi ikan.

kolam ikan yang belum berisi ikan.

Ide Yu Sing untuk bertani sayuran dan berternak ikan sedikit banyak memberi saya inspirasi. Nantinya, saat ada lahan kosong yang boleh saya manfaatkan, saya akan dengan senang hati mulai berkebun dan berternak ikan. Saat ini sih belum bisa, karena saya hanya menyewa sepetak kamar kos di Jakarta. Sedangkan pekarangan rumah orang tua yang di Surabaya sudah dipenuhi dengan beraneka ragam tanaman milik mama dan kolam-kolamnya pun penuh dengan ikan-ikan peliharaan papa. Sepertinya saya harus bersabar menanti seorang baik hati yang rela lahannya saya bikin kebun sayur dan kolam ikan.. 🙂

Ide Yu Sing untuk membuat lantai dasar studio menjadi sepenuhnya milik publik juga seuatu yang di luar kebiasaan. Berbeda sekali dengan kebanyakan masyarakat masa kini yang gemar memagari lahannyan dengan tembok tinggi dengan alasan keamanan. Yu Sing justru memfasilitasi agar lahannya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. Sikapnya ini mengingatkan saya dengan apa yang selalu ia ingatkan kepada semua orang di berbagai forum diskusi, seminar, maupun tulisannya di blog, bahwa arsitektur adalah untuk semua, tidak terbatas untuk si kaya saja.

Konsistensi perkataan dengan sikapnya dalam melahirkan karya-karya arsitektur memang bukannya tidak menimbulkan kebencian di kalangan Arsitek yang lain, yang tidak sependapat dengannya. Saya pun pernah mendengar bahwa ada beberapa rekan Arsitek di negeri ini yang tidak suka dengannya lantaran membuat profesi Arsitek menjadi tidak lagi mewah dan eksklusif.

Tapi toh dengan pro dan kontra yang ada, Yu Sing tetap maju dengan semangat yang sama. Tidak ciut. Karya-karyanya adalah bukti konkrit kesesuaian perkataan dengan perbuatan. Orang-orang seperti ini selalu menerbitkan rasa kagum dan hormat.

 

Kembali ke studio akanoma.

Jika ruang di lantai dasar digunakan sebagai ruang publik, maka ruangan studio untuk bekerja, dapur, dan tempat tinggal untuk arsitek-arsitek muda yang bekerja dengannya, diletakkan di lantai atas bangunan ini.

suasana ruang studio yang lebih mirip rumah :)

suasana ruang studio yang lebih mirip rumah 🙂

dapur yang mirip dengan warung

dapur yang mirip dengan warung

selasar untuk duduk-duduk di lantai atas. sebelah kanan merupakan ruang-ruang untuk menginap.

selasar untuk duduk-duduk di lantai atas. sebelah kanan merupakan ruang-ruang untuk menginap.

 

Di akhir kunjungan saya hari itu, selain bertemu dengan banyak orang-orang baru (dan beberapa teman lama), saya juga belajar tentang sesuatu yang bpenting, yaitu berbagi.

 

Mungkin akan butuh waktu lama bagi saya untuk mampu membangun ruang publik seperti yang Yu Sing lakukan. Namun berbagi bisa dimulai dari hal yang paling kecil dan sederhana. Sesederhana meminjamkan buku kepada siapapun yang ingin baca, atau sesederhana menawarkan ebook lewat twitter untuk dikirimkan kepada teman-teman yang berminat, misalnya?

Apapun itu, mari kita mulai berbagi kepada siapapun di sekitar kita.

Jadi, ada yang mau pinjam buku saya? 🙂

 

Read Full Post »