Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘nasionalisme.sosial.sejarah.kemanusiaan.’ Category

Bismillahirrohmanirrohim.

Halo, akhirnya setelah 2 tahun lebih saya vakum menulis di blog, akhirnya di malam yang sunyi ini, ditemani hujan ringan yang mengguyur Jogja, saya putuskan untuk kembali menulis..

Sebenarnya, sungguh, saya memilih waktu yang sangat tidak pas untuk menulis blog. Kenapa? Karena 2 hari lagi saya harus mengumpulkan sebuah makalah, serta mempresentasikan 2 tugas besar untuk 2 mata kuliah yang berbeda. Tapi, sudahlah.. Saya ingin menulis.

 

Di tulisan kali ini, saya hendak bercerita tentang “perjalanan pemikiran” yang telah saya lalui beberapa tahun terakhir. Sedikit kilas balik hingga akhirnya saya berada di tempat saya berada sekarang.

Saya mulai memiliki pergulatan batin yang cukup serius dan intens di usia 16 tahun, berarti telah dimulai sekitar 12 tahun silam. Di periode sebelumnya, bukan berarti pergulatan batin itu tak ada, namun rasa-rasanya belum signifikan. Tercetusnya kesadaran untuk “mencari jawaban atas berbagai kegelisahan”, yaitu saat di usia 16 tahun tersebut (tahun 2003) saat saya mulai membaca buku “Arus Balik” karya pak Pramoedya Ananta Toer. Arus Balik adalah buku kemanusiaan pertama yang saya baca setelah sekian lama saya “hanya” membaca kumpulan komik balet, komik detektif, novel detektif, novel horor, majalah remaja, dan semacamnya.

Kemanusiaan dan Nasionalisme, adalah kegelisahan pertama yang saat itu kerap “menghantui” pikiran saya. Ternyata sastra kemanusiaan yang ditawarkan pak Pram adalah candu yang dasyat bagi saya, sehingga selama beberapa tahun setelahnya pun saya terus merasa kehausan untuk mencari-cari tulisan-tulisan tentang kemanusiaan dan nasionalisme yang lain, baik itu karya pak Pram atau karya penulis-penulis hebat lainnya.

Arus Balik, dilanjutkan dengan Tetralogi Buru (Bumi Manusia – Anak Semua Bangsa – Jejak Langkah – Rumah Kaca), telah membuka mata hati saya untuk lebih mendalami dan belajar tentang sejarah-sejarah bangsa Indonesia. Lebih dari itu, membuka mata hati saya untuk juga melihat fenomena-fenomena sosial-kemanusiaan yang terjadi di sekitar saya. Saya menjadi kenal dengan banyak tokoh-tokoh Nasional lainnya, salah satu yang terpenting bagi saya adalah pak Tan Malaka. Pak Tan Malaka lewat tulisan-tulisannya, membuka gerbang-gerbang pengetahuan dan pandangan yang baru, yang mungkin belum dibukakan oleh pak Pram, misalnya tentang gerakan kiri, juga tentang Islam. Namun koridor dan temanya tentu saja masih sama, yaitu “Nasionalisme” yang berhubungan erat dengan sosial-kemanusiaan.

Saya masih bisa mengingat dengan jelas, pada tahun-tahun tersebut (mungkin sekitar 2006-2011), berkat pak Pramoedya dan pak Tan Malaka, saya telah bertranformasi dari remaja yang penuh rasa penasaran menjadi seorang dewasa muda yang diliputi rasa cinta pada NKRI. Saya gemar menambah pengetahuan tentang “nasionalisme” ini, misalnya dengan cara berdiskusi bersama teman-teman yang juga memiliki jiwa nasionalisme yang cukup baik, mengikuti perkembangan berita-berita tentang NKRI, melakukan kegiatan-kegiatan sosial-kemanusiaan yang tetap ada hubungannya dengan kecintaan terhadap NKRI, hingga menulis hal-hal yang berbau nasionalisme di blog ini (terekam sejak tahun 2008).

Lalu, di suatu malam di tahun 2011, berlokasi di sebuah warung soto di jalan Cihampelas Bandung, saya berbincang ringan dengan salah seorang teman baik. Di perbincangan malam itu, ia mengemukakan pendapatnya tentang ketidak-setujuannya akan sebuah Negara. Baginya, Negara adalah sebuah mesin/sistem penindasan bagi rakyatnya. Saat itu, apa yang ia kemukakan merupakan ide yang (sangat) aneh, yang saat itu belum pernah saya dengar sebelumnya. Tentu saja malam itu saya sempat menentang dan memperdebatkan pendapatnya itu, karena setahu saya, para Bapak Bangsa tidak mendirikan NKRI dengan tujuan untuk menindas rakyat Indonesia, justru sebaliknya, para Bapak Bangsa mendirikan NKRI untuk membebaskan dan memerdekakan rakyat Indonesia dari Tirani Kolonialisme. Saat itu, pendapat teman saya itu saya anggap sangat aneh dan tidak saya benarkan, namun tetap saja komentarnya itu tersimpan dengan baik di dalam pikiran saya dan saya anggap itu sebagai sebuah pengetahuan baru.

Di tahun-tahun berikutnya, di kehidupan sehari-hari atau dari berita-berita di sosial media/media mainstream, anehnya saya banyak melihat alasan-alasan masuk akal untuk membenarkan pendapat teman saya yang pernah ia lontarkan kepada saya di tahun 2011 tersebut. Betapa Negara ini suka bertindak tak adil terhadap rakyatnya. Betapa banyak penindasan-penindasan yang dilakukan oleh aparatur-aparatur negara terhadap rakyatnya. Pemukulan terhadap para petani di Kendeng yang menolak pendirian pabrik semen, misalnya. Atau pembunuhan terhadap para aktivis lingkungan yang bersuara nyaring melawan korporasi. Atau pengabaian pemerintah terhadap kaum fakir-miskin. Atau daftar kasus korupsi dari para pejabat pemerintahan yang tidak ada habisnya. Atau kasus-kasus hukum yang tebang pilih, keras pada yang miskin, lembek pada yang kaya. Sebut saja, daftar penindasan ini tidak akan habis jika saya teruskan.

Hingga di satu titik, mungkin di tahun 2013 atau 2014, saya pun mulai muak dengan pemberitaan-pemberitaan di media mainstream, utamanya televisi. Saya mulai enggan memikirkan tentang “negara” atau “nasionalisme” atau isu-isu terkini tentang politik dagelan yang ada di televisi. Sosial-kemanusiaan menjadi jauh lebih penting bagi saya, dibandingkan sekedar “nasionalisme” semu yang banyak digembar-gemborkan, yang makin hari saya pun makin kehilangan maknanya. Lambat laun saya berpikir, untuk apa lagu-lagu kebangsaan itu? Bendera itu? Simbol ini simbol itu? Jika rakyat di dalamnya saja masih susah makan, masih hidup dalam garis kemiskinan, masih ditindas oleh korporasi (yang dibantu oleh aparatur negara), dan masih-masih yang lain.

Di saat yang bersamaan, tepatnya sejak saya menikah di tahun 2012, saya mulai banyak belajar tentang Islam. Sehingga tahun 2014, saat saya berada di titik “muak” terhadap persoalan-persoalan negara yang tidak ada habisnya itu, saya lebih mengembangkan pengetahuan dan pemikiran saya ke arah religi. Saya sedikit demi sedikit belajar tentang Islam, saya rutin mendatangi acara-acara pengajian, dakwah, atau diskusi-diskusi yang ada kaitannya dengan Islam, khususnya yang menyentuh ranah kehidupan sosial sehari-hari. Saya juga banyak berdiskusi dan bertukar pikiran dengan teman-teman mengenai hal ini. Buku-buku yang jadi santapan saya pun tidak lagi didominasi dengan buku-buku bertema nasionalisme. Saya juga tak lagi ingin banyak tahu tentang seluk beluk dunia politik praktis, sekalipun sesekali saya tetap mengikuti perkembangan berita tentang hal-hal tersebut. Saya lebih memilih dan menyenangi buku dengan tema-tema yang lebih sederhana, buku yang menyentuh ranah sehari-hari kita sebagai manusia. Sastra pak Pram tetap menjadi favorit, tentu saja. Namun sastra karya Y.B. Mangunwijaya tidak kalah indahnya, dengan temanya yang sederhana. Buku-buku karya Emha Ainun Nadjib juga menjadi sangat menarik, karena ia menyentuh ranah budaya dan sosial-kemanusiaan yang banyak ditinjau dan dikaitkan dengan nilai-nilai Islam. Karya-karya Nietzsche dan Goethe juga memiliki tempat yang istimewa di dalam pikiran saya. Di periode 2014-2015 ini, saya lagi-lagi bertransformasi, dari seorang dewasa muda yang jiwanya penuh dengan gejolak nasionalisme, menjadi seorang dewasa yang -bisa dibilang- lebih bijak, semoga. Jika mengutip kata-kata Rumi, mungkin kutipan berikut cukup tepat menggambarkan transformasi ini.

“Yesterday I was clever, so I wanted to change the world.

Today I am wise, so I am changing myself.”

Namun ternyata 2015 tidak menyelesaikan ceritanya sampai di situ. Saya, yang tak lagi terlalu tertarik dengan hal-hal berbau politik praktis, yang tak lagi se”nasionalis” dulu, ternyata tetap memiliki kesadaran untuk “mencari jawaban atas berbagai kegelisahan”, sama seperti saya 12 tahun yang lalu. Kegelisahan itu masih ada, jawaban yang saya cari belum juga ketemu. Setiap hari, setiap jam, setiap menit saya masih melihat penindasan di mana-mana, saya masih sering menitikkan air mata dengan sebab-sebab yang mungkin dianggap remeh oleh sebagian besar orang.

Melihat para karyawan di DKI Jakarta pulang berdesak-desakan di dalam bus trans-jakarta, hati saya hancur. Melihat pemulung sedang mengambili botol-botol plastik bekas di jalan, hati saya hancur. Melihat orang-orang kaya yang kikir dan bersikap keras terhadap “orang kecil”, hati saya hancur. Melihat kemiskinan dan penderitaan yang begitu banyak terjadi di sekeliling saya setiap hari, menghancurkan hati saya setiap hari. Lagi dan lagi.

Penghisapan oleh korporasi terhadap rakyat kebanyakan, kesewenang-wenangan aparatur negara terhadap rakyat kecil, manipulasi media yang dengan sukses membuat masyarakat tercuci otak menjadi konsumtif dan mengejar gaya hidup “ideal” ala modal, pengrusakan dan eksploitasi lingkungan yang terus-menerus, jarak yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin, ketidak-pedulian kaum terpelajar terhadap kondisi yang sedemikian gelap ini, telah mengahncurkan hati saya secara konstan dan terus-menerus. Setiap hari, setiap saat.

Saya tahu ada yang salah, tapi apa? Apa inti persoalannya? Apa isu besarnya? Bagaimana pemecahannya? Saya tidak tahu. Saya terombang-ambing dan terus mengalami kegelisahan.

Tapi, seperti pesan mas Budiman Sudjatmiko, “jangan pernah abaikan kegelisahan di dalam hatimu.”, maka untuk itulah saya tak pernah mengabaikan kegelisahan itu. Saya terus mencari dan mencari, membuka hati, mengkaji, menambah pengetahuan, dan tidak lupa berdoa. Setiap kali saya membaca surat Al-Fatihah, saya memang sungguh-sungguh mengharapkan Alloh, Subhanahu wa Ta’ala, menunjuki saya jalan yang lurus, jalan yang Ia ridhai, bukan jalan orang-orang yang Ia murkai, dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat.

Hingga suatu hari di tahun 2015, tepatnya mungkin sekitar 2-3 bulan yang lalu, sampailah “perkenalan” saya kepada dua orang Guru. Perkenalan saya di sini, sayangnya, bukan perkenalan tatap muka secara langsung, namun perkenalan saya terhadap pemikiran-pemikiran beliau berdua yang tertuang pada karya-karya tulis maupun buku-buku. Berbeda dengan perkenalan saya terhadap pak Pramoedya Ananta Toer dan pak Tan Malaka di mana kedua penulis hebat dan kedua pemikir revolusioner tersebut saya “temui” setelah mereka berdua tak lagi hidup di atas bumi ini. Kedua Guru saya kali ini masih hidup, sekalipun beliau berdua berada di belahan bumi bagian Barat yang jauh dari Indonesia. Beliau adalah Shaykh Dr.Abdalqadir As-Sufi dan Shaykh Umar Ibrahim Vadillo.

Buku karya Shaykh Dr.Abdalqadir As-Sufi, terutama Root Islamic Education, berhasil membuka mata hati saya akan jawaban kegelisahan yang saya cari-cari selama ini. Beliau sendiri dahulu tidak lahir sebagai Muslim, dan memilih Islam dengan kesadaran penuh melalui perjalanan pemikiran yang sangat panjang. Dalam berbagai dakwahnya, beliau “menguliti” permasalahan umat manusia dewasa ini. Memberikan kesadaran tentang apa isu besar dan inti persoalan yang sedang dihadapi umat manusia saat ini. Mengapa umat manusia mengalami degradasi moral dan sosial seperti yang terjadi hari ini. Apa yang membuat umat manusia saat ini “berkubang” dalam kegelapan. Adapun Shaykh Umar Ibrahim Vadillo, dalam berbagai tulisan dan dakwahnya, dengan gamblang menjelaskan tentang apa itu “kapitalisme”, seluk beluknya, dan bagaimana kapitalisme telah menjadi sebuah “agama” yang membuat seluruh umat manusia saat ini tunduk tak berkutik di bawah kekuasaannya, dan mengapa umat Muslim wajib memeranginya. Beliau berdua, tak membicarakan mengenai janggut, atau potongan celana, karena Islam memang bukan tentang itu. Islam sudah sedemikian dikebiri hingga hanya boleh menyentuh ranah moral-pribadi. Padahal seharusnya Islam menjadi sebuah realitas sosial-politik.

Semua ketidak-adilan karena sistem yang ada saat ini, sehingga mengakibatkan kedzaliman yang luar biasa terhadap umat manusia, mengakibatkan kehancuran lingkungan yang luar biasa, mengakibatkan kemiskinan dan penderitaan di mana-mana, dan hanya menguntungkan segelintir  manusia, yang telah menjadi pokok kegelisahan saya selama bertahun-tahun, yang membuat hati saya hancur secara terus menerus, ternyata kedzaliman dan keadaan gelap-gulita yang terjadi saat ini sudah diramalkan oleh Rasulullah, Salallahu ‘alayhi wa salam, sejak jaman dahulu. Dan jalan keluarnya pun dengan terang benderang dan jelas sudah ada di dalam Al-Qur’an, walaupun sebagian besar umat Muslim hari ini pun mengingkari itu, dengan atau tanpa mereka sadari. Pengkerdilan terhadap Islam sebagai realitas sosial-politik menjadi sekedar moralitas-pribadi sudah demikian jauh, sehingga umat Muslim sendiri tidak tahu siapa musuh terbesar mereka, umat Muslim tidak sadar apa yang harus mereka perangi, dan justru sibuk meributkan hal-hal remeh seperti janggut dan potongan celana. Atau sibuk melakukan bom-bom bunuh diri. Sedemikian hebat pengkerdilan yang dilakukan terhadap Islam, hingga siapapun yang berusaha menegakkan kembali Islam sebagai sebuah realitas sosial-politik di masa ini akan dianggap sangat aneh dan tidak lazim. Ini pun ternyata telah diperkirakan oleh Rasulullah, Salallahu ‘alayhi wa salam,

“Islam mulai sebagai sesuatu yang tidak biasa dan asing dan akan kembali lagi sebagaimana ia mulai.”

Baru 2-3 bulan saya “bertemu dan mengenal” dua Guru baru saya yang sangat revolusioner ini, masih banyak sekali hal-hal yang harus saya pelajari. Namun yang saya yakini, sebuah keyakinan yang begitu mantap yang baru pertama kali saya miliki selama 28 tahun saya hidup di muka bumi ini, bahwa Islam adalah jalan yang saya pilih dengan penuh kesadaran, bukan Islam yang sekedar sebagai “moralitas-pribadi” seperti keinginan para kapitalis itu, tapi lebih jauh, yaitu Islam sebagai sebuah realitas sosial-politik, Islam sebagai jalan hidup, dan Islam sebagai sebuah jalan keselamatan dan penerang. Bukan dwi-shahadat yang diucapkan setiap hari lewat mulut (ketika menjalankan solat) tapi diingkari dalam perbuatan sehari-hari, namun dwi-shahadat yang diucapkan terus-menerus sekaligus dijalankan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Insya Allah.

Saya akan menutup tulisan yang sudah kepanjangan ini dengan kutipan singkat dari Shaykh Umar Ibrahim Vadillo,

“Be mad (intoxicated) in Allah, until they call you a Hypocrite.

Be mad in Him.”

Read Full Post »

Tahu kan ada film berjudul “Elysium” yang beredar di bioskop baru-baru ini? Pemeran utamanya adalah si aktor ganteng yang super-keren: Matt Damon. Tapi tidak, kali ini saya tidak akan membahas tentang kegantengan Matt Damon, pun saya tidak akan menjadi kritikus film dadakan. Saya hanya akan bercerita tentang “gejolak hati” yang saya rasakan ketika saya menonton film ini di bioskop.

Walaupun film ini tidak akan masuk dalam daftar film-film favorit saya seperti A Beautiful Mind atau Cast Away atau Before Sunrise, saya tetap mengapresiasi film ini dengan baik karena tiga faktor:

1. Kegantengan Matt Damon.

2. Kegantengan Matt Damon.

3. Kritik sosial yang ia sampaikan.

Karena sudah jelas saya tidak akan membahas tentang no.1 dan no.2, maka no.3 lah yang akan menjadi topik utama dalam tulisan saya kali ini.

 

Latar belakang waktu pada film Elysium adalah akhir abad 21, di mana saat itu kondisi Bumi telah menjadi sangat buruk, populasi manusia sudah sedemikian besarnya sehingga menimbulkan berbagai masalah serius seperti polusi udara yang sangat parah, tempat tinggal & sumber daya yang sama sekali tak memadai, dan sebagainya. Dalam film tersebut, planet Bumi sudah menjadi tempat yang sangat tak nyaman untuk ditinggali. Maka orang-orang terkaya yang ada di Bumi, membuat alternatif tempat tinggal lain di luar Bumi, semacam planet kecil (satelit) buatan yang disebut Elysium.

Berbeda dari Bumi yang telah menjadi sangat gersang dan penuh polusi, di Elysium udaranya dijaga agar tetap bersih. Jika di Bumi masyarakatnya harus tinggal berdesak-desakan, maka orang-orang kaya yang tinggal di Elysium bisa memiliki rumah-rumah besar nan mewah dengan taman-taman dan kolam renang. Jika masyarakat di Bumi sakit, mereka harus “terima” dengan perawatan kesahatan dan obat seadanya yang tersedia di RS-RS Bumi. Sedangkan mereka yang tinggal di Elysium tidak perlu khawatir dengan ancaman sakit, karena di jaman itu telah ditemukan teknologi dengan sistem atomik yang mampu menyembuhkan segala macam penyakit. Namun, sekali lagi, hanya orang-orang terkaya lah yang berhak atas teknologi tersebut.

Oke, saya tidak akan menceritakan lebih lanjut tentang detail kisah di film tersebut. Silahkan nonton sendiri kelanjutannya, hehehe.

 

Tapi sadarkah kalian? Terlepas dengan ada-tidaknya teknologi-teknologi dan robot-robot yang ada di film tersebut, sebenarnya masyarakat hari ini telah terpisah-pisah dalam zona-zona tertentu. Sebagian besar masyarakat berbagi tempat yang sempit di zona “bumi”, sedangkan para orang-orang kaya memiliki rumah dan taman bak surga di zona elit “elysium”. Sebagian besar masyarakat hanya mendapatkan akses kesehatan (dan akses-akses lain) yang sangat terbatas dan seadanya. Sedangkan orang-orang kaya bisa mendapatkan segala macam perawatan dan pengobatan yang paling canggih dan terbaru.

 

Baru-baru ini pun saya mengalami kejadian yang semakin membuat saya sadar bahwa zona-zona tersebut memang ada. Ia eksis di tengah-tengah masyarakat kita.

Suatu malam, saya memutuskan untuk pulang ke rumah dengan menggunakan transportasi umum bus transjakarta, alih-alih naik taxi atau minta dijemput suami. Jalur saya malam itu mengharuskan saya turun dan transit di halte Grogol, alih-alih halte Harmoni, dikarenakan ada masalah pada bus-reyot yang saya naiki. Basically, saya bukan tipe orang yang bermasalah saat menunggu, biasanya saya tetap ceria karena sembari menunggu saya bisa mendengarkan lagu-lagu favorit, main game di handphone, membaca buku, ataupun mengamati tingkah laku orang-orang di sekitar. Lagipula, antrian ke arah tempat saya tinggal tidak begitu panjang, jadi saya yakin bahwa tidak butuh waktu lama saya akan segera naik ke bus dan tiba di rumah. Saya pun sudah membayangkan akan memasak ini dan itu saat tiba di rumah, karena saat itu perut saya sudah ribut minta diisi makanan.

10 menit, bus belum datang, saya masih sibuk membayangkan menu-menu yang akan saya masak malam itu.

20 menit, saya mulai membuka handphone dan memainkan game-game kecil yang ada di situ.

30 menit, kaki saya mulai pegal karena harus berdiri dengan posisi yang sama, saya masih main game di handphone.

40 menit, saya sudah bosan dengan game-game di handphone, dan mulai bertanya-tanya mengapakah sudah selama ini tapi tidak juga ada tanda-tanda kehadiran bus yang akan mengangkut kami.

50 menit, angin malam yang berhembus kencang dan halte busway dengan pintu terbuka lebar mulai membuat asma saya kumat, kaki saya jangan ditanya lagi rasanya, seperti mati rasa dan mau lepas. Saya melepas earphone dan mulai kesal, bagaimana tidak, menunggu selama 50 menit dan tidak satupun bus melintas untuk mengankut kami sudah lebih dari keterlaluan. Seharusnya saat itu saya sudah berada di rumah dan sedang sibuk memasak. Karena jarak sebenarnya antara Grogol-Senen hanya 20-30 menit saja.

60 menit, rasa kesal yang ada mulai memuncak ke ubun-ubun dan hampir membuat saya pergi mencegat taxi. Menunggu 60 menit rasanya sudah tidak masuk akal. Jalanan di depan halte bahkan tidak macet sama sekali! Sudah hampir saya pergi dari antrian ketika saya mendengar tawa cekikan dari seorang anak balita yang juga sedang mengantri bersama ayahnya di sebelah saya. Ternyata sang ayah berusaha melucu terus menerus agar putrinya tetap tertawa dan tidak rewel menunggu bus. Saya memperhatikan sang ayah yang ternyata membawa dua orang putri yang masih kecil-kecil. Wajahnya sungguh terlihat lelah dan ia juga menggendong tas punggung yang cukup besar ukurannya, tapi ia tetap berusaha melucu di depan kedua putrinya dengan mengeluarkan ekspresi-ekspresi lucu.

70 menit, kaki saya sungguh mati rasa. Ayah tersebut masih juga melucu untuk kedua putrinya. Saya mendengar bayi menangis dan ibu yang menggendongnya sibuk menina bobokan bayinya dengan cara menggoyang-goyangnya. Saya juga melihat kakek tua di belakang saya sudah mulai duduk di lantai. Rasa kesal saya telah berubah menjadi rasa sedih. Keinginan untuk naik taxi sudah pergi, saat itu dengan penuh kesedihan saya hanya ingin ikut merasakan apa yang orang-orang di sekitar saya rasakan. Saya hanya ingin mengantri bersama mereka dan naik bus yang sama dengan mereka. Naik taxi bisa menghabiskan uang sebanyak 10-20 kali lipat dibandingkan naik bus transjakarta. Dan orang-orang di sekitar saya harus legawa dan menerima diperlakukan semacam itu, karena kebanyakan dari mereka memang hanya mampu membayar tiket bus transjakarta untuk sampai di tempat tujuan.

Di sini, yang tidak punya uang memang harus terus bersabar dan berbesar hati menerima perlakuan paling buruk sekalipun. 70 menit waktu kami, warga-warga kelas bawah Jakarta, mesti terbuang sia-sia karena harus menunggu bus transjakarta, satu-satunya transportasi yang mampu kami bayar. Apa para pejabat pengambil kebijakan itu mau peduli dengan apa yang kami alami? Oh, tentu tidak. Bagaimana mereka mau peduli, jika sehari-hari mereka naik mobil mewah yang sangat nyaman? Bahkan tidak cukup dengan itu, dengan mobil mewah pun tidak cukup, mereka juga memerlukan voorijder agar terhindar dari kemacetan. Karena alasan waktu yang terbatas dan jadwal yang padat. Oh well, rakyat miskin seperti kami memang tidak boleh punya jadwal yang padat, kami harus MAU dan TERIMA membiarkan diri kami menunggu 70 menit seperti orang-orang kurang kerjaan. Dan jangan mengeluh, karena jika mengeluh dan tidak suka dengan apa yang disediakan oleh pemerintah, silahkan membeli mobil pribadi atau naik taxi. Namanya orang miskin ya harus terima. Betul?

Dan jika kita telisik lebih jauh, dari mana para pengambil kebijakan yang rakus itu mendapatkan semua yang mereka miliki?  Karena mereka bekerja keras? Oh well, tentu saja mereka “bekerja keras” dengan mengadakan rapat-rapat dan berdebat tentang pengambilan kebijakan-kebijakan yang akan menguntungkan kepalanya sendiri. Dan para pekerja yang sabar dan legawa ini setiap bulan harus menyetorkan sebagian gaji yang sudah pas-pasan (yang biasa disebut pajak) kepada orang-orang rakus ini. Jika tidak bayar pajak, maka akan disebut warga negara yang buruk. Jadi, semua mobil mewah yang mereka pakai, semua gedung pemerintahan yang mereka bangun dengan megahnya, semua perjalanan “dinas” ke luar negeri, dan semua harta yang mengenyangkan perutnya yang tak pernah kenyang itu, didapat dari mana? DARI KERINGAT PARA PEKERJA YANG HARUS SELALU SABAR DAN LEGAWA. Ya Tuhan, dunia macam apa ini?

 

80 menit menunggu, dan pikiran saya sudah ke mana-mana. Bus reyot yang kami nantikan pun akhirnya tiba. Dan tebak? Bus itu sudah terisi penuh, sehingga hanya kurang dari 10 orang yang mengantri yang bisa diangkut ke bus itu. Saya adalah salah satu yang beruntung karena berada di garis depan antrian. Di dalam bus, jangan ditanya, kami berdesak-desakan dengan sangat parah. Dengan dihadapkan dengan kondisi seperti itu, tak heran jika banyak penumpang yang menjadi mudah sekali marah karena hal-hal kecil. Padahal menurut saya, sebaiknya kondisi psikologis kita jangan ikut terpengaruh dengan kondisi sekitar yang buruk yang sedang kita alami. Karena mudah tersulut emosi karena hal-hal kecil dan marah pada orang-orang sekitar seperti itu hanya akan membuat kita tidak bisa melihat permasalahan makro dengan jernih. Untuk mendapatkan solusi dari suatu masalah, pertama-tama kita mesti tahu bahwa masalah itu memang ada. Jika semua orang di muka bumi ini tidak tahu / tidak sadar bahwa ada masalah dan isu besar yang sedang dihadapi bersama, Jika mereka berpikir bahwa sudah sewajarnya orang miskin mendapat perlakuan seperti itu, lalu jika mereka tidak mau mendapatkan perlakuan semacam itu berarti mereka harus menjadi orang kaya, maka solusi tidak akan pernah ditemukan. Untuk apa solusi, jika semua orang berpikir bahwa memang sudah sewajarnya begitu?

 

 

Saya mesti ingatkan, bahwa tak akan ada si cantik tanpa si jelek, tak ada si pintar tanpa si bodoh, tak ada penuh tanpa kosong, dan tak ada si kaya tanpa si miskin. Bahwa jika muncul satu orang kaya baru, maka dengan atau tanpa disadarinya, ia baru saja memiskinkan puluhan, ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang yang lain.

Kalian yang religius, kajilah dengan benar-benar apa yang ditulis di dalam Al-Qur’an, dan kalian akan paham bahwa seharusnya kita adalah tuan bagi diri kita sendiri. Dan bisakah kita menjadi tuan bagi diri sendiri dalam sistem yang ada sekarang?

Kalian yang terbiasa hidup berkecukupan, bangkitkan empati kalian dengan sesekali mau mengalami apa yang dirasakan oleh masyarakat di sekitar kita. Coba naik transportasi umum, coba pergi ke Rumah Sakit Umum yang murah, dan lain-lain. Jangan mau dilenakan dan dinina-bobokan dengan fasilitas-fasilitas dan barang-barang yang kalian miliki.

Teruslah belajar, maka kalian akan tahu betapa jahatnya sistem yang ada saat ini, dan bahwa sesungguhnya dengan bantuan kita semua dunia tidak perlu menjadi seperti ini. Bekerja keraslah, dan kita tidak perlu berdiri nikmat di atas kerja keras orang lain.

 

Kisah di atas hanyalah satu dari begitu banyak kisah sedih yang pernah saya alami tentang semakin hilangnya rasa kemanusiaan di kehidupan sehari-hari masyarakat masa kini. Dan saya akan menutup tulisan yang sudah melenceng jauh dari pembahasan film Elysium ini, dengan kutipan dari pribadi yang sangat istimewa, Mahatma Gandhi.

” Seven Deadly Sins :

Wealth without Work

Pleasure without Conscience

Science without Humanity

Knowledge without Character

Politics without Principle

Commerce without Morality

Worship without Sacrifice. “

 

 

Read Full Post »

Enam bulan sudah saya tidak lagi menulis. Dan alih-alih menulis, saya mencoba untuk lebih menghidupi hidup saya dan menghargai setiap detiknya. Saya mendapati diri ini menjadi lebih religius. Namun jangan bayangkan saya mengenakan pakaian-pakaian penanda religiusitas, menghabiskan uang dengan pergi ke negara-negara yang banyak disebut khalayak sebagai tempat religius. Religius bagi saya tidak pernah seperti itu. Religiusitas membuat saya percaya bahwa tidak semua hal bisa kita kendalikan sesuai dengan keinginan diri. Religiusitas mengajari saya untuk menerima kehidupan ini dengan tangan terbuka, menghargai setiap momen dengan menikmati suka dan duka yang silih berganti datang, berempati dengan keadaan yang terjadi di sekitar, serta tak terbawa arus modernitas yang melupakan esensi kehidupan itu sendiri. Religiusitas dapat membuat diri ini merasa kuat sekaligus lemah. Dua hal yang dibutuhkan oleh seorang manusia. Dengan merasa kuat, diri ini tidak perlu takut untuk menghadapi kejutan apapun yang akan diberikan oleh kehidupan. Sedangkan menyadari dan percaya bahwa ada kekuatan tak terjelaskan di luar sana, membuat diri ini memiliki rasa lemah. Rasa lemah yang ternyata diperlukan untuk mencegah diri ini menjadi pongah. Pendek kata, diri ini belajar untuk ikhlas.

Namun ikhlas ternyata bukanlah kata yang mudah. Setidaknya bagi diri ini.

 

Satu bulan yang lalu, tepatnya tanggal 1 Juni 2013, saya dan suami memutuskan untuk jalan-jalan dan nonton film Fast & Furious di mall Rasuna Epicentrum. Fast & Furious jelas bukan termasuk dalam genre film kesukaan saya, namun ikut berpartisipasinya salah satu artis Indonesia di film itu membuat saya dan suami sedikit penasaran. Selesai nonton, kami berbelanja beberapa kebutuhan rumah tangga di supermarket yang ada di dalam mall tersebut. Sore itu merupakan sore yang normal dan menyenangkan. Hingga saya dan suami selesai berbelanja dan kembali ke mobil kami di parkir basement mall. Sayup-sayup terdengar  suara teriakan khas kucing kecil di dekat tempat kami parkir. Seonggok kucing kecil berwarna coklat berada di tengah-tengah area parkir, sendirian, dan sibuk berteriak. Mungkin mencari ibu dan saudara-saudaranya yang terpisah.

Saya pun segera memindahkan kucing kecil tersebut ke tempat yang lebih aman, agar ia tidak terlindas ban mobil yang melintas. Setelah saya pindahkan, tangisannya tak kunjung reda, maka saya pun memutuskan untuk menunggu di dalam mobil sampai si induk kucing tiba untuk membawa anak tersesat ini. Waktu berlalu dan induk kucing yang saya harapkan kehadirannya tak juga tiba. Mungkin ia memang tidak pernah tiba untuk menjemput si anak hilang ini.

Hati ini pun mulai sedih melihat si kucing kecil menjerit-jerit sendirian di atas beton basement yang dingin. Pilihan saya adalah membiarkan si anak kucing tetap berada di situ sendirian dan akhirnya mati kelaparan dan kedinginan, atau membawanya bersama saya. Membawa kucing kecil ini juga bukan pilihan mudah. Pertama, ia masih sangat bayi (saya duga kala itu ia baru berumur seminggu), sehingga ia belum bisa makan makanan padat, belum bisa menjilat minuman (seperti kucing kecil yang sudah lebih besar), belum bisa berjalan. Kedua, saya tidak berpengalaman merawat bayi kucing tanpa induk, saya tidak tahu harus memberinya makanan apa, dan saya sering dengar bahwa bayi kucing yang berumur di bawah 5 minggu tanpa induknya akan susah untuk bertahan hidup. Ketiga, saya tinggal di apartment bukan landed house, sehingga nantinya jika ia sudah bisa berjalan dan berlari, geraknya akan lebih terbatas.

Tapi saya tetap memutuskan untuk mencoba merawat si kucing kecil, alih-alih meninggalkannya sendirian di lantai basement mall.

Saya segera googling untuk mencari tahu cara merawat bayi kucing yang baru berumur seminggu. Susu apa yang tepat, bagaimana cara memberikan susu itu kepadanya (mengingat ia belum bisa menjilat minuman), dan sebagainya. Saya juga menelepon salah seorang dokter hewan yang ada di Jakarta, menceritakan situasi yang ada, untuk kemudian meminta sedikit saran kepadanya mengenai cara memberi susu bagi si kucing kecil. Pendek kata, saya pun merawatnya. Memberinya susu lewat dot khusus bayi kucing, membersihkan badannya dengan tisue basah, mengelusnya, menemaninya belajar merangkak, hingga menonton tv bersama di sofa.

Baru dua minggu ia tinggal bersama saya saat suatu sore ketika saya sedang tidak ada di rumah, suami saya menemukannya bersembunyi di bawah rak sepatu dalam keadaan tak lagi bernyawa. Si kucing kecil berumur 3 minggu ini ternyata tak cukup kuat untuk bertahan hidup. Kehidupan lagi-lagi memberikan kejutannya yang tidak menyenangkan.

Sakit yang diri ini rasakan akibat kematian si kucing kecil sungguh sukar untuk digambarkan. Perasaan sedih dan ngilu seperti itu bahkan mungkin belum pernah saya rasakan selama ini. Rasa menyesal karena tak mampu merawatnya dengan cukup baik pun muncul. Namun sedih dan sesal tidak akan mampu membuat nafas si kucing kecil tersambung kembali, waktu pun tak bisa diputar balik. Jadi sekali lagi, yang perlu saya lakukan adalah menerimanya. Menerima kejutan tak menyenangkan dari sang pemberi kehidupan.

 

Setelah berpulangnya si kucing kecil, entah mengapa saya menjadi lebih ingin tahu seputar dunia perkucingan (dan hewan-hewan lain). Saya banyak mengunjungi laman dunia maya yang menunjukkan kondisi kucing dan beberapa hewan lain. Saya menajamkan pandangan dan pendengaran saat berada di luar rumah. Lambat laun, perhatian saya tak lagi terletak pada kondisi manusia semata, namun juga kondisi makhluk hidup-makhluk hidup lainnya.

Ketertarikan baru ini ternyata membawa saya pada hal-hal yang sangat mengejutkan dan memilukan hati. Penyiksaan, praktik jual-beli, perampasan kehidupan, dan sebagainya ternyata terjadi di mana-mana. Suatu kali, ada seorang breeder (pembiak) kucing yang mengunci, memisahkan anak-anak kucing dari induknya, tak memberi makan kucing-kucing tersebut, hingga mereka menderita malnutrisi, terserang berbagai virus, dan dua diantaranya mati secara mengenaskan. Suatu kali yang lain, ada 4 anak kucing kecil di dalam kardus yang (entah dipukuli atau diapakan), tergeletak di pinggir jalan dalam keadaan berdarah-darah, dua diantaranya mati. Suatu kali yang lain, ada 30 kucing dan anjing yang dijadwalkan untuk disuntik mati, karena tak juga ada yang mau mengadopsinya. Suatu kali yang lain, ada seekor harimau yang ditembak warga karena “mencuri” ternak mereka.

Masih banyak suatu kali-suatu kali yang lain yang tidak mungkin saya tuliskan satu persatu. Namun semua cerita tersebut seolah menegaskan pada saya, bahwa manusia, yang mengklaim dirinya sendiri beradab, ternyata bisa menjadi makhluk paling kejam dan paling rakus yang ada muka bumi ini. Yang memburu dan membunuh makhluk-makhluk hidup lain hanya untuk hobi dan kesenangan (bukan untuk makan atau bertahan hidup). Yang merampas tanah bumi ini dari para penghuni bumi yang lain dan tak menyisakan apapun untuk mereka. Yang mampu memusnahkan makhluk-makhluk hidup lain yang dianggap dapat “merusak” pemandangan kota jika dibiarkan berkeliaran. Kekejaman dan kerakusannyalah yang membuat bumi ini kian hari kian rusak. Kekejaman dan kerakusannyalah yang niscaya akan membuat bumi ini kehilangan keseimbangan alaminya.

 

Tentunya seperti yang kita ketahui bersama, kegilaan manusia tidak hanya ditujukan bagi makhluk-makhluk hidup lain. Kegilaan ini juga ditujukan bagi sesamanya. Tak usah saya jelaskan panjang lebar lagi bahwa karena sifat rakusnya, manusia memperbudak manusia lain untuk menumpuk kekayaan, yang waras akan tersingkir, yang berani bersuara tidak akan dibiarkan begitu saja oleh para monster-monster rakus ini. Kegilaan membuat mereka tak bisa merasakan kenyang, sebanyak apapun yang sudah ia dapatkan dan miliki. Kegilaan ini menular dengan cepat seperti virus yang mengerikan. Membuat manusia-manusia lain yang tak berpikir untuk menumpuk harta secara akumulatif, akan dicap aneh dan bodoh. Membuat mereka yang mau mendistribusikan apa yang dipunyai ke orang-orang yang membutuhkan, akan dianggap aneh dan bodoh. Membuat mereka yang lebih mencintai bumi dan semua makhluk hidup di dalamnya ketimbang barang-barang bermerek, akan diejek dan dianggap bodoh. Ya, kegilaan ini telah membuat yang waraslah yang terlihat gila.

 

Bukankah sukar untuk bertahan dalam dunia yang sudah serba gila ini? Semoga dengan religiusitas (religiusitas versi saya tentu saja, bukan versi khalayak), diri ini tidak akan kehilangan kewarasan dalam kegilaan yang semakin menggila ini.

Semoga.

Read Full Post »

“itu, buku Tan Malaka?”

 

Saya yang sedang sibuk mencari earphone di dalam tas, sedikit terkejut dengan sapaan itu. Dan segera menoleh ke arah sumber suara, yang tak lain berasal dari seorang pemuda yang duduk persis di sebelah saya, di dalam sebuah travel yang hendak melaju menuju Jakarta.

 

“iya, ini buku Dari Penjara ke Penjara. suka Tan Malaka juga?”, jawab saya sambil melirik ke arah buku yang tergeletak di dekat tas saya.

“saya juga sudah baca beberapa karyanya. saya heran saja, soalnya saya jarang ketemu dengan orang yang suka baca buku-buku semacam itu, apalagi perempuan.”, katanya diiringi sebuah senyuman.

 

Singkat cerita, kami berkenalan dan banyak berbincang seru selama perjalanan Bandung-Jakarta tersebut. Ternyata sang pemuda adalah seorang mahasiswa tingkat akhir yang sedang mengambil jurusan Ilmu Sejarah di sebuah perguruan tinggi di Jogja. Dan ternyata pula ia berasal dari Timor Leste, yang sudah merdeka dari Indonesia sejak tahun 2002 silam. Pantas saja sedari tadi saya tidak mampu mengenali logat yang ia pakai, jelas bukan Jawa, bukan pula Sunda, bukan Bali, bukan pula Batak. Sekalipun bahasa Indonesia yang ia gunakan sangat baik dan lancar.

Lantas seperti layaknya seorang yang kurang pergaulan dan kurang pengetahuan dengan dunia luar, saya pun girang luar biasa mengetahui teman baru ini adalah orang yang berasal dari “luar” Indonesia. Apalagi negara yang ia cintai itu cukup sering saya dengar di media karena konflik-konfliknya dan karena gosip-gosipnya (you know, Raul Lemos dan Krisdayanti itu loh). Dengan semangat 45, saya yang kuper dan suka penasaran ini mulai melancarkan aksi bertanya dan mengorek informasi tentang negara asalnya tersebut.

Darinya, saya baru tahu kalau sebenarnya sebelum Harto berkuasa di NKRI, Timor Leste sudah memproklamasikan kemerdekaannya sendiri dari jajahan Portugis. Saya juga baru tahu kalau saat Harto berkuasa, ia melakukan invasi yang cukup massif terhadap Timor Leste, yang berakhir dengan kemenangan di pihak Harto, untuk kemudian Timor Leste “dipaksa” bergabung ke Indonesia.  Pantas saja beberapa tahun silam saya ingat Pak Pram pernah berkata, “lho, ya sudah benar kalau Timor Timur itu memisahkan diri dan merdeka dari Indonesia. Indonesia ini kan dulu merdeka untuk membebaskan diri dari Kolonialisme dan Imperialisme Belanda. Kok setelah merdeka malah menjajah negara kecil di dekatnya.”

Pemuda ini terlihat jauh lebih tua dari usianya yang seharusnya masih 27. Gaya bertuturnya sopan, dengan suara yang pelan tapi tampak pasti. Gaya bicaranya tidak berapi-api seperti kebanyakan teman-teman saya di dunia sosial-politik, tapi nasionalisme yang kuat sangat terpancar dari setiap kata yang ia utarakan.

Setelah cukup puas dengan sejarah Timor Leste yang ia ceritakan, saya mulai bertanya mengenai aktivitas sosial-politik terkini di negaranya. Ia bercerita bahwa di sana sedang akan diadakan pemilihan parlemen. Ia bercerita tentang pemimpin yang sedang berkuasa saat ini, dan dari partai mana pemimpin itu berasal. Di antara beberapa partai besar yang mendominasi pemilu tersebut, ia pun mengungkapkan dukungannya terhadap sebuah partai besar yang berperan sebagai oposisi saat ini, ia menjelaskan karena permasalahan ideologi yang berbeda dengan partai-partai lain, maka partai yang ia dukung ini akan sulit untuk menang dari parta-partai lain yang sebagian besar berkoalisi dengan partai penguasa. Partai yang tidak hanya ia dukung, namun juga telah ia ikuti ini, dalam dugaannya akan kembali menjadi partai oposisi.

Setelah mendapatkan penjelasan mengenai partai yang ia dukung ini, saya pun segera mengetahui bahwa pemuda ini adalah seorang sosialis. Saya menjadi terheran-heran sendiri dengan pertemuan yang sangat kebetulan ini, dan bersyukur karenanya.

 

Di akhir perbincangan dan perjumpaan kami, yakni saat travel yang kami tumpangi telah tiba di pemberhentiannya di Jakarta, kami saling bertukar email, serta mengakhiri perjumpaan itu dengan jabat tangan dan tanpa ragu berkata,

“sampai bertemu lagi.”

 

 

Read Full Post »

“Inilah jaman modern, Minke, yang tidak baru dianggap kolot, orang tani, orang desa. Orang menjadi begitu mudah terlena, bahwa di balik segala seruan, anjuran, kegilaan tentang yang baru menganga kekuatan gaib yang tak kenyang-kenyang akan mangsa. Kekuatan gaib itu adalah deretan protozoa, angka-angka, yang bernama modal.”

 

Dewasa ini, semua manusia sibuk dengan kepentingan masing-masing. Saling menyikut dan menjatuhkan demi keuntungan pribadi. Rakus. Entah apa yang membuat perangai manusia menjadi demikian mengerikan.

Rasanya melihat orang-orang lain menderita di depan hidungnya sendiri adalah  sebuah hal wajar yang tidak perlu dibahas.

Melihat perkampungan kumuh tanpa kakus di belakang gedung-gedung mewah berlantai marmer, melihat orang-orang mengorek sampah di pinggir jalan raya dengan mobil-mobil mewah melintas di sana, seolah-olah adalah hal yang lumrah.

Demo oleh kalangan masyarakat yang ditindas kian hari kian menjamur di mana-mana, mengapa tidak juga direspon? Apa para penguasa sedang tidur? Apa para pengusaha itu masih merasa kurang dengan kekayaan yang toh untuk tujuh turunan pun tidak akan habis? Mengapa bisa begitu?

 

Membaca tautan ini benar-benar membuat hati saya sakit. Dan saya rasa semua orang waras akan berpikiran sama.

http://megapolitan.kompas.com/read/2012/01/28/02141656/Politik.Upah.Buruh.Murah

Seolah-olah hidup begitu banyak orang begitu murah harganya, begitu tidak penting. Seolah-olah buruh-buruh hanyalah komoditas. Seolah-olah angka kemiskinan hanyalah statistik belaka.

 

Saya menghadiri sebuah diskusi mengenai Reforma Agraria yang dihelat di sebuah hotel mewah di Jakarta dengan menghadirkan tokoh-tokoh penting. Diskusi yang juga membuat hati saya sakit. Mengapa diskusi semahal dan semewah itu akhirnya hanya berakhir menjadi sebuah diskusi? Bukankah seharusnya diskusi diadakan untuk mengambil jalan tengah demi kebaikan semua pihak?

 

Kemarin saya menonton berita di televisi, katanya telah ditemukan pertambangan emas baru di pulau buru. Penduduk pun beramai-ramai datang dan menambang emas di sekitar situ. Tidak lama setelah pertambangan emas itu ditemukan, pemerintah pun segera “menghimbau” masyarakat untuk tidak sembarang menambang emas. Jika alasannya karena takut terjadi longsor, saya masih bisa menerima. Namun yang mereka ungkapkan justru karena mereka sedang berusaha menemukan “investor” yang tepat untuk menggarap pertambangan baru tersebut. Kalian tahu artinya kan?

 

Pagi ini seorang teman menulis status di facebook yang tampil di news feed saya, bunyinya: “Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan pemerintah harus menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Keputusan itu diambil untuk melakukan penyelamatan anggaran negara.” PENYELAMATAN ANGGARAN NEGARA KATAMU, PAK?

 

Oh God, why?

 

Dan di saat sendu seperti ini, saya memilih membuka sloganmaker.com dan menghasilkan slogan-slogan konyol untuk meredam amarah dan menghibur diri sendiri. Berikut satu slogan favorit saya hari ini:

 

architecture everything is under control.

for whatever it means…

Read Full Post »

Banyak anak-anak muda, termasuk beberapa teman saya sendiri, yang melihat Indonesia dengan sinis. Menganggap bahwa tidak ada lagi yang bisa dibanggakan dari Negara ini. menganggap bahwa orang-orang Indonesia tidak lagi peduli dengan nasib bangsanya, dan malah lebih mementingkan kepentingan pribadi.

Tidak benar.

Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bahwa masih banyak orang-orang yang peduli. Masih banyak orang-orang yang begitu optimis dengan Negara ini. Masih banyak yang memilih berbuat sesuatu untuk perbaikan negeri ini, masih banyak yang memilih untuk terus berkarya dan terus berkarya, ketimbang sekedar mencela dan mengatai Negara ini.

Well, saya (dan kita) seharusnya malu jika sempat untuk berpikir sinis dan pesimis, di saat orang-orang ini begitu peduli dan terus berkarya untuk kebaikan. 🙂

Mari kita lihat.

Ayu Kartika Dewi.

Dia adalah kakak dari salah seorang sahabat saya. Pintar dan baik hati. Lulus cum laude dari Universitas Airlangga. Punya karir dan penghasilan yang sangat baik di sebuah perusahaan asing terkemuka. Dengan kehidupan senyaman itu, mbak Ayu toh masih peduli dengan Negara ini. Dia rela melepas pekerjaan mapannya dan nekat menjadi guru SD di pelosok Halmahera Selatan.

Rubinah Kertoutomo

Pak Eko Purwono, salah seorang dosen saya di ITB, pernah berkunjung ke dusun Pandes, Bantul. Di sana terdapat Kampung Dolanan, kampung yang warganya biasa membuat mainan tradisional.


Pak Eko menulis, “Mbah (Grandma) Rubinah Kertoutomo, in her 90s years of age, was showing one umbrella toy that she made by herself using oil paper and bamboo sticks. She has made traditional toys and sold them since she was very young. When she was still a young woman she used to sell the toys to markets as far away as Prambanan and Sleman which took about 4 hours to walk from her village.”

Dan tahukah kalian? Harga setiap mainannya cuma Rp. 1000,- lho. Sangat murah kan untuk mainan tradisional hand-made sebagus ini? Ayo-ayo sesekali kita sempatkan untuk mengunjungi Dusun Pandes, Bantul. Saya sungguh berharap agar dusun-dusun yang begitu produktif dan kreatif seperti ini terus lestari. 🙂

Yu Sing

Buat yang arsitek atau mahasiswa arsitektur, mungkin pernah mendengar nama arsitek muda yang satu ini. Yu Sing kita kenal lewat karya-karyanya yang unik dan punya ciri khas yang membuat siapapun mudah untuk mengenali. Yu Sing tidak hanya produktif lewat karya-karya yang menampilkan sisi estetika sebuah bangunan atau rumah tinggal saja. Karena bagi Yu Sing, arsitektur tidak hanya tentang estetika. Tapi lebih dari itu, arsitektur adalah untuk kehidupan, baik alam, budaya, dan tentu saja kemanusiaan.

Seperti yang pernah dia tuturkan lewat blognya http://rumah-yusing.blogspot.com/, “Keberpihakan arsitektur tidak lengkap tanpa melayani kemanusiaan. Arsitektur merupakan kebutuhan semua manusia tanpa kecuali dan tidak terbatas oleh kalangan ekonomi atas saja.

Ayo para arsitek dan mahasiswa arsitektur, apakah kita juga sudah peduli? Sudahkah kita berpikir sejauh dan sedalam ini dalam berarsitektur? 🙂

Adolfus Aquarius, Yosef Roly, dan Michael Linu.

Mereka adalah murid-murid SD kelas 2 di Desa Hokor, Kecamatan Bola, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Setiap harinya, mereka berjalan lebih dari empat kilometer tanpa alas kaki untuk pergi dan pulang sekolah. Namun hebatnya, mereka tetap semangat untuk sekolah. 🙂

Dan masih sangat banyak cerita-cerita lain yang membanggakan dari putera-puteri Indonesia, yang sebenarnya ingin saya tulis juga, tapi nanti jadi terlaluuu panjang. Hehehe. 🙂

Kita juga seharusnya memandang Indonesia dengan optimis kan? Segala daya upaya, keringat, darah, dan nyawa telah dikorbankan oleh para pejuang kemerdekaan, agar apa? Agar kita merdeka seperti sekarang, merdeka untuk berpendapat, merdeka untuk meraih cita-cita dan menjadi apapun yang kita inginkan.

Sudah seharusnya kita berterima kasih dan menghargai segala perjuangan mereka dengan jalan terus berkarya dan berbuat segala sesuatu yang baik untuk Negara Indonesia yang tercinta ini. 🙂

Merdeka!

Read Full Post »

Belakangan, tentu kita banyak mendengar tentang kerusuhan yang terjadi di Papua, wilayah paling timur di NKRI.

Banyak yang mengatakan bahwa berbagai tindak kerusuhan dan kekerasan yang terjadi karena dipelopori oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Lalu sejauh yang saya lihat, alih-alih membuka dialog damai dan benar-benar mencari tahu akar masalahnya, pemerintah justru membombardir Papua dengan mengirimkan polisi dan militer untuk “mengamankan” keadaan.

Mari kita berpikir dengan jernih, kenapa berbagai tindak kekerasan dan kerusuhan ini bisa terjadi dan menjadi sedemikian berlarut-larut?

Saya pribadi, berpendapat bahwa masalah di Papua yang terjadi sekarang adalah dampak dari sikap dan keputusan pemerintah berpuluh-puluh tahun yang lalu.

Seperti yang kita ketahui bersama, saat Soeharto memimpin NKRI di era orde baru nya, dia membuat sebuah keputusan besar yang mempengaruhi kehidupan rakyat Papua di kemudian hari. Yaitu memberikan izin kepada Freeport untuk mengambil hasil bumi di wilayah Papua, dan Negara mendapat kompensasi sebesar 1 persen, sedangkan 99 persen lainnya adalah milik Freeport.

Saya tekankan, hanya 1 persen.

Memang, Soeharto itu paling ahli kalau urusannya berkaitan dengan merampas milik bangsanya sendiri dan menggembungkan kantong pribadinya. Dan herannya, bisa-bisanya masih ada yang berpendapat bahwa Soeharto adalah pemimpin yang baik? Setelah berbagai tindak pembunuhan dan penganiayaan yang didalanginya terhadap lebih dari setengah juta rakyat Indonesia? Setelah berbagai tindak penyelewengan yang dilakukannya dan akhirnya sangat merugikan negara dan rakyat Indonesia? Oh, come on guys…

Anyway, kita lanjutkan tentang Papua.

Tidak hanya masalah keputusan tentang Freeport. Sejak dulu, pembangunan di Indonesia hanya dipusatkan di Jawa. Perilaku Jawa-sentris yang terus menerus dilakukan ini membuat masyarakat Papua tetap terbelakang dan miskin luar biasa.

Ironis bukan? Tanah yang begitu kaya akan hasil alam, namun banyak rakyatnya sendiri justru masih hidup terbelakang dan sangat miskin. Di lain pihak, hasil alam di bumi Papua malah dinikmati oleh Freeport, sebuah perusahaan asing.

Munculnya berbagai Gerakan kemerdekaan pun saya yakini karena rakyat Papua telah berada di titik kesabaran mereka yang telah habis. Manusia manapun yang ditindas terlalu lama dalam keterbelakangan dan kemiskinan, pada akhirnya akan memberontak.

Banyak yang meyakini, di balik segala kerusuhan yang terjadi, ada campur tangan internasional (Amerika) di sana. Mungkin ada benarnya.

Tapi saya tetap tidak melihat kesalahan ada di pihak rakyat Papua kebanyakan (saya berbicara tentang masyarakat pada umumnya, bukan para pemangku kepentingan/pejabat di Papua).

Sekarang begini, apakah rakyat yang terpelajar dan makmur akan bisa begitu mudah dihasut? Saya pikir tidak.

Mereka bisa dihasut karena sebagian besar dari mereka belum disentuh pendidikan yang memadai, yang bisa membuat mereka berpikir lebih jauh.

Mereka bisa dihasut dengan mudah, mungkin karena mereka belum kenyang dan sangat jauh dari kata sejahtera. Bagaimana mereka bisa punya rasa cinta dan rasa memiliki terhadap NKRI, jika selama ini pendidikan, kesejahteraan, dan pembangunan tidak pernah menyentuh bumi Papua? Bagaimana mereka merasa menjadi bagian dari NKRI, jika selama ini selalu “di anak-tirikan”?

Solusi pemerintah membombardir bumi Papua dengan terus-menerus menambah pasokan militer, saya pikir bukan tindakan bijak. Hal ini akan membuat situasi menjadi bertambah panas, dan membuat masyarakat Papua semakin marah.

Dialog damai secara terus-menerus dan mulai memperhatikan wilayah Papua secara lebih komprehensif mulai dari pendidikan, pembangunan, serta tentu saja kesejahteraan masyarakat Papua, saya pikir adalah satu-satunya jalan keluar menghadapi konflik Papua.

Keberanian untuk menindak tegas perusahaan asing saya pikir juga sangat penting. Karena hasil bumi yang diambil dari Tanah Air, sudah sepatutnya didahulukan untuk kemaslahatan masyarakat Indonesia.

Tetap mempertahankan kesatuan dan kedaulatan NKRI serta mensejahterakan rakyat Indonesia (termasuk Papua) adalah yang terutama. Dan ini tidak sepatutnya dilakukan dengan jalan militer.

Seperti Presiden Soekarno, yang dulu berhasil menyatukan Nusantara bukan dengan darah, seperti itu jugalah yang harus dilakukan sekarang.

Read Full Post »

Saya Bukan Nelson Mandela.

Saya bukan Nelson Mandela. Dan Goenawan Mohamad keliru, Indonesia bukan Afrika Selatan. Dia berharap saya menerima permintaan maaf yang diungkapkan presiden Abdurrahman Wahid, seperti Mandela memaafkan rezim kulit putih yang telah menindas bangsanya, bahkan memenjarakannya. Saya sangat menghormati Mandela. Tapi saya bukan dia, dan tidak ingin menjadi dia.

Di Afrika Selatan penindasan dan diskriminasi dilakukan oleh kulit putih terhadap kulit hitam. Putih melawan hitam, seperti Belanda melawanIndonesia. Mudah. Apa yang terjadi diIndonesiatidak sesederhana itu: kulit cokat menindas kulit coklat.

Lebih dari itu, saya menganggap permintaan maaf Gus Dur dan idenya tentang rekonsiliasi cuma basa basi. Dan gampang amat meminta maaf setelah semuanya yang terjadi itu. Saya tidak memerlukan basa basi.

Gus Dur pertama-tama harus menjelaskan dia berbicara atas nama siapa. Mengapa harus dia yang mengatakannya? Kalau dia mewakili suatu kelompok, NU misalnya, kenapa dia berbicara sebagai presiden? Dan jika dia bicara sebagai presiden, kenapa lembaga-lembaga negara dilewatinya begitu saja? Sekalipun dalam kapasitasnya sebagai presiden, Gus Dur tidak bisa meminta maaf. Negara ini mempunya lembaga-lembaga perwakilan, dan biarkan lembaga negara seperti DPR dan MPR mengatakannya. Bukan Gus Dur yang harus mengatakan itu.

Yang saya inginkan adalah tegaknya hukum dan keadilan diIndonesia. Orang seperti saya menderita karena tiadanya hukum dan keadilan. Saya kira masalah ini urusan negara, menyangkut DPR dan MPR, tetapi mereka tidak bicara apa-apa. Itu sebabnya saya menganggapnya sebagai basa basi. Saya tidak mudah memaafkan orang karena sudah terlampau pahit menjadi orangIndonesia.

Buku-buku saya menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah lanjutan di Amerika, tapi diIndonesiadilarang. Hak saya sebagai pengarang selama 43 tahun dirampas habis. Saya menghabiskan hampir separuh usia saya di Pulau Buru dengan siksaan, penghinaan, dan penganiayaan.

Keluarga saya mengalami penderitaan yang luar biasa. Salah satu anak saya pernah melerai perkelahian di sekolah, tapi ketika tahu bapaknya tapol justru dikeroyok. Istri saya berjualan untuk bertahan hidup, tapi selalu direcoki setelah tahu saya tapol. Bahkan sampai ketua RT tidak mau membuatkan KTP. Rumah saya di Rawamangun Utara dirampas dan diduduki militer, sampai sekarang. Buku dan naskah karya-karya saya dibakar. Basa basi baik saja, tapi hanya basa basi. Selanjutnya mau apa?

Maukah negara mengganti kerugian orang-orang seperti saya? Negara mungkin harus berutang lagi untuk menebus mengganti semua yang saya miliki.

Minta maaf saja tidak cukup. Dirikan dan tegakkan hukum. Semuanya mesti lewat hukum. Jadikan itu keputusan DPR dan MPR. Tidak bisa begitu saja basa basi minta maaf.

Tidak pernah ada pengadilan terhadap saya sebelum dijebloskan keBuru. Semua menganggap saya sebagai barang mainan. Betapa sakitnya ketika pada 1965 saya dikeroyok habis-habisan, sementara pemerintah yang berkewajiban melindungi justru menangkap saya.

Ketika dibebaskan 14 tahun lalu, saya menerimasuratketerangan bahwa saya tidak terlibat G30S-PKI. Namun, setelah itu tidak ada tindakan apa-apa. Dalam buku saya “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu” yang terbit pada 1990 juga terdapat daftar 40 tapol yang dibunuh Angkatan Darat. Tapi tidak pernah pula ada tindakan.

Saya sudah kehilangan kepercayaan. Saya tidak percaya Gus Dur. Dia, seperti juga Goenawan Mohamad, adalah bagian dari Orde Baru. Ikut mendirikan rezim. Saya tidak percaya dengan semua elite politikIndonesia. Tak terkecuali para intelektualnya; mereka selama ini memilih diam dan menerima fasisme. Mereka semua ikut bertanggung jawab atas penderitaan yang saya alami. Mereka ikut bertanggung jawab atas pembunuhan-pembunuhan Orba.

Goenawan mungkin mengira saya pendendam dan mengalami sakit hati yang mendalam. Tidak, saya justru sangat kasihan dengan penguasa yang sangat rendah budayanya, termasuk merampas semua yang dimiliki bangsanya sendiri.

Saya sudah memberikan semuanya kepadaIndonesia. Umur, kesehatan, masa muda sampai setua ini. Sekarang saya tidak bisa menulis-baca lagi. Dalam hitungan hari, minggu, atau bulan mungkin saya akan mati, karena penyempitan pembuluh darah jantung. Basa basi tak lagi bisa menghibur saya.

-Pramoedya Ananta Toer-

Read Full Post »

August 17th, 2011

Saya adalah bagian dari generasi gegar budaya. Setiap hari saya menonton film Amerika, ingin jadi seperti pembuat film dari Korea, percaya bahwa dialek Skotlandia adalah dialek terseksi di dunia, dan selalu menutup hari dengan masturbasi sambil nonton film porno dari Jepang. Sementara itu, film yang akan saya buat adalah film tentang wayang Jawa.

Saya adalah bagian dari generasi berpikiran dangkal. Kalau generasi di atas saya diberkati dengan kata-kata bijaksana dari para pemikir dunia -Ranciere, Badiou, Agamben, Zizek, dan sebagainya- saya adalah bagian dari generasi yang lebih suka mengadopsi kata-kata petuah dari twitter, dari dialog-dialog yang diucapkan karakter-karakter sitcom yang mungkin ditulis oleh orang-orang yang mungkin tidak bisa mempertanggungjawabkan hidup mereka sendiri.

Saya adalah bagian dari generasi bingung. Bukan karena sering dicap tidak ingat akan akar budaya sendiri, atau kenapa saya lebih tertarik pada sampah ketimbang seni. Tapi kenapa dunia seperti berjalan mundur. Kenapa dunia semakin lama semakin mendekat ke konservatisme, fanatisme agama, ras, geografi. Kenapa orang-orang semakin tidak bisa menerima perbedaan. Kenapa para pejabat dan wakil rakyat kebanyakan diisi oleh para the has-beens, the wash-outs, dan mereka yang mengikuti arah dari mana datangnya uang. Kenapa negara tidak dijalankan oleh negarawan melainkan oleh produk dari hasil tawar menawar politik.

Kita tidak lahir sebagai makhluk yang bertanya. Kita lahir sebagai binatang yang menerima apa saja yang dilakukan kepada kita. Kita mulai jadi manusia ketika kita mulai bertanya. Yang membuat kita bisa bertanya adalah saat kita mulai bisa memproses informasi. Semakin banyak informasi, semakin banyak pertanyaan yang dihasilkan oleh otak. Pengajaran nilai-nilai tradisi dan agama sering tidak memberikan jawaban, hanya perban sementara. Lebih buruk lagi, pengajaran nilai-nilai tradisi dan agama sering memberikan janji-janji yang menggiurkan hanya jika kita mau berhenti bertanya. Jika kita kembali menjadi binatang.

Di luar strata yang terlihat permanen dan seperti selalu berputar kembali ke titik nol ini, berdiri lah seni.

Saya ingat pada tahun 1997, saat hidup saya diselamatkan oleh musik dan tulisan orang-orang yang gelisah. Karya-karya mereka tidak memberikan jawaban, tapi menghancurkan tembok yang memisahkan saya dari kebebasan untuk berpikir. Informasi memberikan saya pilihan, seni mengaktifkan otak saya untuk bisa membuat pilihan-pilihan dengan lebih sadar. Atau bahkan membantu saya menemukan pertanyaan yang benar.

Seni yang berguna adalah seni yang jujur. Dan jika seni itu jujur, dia tidak akan mencoba menggantikan posisi agama dan nilai-nilai tradisi dengan memberikan jawaban sederhana. Jika seni itu jujur, dia tidak akan berkontribusi pada kesempitan pikiran yang menjadi masalah dunia, yang jadi masalah terbesar negara kita pada saat ini. Jika seni itu jujur, dia akan memberikan yang dibutuhkan dunia: alat pendobrak kesempitan pikiran yang selalu berusaha mendorong batas nilai-nilai.

Indonesia masih dipenuhi orang-orang yang lebih suka diberikan konfirmasi bahwa apa yang selama ini diajarkan kepada mereka adalah kebenaran mutlak. Sehingga banyak para oportunis yang mencari nafkah dengan mengatasnamakan seni menjual relijiusitas murahan dan nasionalisme sempit. Ini hanya membuat masyarakat semakin malas berpikir, dan inovasi-inovasi yang membuat hidup lebih baik akan semakin jarang muncul dari orang-orang Indonesia.

Ini adalah anti-seni yang membuat pikiran rakyat semakin sempit, semakin tidak bisa menerima perbedaan. Yang akan tetap mendorong timbulnya bentrokan-bentrokan.

Kemudahan dan fasilitas yang ditawarkan oleh kemajuan teknologi telah membuat munculnya lebih banyak seniman dan pemikir. Saat ini, semua orang bisa menjadi seniman. Seni lukis, fotografi dan sinematografi, tulisan, musik, dan lagu. Semua orang bisa dengan gampang mempublikasikan karya mereka.

Saya beruntung lahir sebagai generasi yang mengalami dua fase di negeri ini. Saya sudah bisa berpikir saat pemerintah masih represif terhadap kebebasan menyiarkan dan mendapatkan informasi serta berekspresi dalam seni. Saat ini, saya tidak percaya bahwa represi pemerintah masih merupakan hambatan dalam berekspresi. Internet telah membuat ini mungkin dilakukan dengan cara mengadopsi anonimitas.

Represi yang kini ada, justru adalah represi oleh rakyat. Rakyat yang masih berpikiran sempit yang disebabkan oleh pengajaran agama yang tidak tepat dan nasionalisme sempit yang ditanamkan oleh pemerintah terdahulu dan para seniman anti-seni. Karena pemerintahan saat ini bukan lah pemerintahan memiliki kapabilitas, mereka cenderung bersifat reaktif. Mereka akan ikut represif jika rakyat represif untuk menjadi populer.

Melawan represi yang dilakukan rakyat sendiri lebih sulit ketimbang melawan represi yang dilakukan adalah pemerintah karena perlawanan tidak bisa dilakukan seperti melawan musuh. Salah satu cara berekspresi seni di kondisi ini adalah menyamarkan statement dalam bentuk karya yang lebih populis. Entertainment with a mission. Tentu saja orang yang mau berekspresi secara lebih eksplisit juga dibutuhkan karena keduanya sama-sama mendorong batas sampai akhirnya kebebasan berpikir tidak lagi jadi sesuatu yang dianggap berbahaya.

Seni dan informasi adalah rekanan yang paling bertanggung jawab untuk percepatan kemampuan untuk berpikir terbuka. Saat ini, seniman dan penyiar informasi mau tidak mau harus bisa menjadi aktivis untuk perubahan ini. Tentu saja kita tidak bisa menghakimi mereka yang lebih nyaman berekspresi dengan membuat keberjarakan dengan rakyat kebanyakan. Tapi yang paling dibutuhkan saat ini adalah merangkul rakyat dan secara menyenangkan membuka pikiran mereka.

(Dibacakan sebagai orasi budaya pada HUT Aliansi Jurnalis Independen (AJI), 8 Juli 2011)

reblog from http://zuhdibaikberuntung.tumblr.com/post/9613006576/joko-anwar-represi-oleh-siapa

Read Full Post »

Beberapa hari yang lalu, dalam rangka merayakan ulang tahun dan syukuran beberapa orang teman, sepulang kerja saya dan teman-teman sekantor pergi ke Muara Angke.

Muara Angke terkenal dengan pasar ikan dan kuliner seafoodnya. Saya yang belum pernah sekalipun pergi ke sana, sangat bersemangat ketika teman-teman mengajak makan bersama di sana.

Jika kita berkunjung ke Muara Angke, kita bisa memilih sendiri jenisseafood yang ingin kita makan dengan berbelanja sendiri di pasar ikan tersebut. Lalu kita datangi salah satu lapak kuliner tidak jauh dari pasar, dan seafood yang sudah kita beli tadi akan dimasak oleh mereka dengan aneka bumbu yang bisa kita pilih (ikan bumbu kecap, asam manis, goreng, masak pedas, dan sebagainya), dengan tambahan biaya masak tentunya. Tapi kalau tidak ingin repot-repot berbelanja juga bisa, tinggal bilang ke salah satu lapak, ingin pesan ini dan itu.

Saat mobil kami mulai memasuki area pasar ikan, aroma amis yang tajam semerbak masuk ke dalam mobil. Lalu mobil kami menyusuri jalanan becek menuju ke area parkir. Di sisi kanan dan kiri jalan, terlihat aktivitas sibuk para nelayan, penjual ikan, pembeli, dan kurir.

Saya hanya tercengang menyaksikan seluruh adegan tersebut di sekitar saya. Bukan aroma amis yang mengganggu saya. Saya pun kerap pergi ke pasar, dan saya tahu bahwa pasar ikan pasti menimbulkan bau-bauan yang kurang sedap. Kebersihan lah yang menjadi pusat perhatian saya. Kebersihan di Muara Angke sungguh jauh di bawah ekspektasi saya.

Jalan-jalan yang tidak dipaving atau diaspal, melainkan dibiarkan tetap terbuat dari tanah, sehingga menjadi becek tidak karuan.

Ikan-ikan yang diletakkan di drum-drum besar yang kotor dan jauh dari steril. Lapak-lapak yang sangat semrawut dan tidak ditata sama sekali.

Banyaknya empang-empang dengan genangan air yang lebih mirip comberan.

Sampah-sampah yang berserakan.

Lalu di tengah ketercengangan saya, seorang teman berkomentar, “Untung lho kita ke sininya malam. Kalau siang, keadaannya lebih parah dan jorok.”

Ya Tuhan. Saya benar-benar kehilangan kata-kata.

Lalu mobil kami berhasil parkir. Dua orang teman yang menjadi “tim pendahulu” sudah tiba dan menyambut kami dengan seabrek belanjaan yang terdiri dari cumi-cumi, ikan, udang, kepiting, dan kerang.

Sambil menunggu seafood selesai dimasak, saya berkeliling untuk mengamat-amati keadaan. Saya masuk ke gang-gang dan melihat begitu banyak rumah-rumah yang hanya terbuat dari triplek. Satu-satunya bangunan yang saya lihat sudah menggunakan tembok hanyalah bangunan mushola yang cukup besar. Gang-gang tersebut kecil (paling hanya muat 1-2 orang) dan penuh “rintangan” berupa selokan kecil, batu-batu, keramik yang berserakan. keadaan diperparah dengan minimnya penerangan, membuat saya dan beberapa teman mesti berjalan pelan-pelan.

Sejauh mata memandang, semuanya dalam keadaan sangat kotor dan tidak sehat. Lalat hinggap di mana-mana. Kubangan ada di mana-mana.

Lalu saya melihat beberapa anak kecil yang tengah berlarian dengan riang, dengan kaos dan sandal dekil. Dan saya berpikir, apa anak-anak ini tahu, bahwa ada bahaya kesehatan mengancam mereka? Mengingat kondisi lingkungan yang begitu buruk dan kumuh.

Bagaimana keadaan tempat tinggal mereka?

Bagaimana makanan yang mereka santap setiap hari? Cukup bersih kah?

Bagaimana keadaan kakus yang biasa mereka pakai?

Apakah mereka ngelem (menghisap lem sampai mabuk) seperti yang dilakukan kebanyakan anak-anak kecil di pasar Ciroyom, Bandung?

Apakah mereka mengamen? atau mengemis? atau memulung?

Apakah mereka sekolah?

Dan seterusnya.

Saya kembali dari “jalan-jalan” singkat saya, dan bersiap menikmati berbagai hidangan yang (kata banyak orang) lezat.

Bahkan saya tidak bisa lahap makan di tempat sekotor itu. Mengapa masyarakat di sekitar situ tetap betah dengan keadaan kotor yang separah itu?

Yea yea, itu pasar. I know. Pasar ikan lagi.

Tapi apa pasar harus identik dengan tempat yang kotor dan jorok?

Apa kampung di sekitar pasar harus identik dengan perkampungan kumuh yang dipenuhi kubangan dan rumah-rumah triplek tak jelas bentuknya?

Saya pikir tidak demikian.

Muara Angke seharusnya menjadi destinasi favorit bagi pecinta kuliner seafood karena kesegaran seafoodnya dan harganya yang miring. Muara Angke harusnya menjadi potensi yang luar biasa bagi daerah pesisir Jakarta. Namun, dengan kondisi yang seburuk itu, saya ragu banyak orang mau menjadikannya sebagai tempat makan favorit. Saya sendiri segan untuk datang lagi dan harus makan di tempat yang setidak higienis itu.

Tugas siapakah membenahi kawasan seperti Muara Angke? Pemerintah? Mungkin ya, tapi tidak sepenuhnya.

Tidak mungkin semua masalah perkotaan bisa diselesaikan oleh pemerintah. Warga juga sudah seharusnya punya kesadaran untuk membenahi kawasannya sendiri. Toh, itu tempat tinggalnya sendiri, toh itu tempat mereka mencari nafkah.

Apa ruginya sedikit demi sedikit belajar hidup bersih dan pelan-pelan menata kembali kawasan mereka sendiri? Hidup mereka bisa menjadi lebih sehat, bisnis kuliner menjadi lebih ramai, pemandangan tampak sedap dipandang, warga juga yang akhirnya memetik hasilnya.

Mungkin saya dan teman-teman arsitek yang lain bisa usulkan sayembara untuk perancangan penataan kembali kawasan Muara Angke. Mungkin juga pemerintah menyetujui dan bisa mendanai serta merealisasikan hasil sayembara tersebut.

Tapi selama sikap warga sekitar tidak menunjukkan kesadaran dan perubahan ke arah hidup sehat dan bersih, selamanya Muara Angke (dan kawasan serupa di seluruh Indonesia) akan tetap dalam keadaan sedemikian kotor, kumuh, dan mengenaskan. Dan selama itu pula, negara ini susah untuk lebih maju.

Read Full Post »

Older Posts »