Feeds:
Pos
Komentar

Hijrah.

Bismillahirrohmanirrohim.

Halo, akhirnya setelah 2 tahun lebih saya vakum menulis di blog, akhirnya di malam yang sunyi ini, ditemani hujan ringan yang mengguyur Jogja, saya putuskan untuk kembali menulis..

Sebenarnya, sungguh, saya memilih waktu yang sangat tidak pas untuk menulis blog. Kenapa? Karena 2 hari lagi saya harus mengumpulkan sebuah makalah, serta mempresentasikan 2 tugas besar untuk 2 mata kuliah yang berbeda. Tapi, sudahlah.. Saya ingin menulis.

 

Di tulisan kali ini, saya hendak bercerita tentang “perjalanan pemikiran” yang telah saya lalui beberapa tahun terakhir. Sedikit kilas balik hingga akhirnya saya berada di tempat saya berada sekarang.

Saya mulai memiliki pergulatan batin yang cukup serius dan intens di usia 16 tahun, berarti telah dimulai sekitar 12 tahun silam. Di periode sebelumnya, bukan berarti pergulatan batin itu tak ada, namun rasa-rasanya belum signifikan. Tercetusnya kesadaran untuk “mencari jawaban atas berbagai kegelisahan”, yaitu saat di usia 16 tahun tersebut (tahun 2003) saat saya mulai membaca buku “Arus Balik” karya pak Pramoedya Ananta Toer. Arus Balik adalah buku kemanusiaan pertama yang saya baca setelah sekian lama saya “hanya” membaca kumpulan komik balet, komik detektif, novel detektif, novel horor, majalah remaja, dan semacamnya.

Kemanusiaan dan Nasionalisme, adalah kegelisahan pertama yang saat itu kerap “menghantui” pikiran saya. Ternyata sastra kemanusiaan yang ditawarkan pak Pram adalah candu yang dasyat bagi saya, sehingga selama beberapa tahun setelahnya pun saya terus merasa kehausan untuk mencari-cari tulisan-tulisan tentang kemanusiaan dan nasionalisme yang lain, baik itu karya pak Pram atau karya penulis-penulis hebat lainnya.

Arus Balik, dilanjutkan dengan Tetralogi Buru (Bumi Manusia – Anak Semua Bangsa – Jejak Langkah – Rumah Kaca), telah membuka mata hati saya untuk lebih mendalami dan belajar tentang sejarah-sejarah bangsa Indonesia. Lebih dari itu, membuka mata hati saya untuk juga melihat fenomena-fenomena sosial-kemanusiaan yang terjadi di sekitar saya. Saya menjadi kenal dengan banyak tokoh-tokoh Nasional lainnya, salah satu yang terpenting bagi saya adalah pak Tan Malaka. Pak Tan Malaka lewat tulisan-tulisannya, membuka gerbang-gerbang pengetahuan dan pandangan yang baru, yang mungkin belum dibukakan oleh pak Pram, misalnya tentang gerakan kiri, juga tentang Islam. Namun koridor dan temanya tentu saja masih sama, yaitu “Nasionalisme” yang berhubungan erat dengan sosial-kemanusiaan.

Saya masih bisa mengingat dengan jelas, pada tahun-tahun tersebut (mungkin sekitar 2006-2011), berkat pak Pramoedya dan pak Tan Malaka, saya telah bertranformasi dari remaja yang penuh rasa penasaran menjadi seorang dewasa muda yang diliputi rasa cinta pada NKRI. Saya gemar menambah pengetahuan tentang “nasionalisme” ini, misalnya dengan cara berdiskusi bersama teman-teman yang juga memiliki jiwa nasionalisme yang cukup baik, mengikuti perkembangan berita-berita tentang NKRI, melakukan kegiatan-kegiatan sosial-kemanusiaan yang tetap ada hubungannya dengan kecintaan terhadap NKRI, hingga menulis hal-hal yang berbau nasionalisme di blog ini (terekam sejak tahun 2008).

Lalu, di suatu malam di tahun 2011, berlokasi di sebuah warung soto di jalan Cihampelas Bandung, saya berbincang ringan dengan salah seorang teman baik. Di perbincangan malam itu, ia mengemukakan pendapatnya tentang ketidak-setujuannya akan sebuah Negara. Baginya, Negara adalah sebuah mesin/sistem penindasan bagi rakyatnya. Saat itu, apa yang ia kemukakan merupakan ide yang (sangat) aneh, yang saat itu belum pernah saya dengar sebelumnya. Tentu saja malam itu saya sempat menentang dan memperdebatkan pendapatnya itu, karena setahu saya, para Bapak Bangsa tidak mendirikan NKRI dengan tujuan untuk menindas rakyat Indonesia, justru sebaliknya, para Bapak Bangsa mendirikan NKRI untuk membebaskan dan memerdekakan rakyat Indonesia dari Tirani Kolonialisme. Saat itu, pendapat teman saya itu saya anggap sangat aneh dan tidak saya benarkan, namun tetap saja komentarnya itu tersimpan dengan baik di dalam pikiran saya dan saya anggap itu sebagai sebuah pengetahuan baru.

Di tahun-tahun berikutnya, di kehidupan sehari-hari atau dari berita-berita di sosial media/media mainstream, anehnya saya banyak melihat alasan-alasan masuk akal untuk membenarkan pendapat teman saya yang pernah ia lontarkan kepada saya di tahun 2011 tersebut. Betapa Negara ini suka bertindak tak adil terhadap rakyatnya. Betapa banyak penindasan-penindasan yang dilakukan oleh aparatur-aparatur negara terhadap rakyatnya. Pemukulan terhadap para petani di Kendeng yang menolak pendirian pabrik semen, misalnya. Atau pembunuhan terhadap para aktivis lingkungan yang bersuara nyaring melawan korporasi. Atau pengabaian pemerintah terhadap kaum fakir-miskin. Atau daftar kasus korupsi dari para pejabat pemerintahan yang tidak ada habisnya. Atau kasus-kasus hukum yang tebang pilih, keras pada yang miskin, lembek pada yang kaya. Sebut saja, daftar penindasan ini tidak akan habis jika saya teruskan.

Hingga di satu titik, mungkin di tahun 2013 atau 2014, saya pun mulai muak dengan pemberitaan-pemberitaan di media mainstream, utamanya televisi. Saya mulai enggan memikirkan tentang “negara” atau “nasionalisme” atau isu-isu terkini tentang politik dagelan yang ada di televisi. Sosial-kemanusiaan menjadi jauh lebih penting bagi saya, dibandingkan sekedar “nasionalisme” semu yang banyak digembar-gemborkan, yang makin hari saya pun makin kehilangan maknanya. Lambat laun saya berpikir, untuk apa lagu-lagu kebangsaan itu? Bendera itu? Simbol ini simbol itu? Jika rakyat di dalamnya saja masih susah makan, masih hidup dalam garis kemiskinan, masih ditindas oleh korporasi (yang dibantu oleh aparatur negara), dan masih-masih yang lain.

Di saat yang bersamaan, tepatnya sejak saya menikah di tahun 2012, saya mulai banyak belajar tentang Islam. Sehingga tahun 2014, saat saya berada di titik “muak” terhadap persoalan-persoalan negara yang tidak ada habisnya itu, saya lebih mengembangkan pengetahuan dan pemikiran saya ke arah religi. Saya sedikit demi sedikit belajar tentang Islam, saya rutin mendatangi acara-acara pengajian, dakwah, atau diskusi-diskusi yang ada kaitannya dengan Islam, khususnya yang menyentuh ranah kehidupan sosial sehari-hari. Saya juga banyak berdiskusi dan bertukar pikiran dengan teman-teman mengenai hal ini. Buku-buku yang jadi santapan saya pun tidak lagi didominasi dengan buku-buku bertema nasionalisme. Saya juga tak lagi ingin banyak tahu tentang seluk beluk dunia politik praktis, sekalipun sesekali saya tetap mengikuti perkembangan berita tentang hal-hal tersebut. Saya lebih memilih dan menyenangi buku dengan tema-tema yang lebih sederhana, buku yang menyentuh ranah sehari-hari kita sebagai manusia. Sastra pak Pram tetap menjadi favorit, tentu saja. Namun sastra karya Y.B. Mangunwijaya tidak kalah indahnya, dengan temanya yang sederhana. Buku-buku karya Emha Ainun Nadjib juga menjadi sangat menarik, karena ia menyentuh ranah budaya dan sosial-kemanusiaan yang banyak ditinjau dan dikaitkan dengan nilai-nilai Islam. Karya-karya Nietzsche dan Goethe juga memiliki tempat yang istimewa di dalam pikiran saya. Di periode 2014-2015 ini, saya lagi-lagi bertransformasi, dari seorang dewasa muda yang jiwanya penuh dengan gejolak nasionalisme, menjadi seorang dewasa yang -bisa dibilang- lebih bijak, semoga. Jika mengutip kata-kata Rumi, mungkin kutipan berikut cukup tepat menggambarkan transformasi ini.

“Yesterday I was clever, so I wanted to change the world.

Today I am wise, so I am changing myself.”

Namun ternyata 2015 tidak menyelesaikan ceritanya sampai di situ. Saya, yang tak lagi terlalu tertarik dengan hal-hal berbau politik praktis, yang tak lagi se”nasionalis” dulu, ternyata tetap memiliki kesadaran untuk “mencari jawaban atas berbagai kegelisahan”, sama seperti saya 12 tahun yang lalu. Kegelisahan itu masih ada, jawaban yang saya cari belum juga ketemu. Setiap hari, setiap jam, setiap menit saya masih melihat penindasan di mana-mana, saya masih sering menitikkan air mata dengan sebab-sebab yang mungkin dianggap remeh oleh sebagian besar orang.

Melihat para karyawan di DKI Jakarta pulang berdesak-desakan di dalam bus trans-jakarta, hati saya hancur. Melihat pemulung sedang mengambili botol-botol plastik bekas di jalan, hati saya hancur. Melihat orang-orang kaya yang kikir dan bersikap keras terhadap “orang kecil”, hati saya hancur. Melihat kemiskinan dan penderitaan yang begitu banyak terjadi di sekeliling saya setiap hari, menghancurkan hati saya setiap hari. Lagi dan lagi.

Penghisapan oleh korporasi terhadap rakyat kebanyakan, kesewenang-wenangan aparatur negara terhadap rakyat kecil, manipulasi media yang dengan sukses membuat masyarakat tercuci otak menjadi konsumtif dan mengejar gaya hidup “ideal” ala modal, pengrusakan dan eksploitasi lingkungan yang terus-menerus, jarak yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin, ketidak-pedulian kaum terpelajar terhadap kondisi yang sedemikian gelap ini, telah mengahncurkan hati saya secara konstan dan terus-menerus. Setiap hari, setiap saat.

Saya tahu ada yang salah, tapi apa? Apa inti persoalannya? Apa isu besarnya? Bagaimana pemecahannya? Saya tidak tahu. Saya terombang-ambing dan terus mengalami kegelisahan.

Tapi, seperti pesan mas Budiman Sudjatmiko, “jangan pernah abaikan kegelisahan di dalam hatimu.”, maka untuk itulah saya tak pernah mengabaikan kegelisahan itu. Saya terus mencari dan mencari, membuka hati, mengkaji, menambah pengetahuan, dan tidak lupa berdoa. Setiap kali saya membaca surat Al-Fatihah, saya memang sungguh-sungguh mengharapkan Alloh, Subhanahu wa Ta’ala, menunjuki saya jalan yang lurus, jalan yang Ia ridhai, bukan jalan orang-orang yang Ia murkai, dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat.

Hingga suatu hari di tahun 2015, tepatnya mungkin sekitar 2-3 bulan yang lalu, sampailah “perkenalan” saya kepada dua orang Guru. Perkenalan saya di sini, sayangnya, bukan perkenalan tatap muka secara langsung, namun perkenalan saya terhadap pemikiran-pemikiran beliau berdua yang tertuang pada karya-karya tulis maupun buku-buku. Berbeda dengan perkenalan saya terhadap pak Pramoedya Ananta Toer dan pak Tan Malaka di mana kedua penulis hebat dan kedua pemikir revolusioner tersebut saya “temui” setelah mereka berdua tak lagi hidup di atas bumi ini. Kedua Guru saya kali ini masih hidup, sekalipun beliau berdua berada di belahan bumi bagian Barat yang jauh dari Indonesia. Beliau adalah Shaykh Dr.Abdalqadir As-Sufi dan Shaykh Umar Ibrahim Vadillo.

Buku karya Shaykh Dr.Abdalqadir As-Sufi, terutama Root Islamic Education, berhasil membuka mata hati saya akan jawaban kegelisahan yang saya cari-cari selama ini. Beliau sendiri dahulu tidak lahir sebagai Muslim, dan memilih Islam dengan kesadaran penuh melalui perjalanan pemikiran yang sangat panjang. Dalam berbagai dakwahnya, beliau “menguliti” permasalahan umat manusia dewasa ini. Memberikan kesadaran tentang apa isu besar dan inti persoalan yang sedang dihadapi umat manusia saat ini. Mengapa umat manusia mengalami degradasi moral dan sosial seperti yang terjadi hari ini. Apa yang membuat umat manusia saat ini “berkubang” dalam kegelapan. Adapun Shaykh Umar Ibrahim Vadillo, dalam berbagai tulisan dan dakwahnya, dengan gamblang menjelaskan tentang apa itu “kapitalisme”, seluk beluknya, dan bagaimana kapitalisme telah menjadi sebuah “agama” yang membuat seluruh umat manusia saat ini tunduk tak berkutik di bawah kekuasaannya, dan mengapa umat Muslim wajib memeranginya. Beliau berdua, tak membicarakan mengenai janggut, atau potongan celana, karena Islam memang bukan tentang itu. Islam sudah sedemikian dikebiri hingga hanya boleh menyentuh ranah moral-pribadi. Padahal seharusnya Islam menjadi sebuah realitas sosial-politik.

Semua ketidak-adilan karena sistem yang ada saat ini, sehingga mengakibatkan kedzaliman yang luar biasa terhadap umat manusia, mengakibatkan kehancuran lingkungan yang luar biasa, mengakibatkan kemiskinan dan penderitaan di mana-mana, dan hanya menguntungkan segelintir  manusia, yang telah menjadi pokok kegelisahan saya selama bertahun-tahun, yang membuat hati saya hancur secara terus menerus, ternyata kedzaliman dan keadaan gelap-gulita yang terjadi saat ini sudah diramalkan oleh Rasulullah, Salallahu ‘alayhi wa salam, sejak jaman dahulu. Dan jalan keluarnya pun dengan terang benderang dan jelas sudah ada di dalam Al-Qur’an, walaupun sebagian besar umat Muslim hari ini pun mengingkari itu, dengan atau tanpa mereka sadari. Pengkerdilan terhadap Islam sebagai realitas sosial-politik menjadi sekedar moralitas-pribadi sudah demikian jauh, sehingga umat Muslim sendiri tidak tahu siapa musuh terbesar mereka, umat Muslim tidak sadar apa yang harus mereka perangi, dan justru sibuk meributkan hal-hal remeh seperti janggut dan potongan celana. Atau sibuk melakukan bom-bom bunuh diri. Sedemikian hebat pengkerdilan yang dilakukan terhadap Islam, hingga siapapun yang berusaha menegakkan kembali Islam sebagai sebuah realitas sosial-politik di masa ini akan dianggap sangat aneh dan tidak lazim. Ini pun ternyata telah diperkirakan oleh Rasulullah, Salallahu ‘alayhi wa salam,

“Islam mulai sebagai sesuatu yang tidak biasa dan asing dan akan kembali lagi sebagaimana ia mulai.”

Baru 2-3 bulan saya “bertemu dan mengenal” dua Guru baru saya yang sangat revolusioner ini, masih banyak sekali hal-hal yang harus saya pelajari. Namun yang saya yakini, sebuah keyakinan yang begitu mantap yang baru pertama kali saya miliki selama 28 tahun saya hidup di muka bumi ini, bahwa Islam adalah jalan yang saya pilih dengan penuh kesadaran, bukan Islam yang sekedar sebagai “moralitas-pribadi” seperti keinginan para kapitalis itu, tapi lebih jauh, yaitu Islam sebagai sebuah realitas sosial-politik, Islam sebagai jalan hidup, dan Islam sebagai sebuah jalan keselamatan dan penerang. Bukan dwi-shahadat yang diucapkan setiap hari lewat mulut (ketika menjalankan solat) tapi diingkari dalam perbuatan sehari-hari, namun dwi-shahadat yang diucapkan terus-menerus sekaligus dijalankan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Insya Allah.

Saya akan menutup tulisan yang sudah kepanjangan ini dengan kutipan singkat dari Shaykh Umar Ibrahim Vadillo,

“Be mad (intoxicated) in Allah, until they call you a Hypocrite.

Be mad in Him.”

Elysium.

Tahu kan ada film berjudul “Elysium” yang beredar di bioskop baru-baru ini? Pemeran utamanya adalah si aktor ganteng yang super-keren: Matt Damon. Tapi tidak, kali ini saya tidak akan membahas tentang kegantengan Matt Damon, pun saya tidak akan menjadi kritikus film dadakan. Saya hanya akan bercerita tentang “gejolak hati” yang saya rasakan ketika saya menonton film ini di bioskop.

Walaupun film ini tidak akan masuk dalam daftar film-film favorit saya seperti A Beautiful Mind atau Cast Away atau Before Sunrise, saya tetap mengapresiasi film ini dengan baik karena tiga faktor:

1. Kegantengan Matt Damon.

2. Kegantengan Matt Damon.

3. Kritik sosial yang ia sampaikan.

Karena sudah jelas saya tidak akan membahas tentang no.1 dan no.2, maka no.3 lah yang akan menjadi topik utama dalam tulisan saya kali ini.

 

Latar belakang waktu pada film Elysium adalah akhir abad 21, di mana saat itu kondisi Bumi telah menjadi sangat buruk, populasi manusia sudah sedemikian besarnya sehingga menimbulkan berbagai masalah serius seperti polusi udara yang sangat parah, tempat tinggal & sumber daya yang sama sekali tak memadai, dan sebagainya. Dalam film tersebut, planet Bumi sudah menjadi tempat yang sangat tak nyaman untuk ditinggali. Maka orang-orang terkaya yang ada di Bumi, membuat alternatif tempat tinggal lain di luar Bumi, semacam planet kecil (satelit) buatan yang disebut Elysium.

Berbeda dari Bumi yang telah menjadi sangat gersang dan penuh polusi, di Elysium udaranya dijaga agar tetap bersih. Jika di Bumi masyarakatnya harus tinggal berdesak-desakan, maka orang-orang kaya yang tinggal di Elysium bisa memiliki rumah-rumah besar nan mewah dengan taman-taman dan kolam renang. Jika masyarakat di Bumi sakit, mereka harus “terima” dengan perawatan kesahatan dan obat seadanya yang tersedia di RS-RS Bumi. Sedangkan mereka yang tinggal di Elysium tidak perlu khawatir dengan ancaman sakit, karena di jaman itu telah ditemukan teknologi dengan sistem atomik yang mampu menyembuhkan segala macam penyakit. Namun, sekali lagi, hanya orang-orang terkaya lah yang berhak atas teknologi tersebut.

Oke, saya tidak akan menceritakan lebih lanjut tentang detail kisah di film tersebut. Silahkan nonton sendiri kelanjutannya, hehehe.

 

Tapi sadarkah kalian? Terlepas dengan ada-tidaknya teknologi-teknologi dan robot-robot yang ada di film tersebut, sebenarnya masyarakat hari ini telah terpisah-pisah dalam zona-zona tertentu. Sebagian besar masyarakat berbagi tempat yang sempit di zona “bumi”, sedangkan para orang-orang kaya memiliki rumah dan taman bak surga di zona elit “elysium”. Sebagian besar masyarakat hanya mendapatkan akses kesehatan (dan akses-akses lain) yang sangat terbatas dan seadanya. Sedangkan orang-orang kaya bisa mendapatkan segala macam perawatan dan pengobatan yang paling canggih dan terbaru.

 

Baru-baru ini pun saya mengalami kejadian yang semakin membuat saya sadar bahwa zona-zona tersebut memang ada. Ia eksis di tengah-tengah masyarakat kita.

Suatu malam, saya memutuskan untuk pulang ke rumah dengan menggunakan transportasi umum bus transjakarta, alih-alih naik taxi atau minta dijemput suami. Jalur saya malam itu mengharuskan saya turun dan transit di halte Grogol, alih-alih halte Harmoni, dikarenakan ada masalah pada bus-reyot yang saya naiki. Basically, saya bukan tipe orang yang bermasalah saat menunggu, biasanya saya tetap ceria karena sembari menunggu saya bisa mendengarkan lagu-lagu favorit, main game di handphone, membaca buku, ataupun mengamati tingkah laku orang-orang di sekitar. Lagipula, antrian ke arah tempat saya tinggal tidak begitu panjang, jadi saya yakin bahwa tidak butuh waktu lama saya akan segera naik ke bus dan tiba di rumah. Saya pun sudah membayangkan akan memasak ini dan itu saat tiba di rumah, karena saat itu perut saya sudah ribut minta diisi makanan.

10 menit, bus belum datang, saya masih sibuk membayangkan menu-menu yang akan saya masak malam itu.

20 menit, saya mulai membuka handphone dan memainkan game-game kecil yang ada di situ.

30 menit, kaki saya mulai pegal karena harus berdiri dengan posisi yang sama, saya masih main game di handphone.

40 menit, saya sudah bosan dengan game-game di handphone, dan mulai bertanya-tanya mengapakah sudah selama ini tapi tidak juga ada tanda-tanda kehadiran bus yang akan mengangkut kami.

50 menit, angin malam yang berhembus kencang dan halte busway dengan pintu terbuka lebar mulai membuat asma saya kumat, kaki saya jangan ditanya lagi rasanya, seperti mati rasa dan mau lepas. Saya melepas earphone dan mulai kesal, bagaimana tidak, menunggu selama 50 menit dan tidak satupun bus melintas untuk mengankut kami sudah lebih dari keterlaluan. Seharusnya saat itu saya sudah berada di rumah dan sedang sibuk memasak. Karena jarak sebenarnya antara Grogol-Senen hanya 20-30 menit saja.

60 menit, rasa kesal yang ada mulai memuncak ke ubun-ubun dan hampir membuat saya pergi mencegat taxi. Menunggu 60 menit rasanya sudah tidak masuk akal. Jalanan di depan halte bahkan tidak macet sama sekali! Sudah hampir saya pergi dari antrian ketika saya mendengar tawa cekikan dari seorang anak balita yang juga sedang mengantri bersama ayahnya di sebelah saya. Ternyata sang ayah berusaha melucu terus menerus agar putrinya tetap tertawa dan tidak rewel menunggu bus. Saya memperhatikan sang ayah yang ternyata membawa dua orang putri yang masih kecil-kecil. Wajahnya sungguh terlihat lelah dan ia juga menggendong tas punggung yang cukup besar ukurannya, tapi ia tetap berusaha melucu di depan kedua putrinya dengan mengeluarkan ekspresi-ekspresi lucu.

70 menit, kaki saya sungguh mati rasa. Ayah tersebut masih juga melucu untuk kedua putrinya. Saya mendengar bayi menangis dan ibu yang menggendongnya sibuk menina bobokan bayinya dengan cara menggoyang-goyangnya. Saya juga melihat kakek tua di belakang saya sudah mulai duduk di lantai. Rasa kesal saya telah berubah menjadi rasa sedih. Keinginan untuk naik taxi sudah pergi, saat itu dengan penuh kesedihan saya hanya ingin ikut merasakan apa yang orang-orang di sekitar saya rasakan. Saya hanya ingin mengantri bersama mereka dan naik bus yang sama dengan mereka. Naik taxi bisa menghabiskan uang sebanyak 10-20 kali lipat dibandingkan naik bus transjakarta. Dan orang-orang di sekitar saya harus legawa dan menerima diperlakukan semacam itu, karena kebanyakan dari mereka memang hanya mampu membayar tiket bus transjakarta untuk sampai di tempat tujuan.

Di sini, yang tidak punya uang memang harus terus bersabar dan berbesar hati menerima perlakuan paling buruk sekalipun. 70 menit waktu kami, warga-warga kelas bawah Jakarta, mesti terbuang sia-sia karena harus menunggu bus transjakarta, satu-satunya transportasi yang mampu kami bayar. Apa para pejabat pengambil kebijakan itu mau peduli dengan apa yang kami alami? Oh, tentu tidak. Bagaimana mereka mau peduli, jika sehari-hari mereka naik mobil mewah yang sangat nyaman? Bahkan tidak cukup dengan itu, dengan mobil mewah pun tidak cukup, mereka juga memerlukan voorijder agar terhindar dari kemacetan. Karena alasan waktu yang terbatas dan jadwal yang padat. Oh well, rakyat miskin seperti kami memang tidak boleh punya jadwal yang padat, kami harus MAU dan TERIMA membiarkan diri kami menunggu 70 menit seperti orang-orang kurang kerjaan. Dan jangan mengeluh, karena jika mengeluh dan tidak suka dengan apa yang disediakan oleh pemerintah, silahkan membeli mobil pribadi atau naik taxi. Namanya orang miskin ya harus terima. Betul?

Dan jika kita telisik lebih jauh, dari mana para pengambil kebijakan yang rakus itu mendapatkan semua yang mereka miliki?  Karena mereka bekerja keras? Oh well, tentu saja mereka “bekerja keras” dengan mengadakan rapat-rapat dan berdebat tentang pengambilan kebijakan-kebijakan yang akan menguntungkan kepalanya sendiri. Dan para pekerja yang sabar dan legawa ini setiap bulan harus menyetorkan sebagian gaji yang sudah pas-pasan (yang biasa disebut pajak) kepada orang-orang rakus ini. Jika tidak bayar pajak, maka akan disebut warga negara yang buruk. Jadi, semua mobil mewah yang mereka pakai, semua gedung pemerintahan yang mereka bangun dengan megahnya, semua perjalanan “dinas” ke luar negeri, dan semua harta yang mengenyangkan perutnya yang tak pernah kenyang itu, didapat dari mana? DARI KERINGAT PARA PEKERJA YANG HARUS SELALU SABAR DAN LEGAWA. Ya Tuhan, dunia macam apa ini?

 

80 menit menunggu, dan pikiran saya sudah ke mana-mana. Bus reyot yang kami nantikan pun akhirnya tiba. Dan tebak? Bus itu sudah terisi penuh, sehingga hanya kurang dari 10 orang yang mengantri yang bisa diangkut ke bus itu. Saya adalah salah satu yang beruntung karena berada di garis depan antrian. Di dalam bus, jangan ditanya, kami berdesak-desakan dengan sangat parah. Dengan dihadapkan dengan kondisi seperti itu, tak heran jika banyak penumpang yang menjadi mudah sekali marah karena hal-hal kecil. Padahal menurut saya, sebaiknya kondisi psikologis kita jangan ikut terpengaruh dengan kondisi sekitar yang buruk yang sedang kita alami. Karena mudah tersulut emosi karena hal-hal kecil dan marah pada orang-orang sekitar seperti itu hanya akan membuat kita tidak bisa melihat permasalahan makro dengan jernih. Untuk mendapatkan solusi dari suatu masalah, pertama-tama kita mesti tahu bahwa masalah itu memang ada. Jika semua orang di muka bumi ini tidak tahu / tidak sadar bahwa ada masalah dan isu besar yang sedang dihadapi bersama, Jika mereka berpikir bahwa sudah sewajarnya orang miskin mendapat perlakuan seperti itu, lalu jika mereka tidak mau mendapatkan perlakuan semacam itu berarti mereka harus menjadi orang kaya, maka solusi tidak akan pernah ditemukan. Untuk apa solusi, jika semua orang berpikir bahwa memang sudah sewajarnya begitu?

 

 

Saya mesti ingatkan, bahwa tak akan ada si cantik tanpa si jelek, tak ada si pintar tanpa si bodoh, tak ada penuh tanpa kosong, dan tak ada si kaya tanpa si miskin. Bahwa jika muncul satu orang kaya baru, maka dengan atau tanpa disadarinya, ia baru saja memiskinkan puluhan, ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang yang lain.

Kalian yang religius, kajilah dengan benar-benar apa yang ditulis di dalam Al-Qur’an, dan kalian akan paham bahwa seharusnya kita adalah tuan bagi diri kita sendiri. Dan bisakah kita menjadi tuan bagi diri sendiri dalam sistem yang ada sekarang?

Kalian yang terbiasa hidup berkecukupan, bangkitkan empati kalian dengan sesekali mau mengalami apa yang dirasakan oleh masyarakat di sekitar kita. Coba naik transportasi umum, coba pergi ke Rumah Sakit Umum yang murah, dan lain-lain. Jangan mau dilenakan dan dinina-bobokan dengan fasilitas-fasilitas dan barang-barang yang kalian miliki.

Teruslah belajar, maka kalian akan tahu betapa jahatnya sistem yang ada saat ini, dan bahwa sesungguhnya dengan bantuan kita semua dunia tidak perlu menjadi seperti ini. Bekerja keraslah, dan kita tidak perlu berdiri nikmat di atas kerja keras orang lain.

 

Kisah di atas hanyalah satu dari begitu banyak kisah sedih yang pernah saya alami tentang semakin hilangnya rasa kemanusiaan di kehidupan sehari-hari masyarakat masa kini. Dan saya akan menutup tulisan yang sudah melenceng jauh dari pembahasan film Elysium ini, dengan kutipan dari pribadi yang sangat istimewa, Mahatma Gandhi.

” Seven Deadly Sins :

Wealth without Work

Pleasure without Conscience

Science without Humanity

Knowledge without Character

Politics without Principle

Commerce without Morality

Worship without Sacrifice. “

 

 

religius.

Enam bulan sudah saya tidak lagi menulis. Dan alih-alih menulis, saya mencoba untuk lebih menghidupi hidup saya dan menghargai setiap detiknya. Saya mendapati diri ini menjadi lebih religius. Namun jangan bayangkan saya mengenakan pakaian-pakaian penanda religiusitas, menghabiskan uang dengan pergi ke negara-negara yang banyak disebut khalayak sebagai tempat religius. Religius bagi saya tidak pernah seperti itu. Religiusitas membuat saya percaya bahwa tidak semua hal bisa kita kendalikan sesuai dengan keinginan diri. Religiusitas mengajari saya untuk menerima kehidupan ini dengan tangan terbuka, menghargai setiap momen dengan menikmati suka dan duka yang silih berganti datang, berempati dengan keadaan yang terjadi di sekitar, serta tak terbawa arus modernitas yang melupakan esensi kehidupan itu sendiri. Religiusitas dapat membuat diri ini merasa kuat sekaligus lemah. Dua hal yang dibutuhkan oleh seorang manusia. Dengan merasa kuat, diri ini tidak perlu takut untuk menghadapi kejutan apapun yang akan diberikan oleh kehidupan. Sedangkan menyadari dan percaya bahwa ada kekuatan tak terjelaskan di luar sana, membuat diri ini memiliki rasa lemah. Rasa lemah yang ternyata diperlukan untuk mencegah diri ini menjadi pongah. Pendek kata, diri ini belajar untuk ikhlas.

Namun ikhlas ternyata bukanlah kata yang mudah. Setidaknya bagi diri ini.

 

Satu bulan yang lalu, tepatnya tanggal 1 Juni 2013, saya dan suami memutuskan untuk jalan-jalan dan nonton film Fast & Furious di mall Rasuna Epicentrum. Fast & Furious jelas bukan termasuk dalam genre film kesukaan saya, namun ikut berpartisipasinya salah satu artis Indonesia di film itu membuat saya dan suami sedikit penasaran. Selesai nonton, kami berbelanja beberapa kebutuhan rumah tangga di supermarket yang ada di dalam mall tersebut. Sore itu merupakan sore yang normal dan menyenangkan. Hingga saya dan suami selesai berbelanja dan kembali ke mobil kami di parkir basement mall. Sayup-sayup terdengar  suara teriakan khas kucing kecil di dekat tempat kami parkir. Seonggok kucing kecil berwarna coklat berada di tengah-tengah area parkir, sendirian, dan sibuk berteriak. Mungkin mencari ibu dan saudara-saudaranya yang terpisah.

Saya pun segera memindahkan kucing kecil tersebut ke tempat yang lebih aman, agar ia tidak terlindas ban mobil yang melintas. Setelah saya pindahkan, tangisannya tak kunjung reda, maka saya pun memutuskan untuk menunggu di dalam mobil sampai si induk kucing tiba untuk membawa anak tersesat ini. Waktu berlalu dan induk kucing yang saya harapkan kehadirannya tak juga tiba. Mungkin ia memang tidak pernah tiba untuk menjemput si anak hilang ini.

Hati ini pun mulai sedih melihat si kucing kecil menjerit-jerit sendirian di atas beton basement yang dingin. Pilihan saya adalah membiarkan si anak kucing tetap berada di situ sendirian dan akhirnya mati kelaparan dan kedinginan, atau membawanya bersama saya. Membawa kucing kecil ini juga bukan pilihan mudah. Pertama, ia masih sangat bayi (saya duga kala itu ia baru berumur seminggu), sehingga ia belum bisa makan makanan padat, belum bisa menjilat minuman (seperti kucing kecil yang sudah lebih besar), belum bisa berjalan. Kedua, saya tidak berpengalaman merawat bayi kucing tanpa induk, saya tidak tahu harus memberinya makanan apa, dan saya sering dengar bahwa bayi kucing yang berumur di bawah 5 minggu tanpa induknya akan susah untuk bertahan hidup. Ketiga, saya tinggal di apartment bukan landed house, sehingga nantinya jika ia sudah bisa berjalan dan berlari, geraknya akan lebih terbatas.

Tapi saya tetap memutuskan untuk mencoba merawat si kucing kecil, alih-alih meninggalkannya sendirian di lantai basement mall.

Saya segera googling untuk mencari tahu cara merawat bayi kucing yang baru berumur seminggu. Susu apa yang tepat, bagaimana cara memberikan susu itu kepadanya (mengingat ia belum bisa menjilat minuman), dan sebagainya. Saya juga menelepon salah seorang dokter hewan yang ada di Jakarta, menceritakan situasi yang ada, untuk kemudian meminta sedikit saran kepadanya mengenai cara memberi susu bagi si kucing kecil. Pendek kata, saya pun merawatnya. Memberinya susu lewat dot khusus bayi kucing, membersihkan badannya dengan tisue basah, mengelusnya, menemaninya belajar merangkak, hingga menonton tv bersama di sofa.

Baru dua minggu ia tinggal bersama saya saat suatu sore ketika saya sedang tidak ada di rumah, suami saya menemukannya bersembunyi di bawah rak sepatu dalam keadaan tak lagi bernyawa. Si kucing kecil berumur 3 minggu ini ternyata tak cukup kuat untuk bertahan hidup. Kehidupan lagi-lagi memberikan kejutannya yang tidak menyenangkan.

Sakit yang diri ini rasakan akibat kematian si kucing kecil sungguh sukar untuk digambarkan. Perasaan sedih dan ngilu seperti itu bahkan mungkin belum pernah saya rasakan selama ini. Rasa menyesal karena tak mampu merawatnya dengan cukup baik pun muncul. Namun sedih dan sesal tidak akan mampu membuat nafas si kucing kecil tersambung kembali, waktu pun tak bisa diputar balik. Jadi sekali lagi, yang perlu saya lakukan adalah menerimanya. Menerima kejutan tak menyenangkan dari sang pemberi kehidupan.

 

Setelah berpulangnya si kucing kecil, entah mengapa saya menjadi lebih ingin tahu seputar dunia perkucingan (dan hewan-hewan lain). Saya banyak mengunjungi laman dunia maya yang menunjukkan kondisi kucing dan beberapa hewan lain. Saya menajamkan pandangan dan pendengaran saat berada di luar rumah. Lambat laun, perhatian saya tak lagi terletak pada kondisi manusia semata, namun juga kondisi makhluk hidup-makhluk hidup lainnya.

Ketertarikan baru ini ternyata membawa saya pada hal-hal yang sangat mengejutkan dan memilukan hati. Penyiksaan, praktik jual-beli, perampasan kehidupan, dan sebagainya ternyata terjadi di mana-mana. Suatu kali, ada seorang breeder (pembiak) kucing yang mengunci, memisahkan anak-anak kucing dari induknya, tak memberi makan kucing-kucing tersebut, hingga mereka menderita malnutrisi, terserang berbagai virus, dan dua diantaranya mati secara mengenaskan. Suatu kali yang lain, ada 4 anak kucing kecil di dalam kardus yang (entah dipukuli atau diapakan), tergeletak di pinggir jalan dalam keadaan berdarah-darah, dua diantaranya mati. Suatu kali yang lain, ada 30 kucing dan anjing yang dijadwalkan untuk disuntik mati, karena tak juga ada yang mau mengadopsinya. Suatu kali yang lain, ada seekor harimau yang ditembak warga karena “mencuri” ternak mereka.

Masih banyak suatu kali-suatu kali yang lain yang tidak mungkin saya tuliskan satu persatu. Namun semua cerita tersebut seolah menegaskan pada saya, bahwa manusia, yang mengklaim dirinya sendiri beradab, ternyata bisa menjadi makhluk paling kejam dan paling rakus yang ada muka bumi ini. Yang memburu dan membunuh makhluk-makhluk hidup lain hanya untuk hobi dan kesenangan (bukan untuk makan atau bertahan hidup). Yang merampas tanah bumi ini dari para penghuni bumi yang lain dan tak menyisakan apapun untuk mereka. Yang mampu memusnahkan makhluk-makhluk hidup lain yang dianggap dapat “merusak” pemandangan kota jika dibiarkan berkeliaran. Kekejaman dan kerakusannyalah yang membuat bumi ini kian hari kian rusak. Kekejaman dan kerakusannyalah yang niscaya akan membuat bumi ini kehilangan keseimbangan alaminya.

 

Tentunya seperti yang kita ketahui bersama, kegilaan manusia tidak hanya ditujukan bagi makhluk-makhluk hidup lain. Kegilaan ini juga ditujukan bagi sesamanya. Tak usah saya jelaskan panjang lebar lagi bahwa karena sifat rakusnya, manusia memperbudak manusia lain untuk menumpuk kekayaan, yang waras akan tersingkir, yang berani bersuara tidak akan dibiarkan begitu saja oleh para monster-monster rakus ini. Kegilaan membuat mereka tak bisa merasakan kenyang, sebanyak apapun yang sudah ia dapatkan dan miliki. Kegilaan ini menular dengan cepat seperti virus yang mengerikan. Membuat manusia-manusia lain yang tak berpikir untuk menumpuk harta secara akumulatif, akan dicap aneh dan bodoh. Membuat mereka yang mau mendistribusikan apa yang dipunyai ke orang-orang yang membutuhkan, akan dianggap aneh dan bodoh. Membuat mereka yang lebih mencintai bumi dan semua makhluk hidup di dalamnya ketimbang barang-barang bermerek, akan diejek dan dianggap bodoh. Ya, kegilaan ini telah membuat yang waraslah yang terlihat gila.

 

Bukankah sukar untuk bertahan dalam dunia yang sudah serba gila ini? Semoga dengan religiusitas (religiusitas versi saya tentu saja, bukan versi khalayak), diri ini tidak akan kehilangan kewarasan dalam kegilaan yang semakin menggila ini.

Semoga.

R.I.P. Journalism

Saya mulai mengenal dunia jurnalisme sekitar delapan tahun silam, yakni ketika saya membaca kisah tentang Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Ia adalah seorang pendiri surat kabar Medan Prijaji, surat kabar pertama yang menggunakan Bahasa Melayu-Pasar. Penggunaan bahasa melayu-pasar ini memiliki tujuan tersendiri, yakni agar semakin banyak pribumi (yang kala itu hanya sanggup berbahasa melayu-pasar) membaca surat kabar ini. Tidak hanya pilihan bahasa, pilihan hurufnya pun lebih besar jika dibandingkan dengan surat kabar lain yang ada kala itu. Alasannya sederhana saja, agar banyak pribumi yang  matanya tak begitu sehat dan tak mampu membeli kacamata tetap sanggup membaca surat kabar ini. Dengan semakin banyaknya pribumi yang sanggup membaca surat kabar ini, maka semakin ampuhlah surat kabar ini sebagai alat propaganda dan pembentuk opini publik. Medan Prijaji dengan kritik-kritik pedasnya terhadap pemerintahan Kolonial, berita-beritanya yang menggelorakan jiwa, hingga rubrik-rubrik tanya jawab yang sangat mengedukasi, membuatnya menjadi pemantik api keberanian bagi setiap pribumi terjajah yang membacanya. Maka tak berlebihan jika saya mengatakan bahwa TAS dengan Medan Prijaji nya menandakan dimulainya periode Kebangkitan Nasional di negeri ini. Fungsi utama jurnalisme  sebagai alat propaganda dan pembentuk opini publik,  saya nilai sangat efektif kala itu untuk membukakan mata masyarakat bahwa apa yang mereka terima selama itu dari pemerintah Kolonial patut untuk dilawan. Jangan lupa, kala itu juga ada surat kabar asuhan Kolonial atau asuhan pribumi yang memihak kepentingan Kolonial yang beredar di wilayah Indonesia. Maka hadirnya Medan Prijaji penting untuk “melawan” berbagai surat kabar asuhan Kolonial, sekaligus penting untuk meningkatkan rasa percaya diri masyarakat pribumi di jaman itu.

 

Fungsi jurnalisme sebagai alat propaganda dan pembentuk opini publik tidak berubah hingga kini. Yang membedakan hanya tujuannya. Jika dulu TAS melahirkan Medan Prijaji dengan tujuan pencerdasan dan peningkatan kualitas kepercayaan diri bagi masyarakat pribumi, maka jurnalisme hari ini tidak demikian. Bahkan bisa dibilang, justru sebaliknya, yaitu pembodohan dan penurunan kualitas kepercayaan diri masyarakat. Jika dulu Medan Prijaji menjadi pemantik api keberanian bagi masyarakat untuk mulai melawan penindasan Kolonial, maka jurnalisme hari ini justru membuat kebanyakan masyarakat menjadi insecure dan mengalami krisis keberanian (baca: pengecut). Tidak semua memang, tapi sebagian besar.

Mungkinkah ini karena jurnalisme  hari ini bertuhan kepada Modal?

Ah, jawabannya tentu saja bukan mungkin, tapi pasti!

Mengerikan memang tuhan yang bernama Modal ini. Ia begitu berkuasa dan mampu membuat segala-galanya tunduk patuh terhadapnya. Ia mampu membuat semua yang tak mau tunduk patuh, tergilas dan tergerus habis. Jurnalisme hari ini, bukan pengecualian. Ia pun tunduk patuh terhadap Modal.

 

Saya sendiri dua tahun belakangan ini terjun di dunia jurnalisme. Jurnalisme-arsitektur lebih spesifiknya. Saya memang bukan seorang jurnalis kawakan jika dilihat dari rentang waktu keterlibatan yang baru seumur jagung tersebut, tapi saya tahu apa-apa yang dipentingkan di dunia ini. Saya tahu karena saya berkecimpung sendiri di dalamnya.

Saat awal saya memasuki dunia ini, saya berpikir bahwa fungsi adanya jurnalisme-arsitektur adalah untuk mengenalkan dunia arsitektur kepada masyarakat luas, membuat masyarakat luas sadar terhadap keberadaan dan eksistensi dunia arsitektur, lebih jauh membuat masyarakat luas paham terhadap seluk beluk dunia arsitektur. Namun kenyataan di dunia modal tentu saja tak seindah angan-angan. Pada kenyataannya, saya, sebagai salah satu jurnalis arsitektur, harus pula tunduk patuh terhadap tuhan yang satu ini: Modal.

 

Beberapa bulan awal berada di dunia jurnalisme-arsitektur, saya memiliki semangat menggelora dan ketertarikan yang cukup kuat. Saya bersemangat untuk berkenalan dengan para Arsitek dan Desainer kawakan negeri ini, bertukar pikiran dengan mereka adalah pengalaman yang patut dikenang. Saya tak bosan untuk menghadiri berbagai acara diskusi dan peluncuran buku, merasakan keriuhannya, kembali berkenalan dengan orang-orang baru. Saya tak hendak melewatkan secuil detail pun saat mengunjungi karya-karya arsitektural yang begitu mengagumkan, karya-karya yang nantinya akan saya liput dan ulas di majalah tempat saya bekerja. Soal menulis artikel, jangan ditanya, ini adalah hal yang paling saya gemari. Saya suka menulis, dan memiliki kesempatan untuk menulis bidang yang telah saya pelajari selama 4 tahun kuliah, dan saya tahu bahwa tulisan tersebut akan dibaca oleh banyak orang, tentu merupakan kehormatan tersendiri.

Di permukaan, dunia ini terasa begitu menggairahkan. Namun, tidak butuh waktu lama bagi sang Modal untuk merenggut gairah tersebut dari hati dan pikiran saya. Dengan segera, saya tahu bahwa yang dipentingkan dari dunia ini adalah soal bisnis semata, tidak lebih. Dan selama sang Modal masih berkuasa, soal bisnis inilah yang akan selalu dipentingkan dalam setiap aspek kehidupan umat manusia. Walaupun para jurnalis-arsitektur yang jauh lebih senior meyakinkan saya bahwa apa yang kami lakukan ini “mulia”, yakni memperkenalkan dan mengedukasi masyarakat luas mengenai arsitektur, namun kenyataan dengan ucapan memang tak selalu sama. Tidak, bukan edukasi bagi masyarakat yang penting, yang penting hanya bisnis yang menguntungkan. Lagi-lagi yang penting hanyalah sang Modal.

Tuntutan bagi jurnalis-arsitektur baru seperti saya hanyalah untuk mampu berkenalan dengan sebanyak-banyaknya Arsitek dan Desainer ternama, dengan tujuan merebut kepercayaan mereka, lantas bisa “menguasai” karya-karya terbaru dan terbaik mereka untuk diulas di dalam majalah. Majalah yang akan memenangkan pasar dan mampu bertahan di dunia Modal ini adalah majalah yang bisa menampilkan karya-karya paling menakjubkan dan paling baruyang sebisa mungkin dirancang oleh Arsitek yang paling ternama. Semakin bergengsi dan tersohor Arsitek yang ditampilkan, semakin bergengsi pula majalah itu. Tidak berbeda dengandunia jurnalisme pada umumnya, sebut saja surat kabar atau televisi. Semakin surat kabar tersebut mampu menghadirkan berita-berita “panas”, semakin larislah ia. Berita-berita itupun tidak sepenuhnya kebenaran. Banyak yang “dipoles” agar sesuai dengan keinginan pasar dan pemegang modal. Omong kosong itu edukasi buat masyarakat. Jurnalisme hari ini hanyalah alat propaganda Modal, agar ia bisa terus berjaya dan berkuasa atas umat manusia. Dan para jurnalisnya adalah ujung tombak sang Modal dalam memburu dan menyebarkan berita. Berita-berita yang berpihak kepada Modal, tentu saja.

 

Kenapa saya bilang bahwa jurnalisme hari ini berpihak kepada Modal? Lihat saja di kehidupan sehari-hari kita. Berkat TV, surat kabar, dan majalah, kita menjadi terdoktrin untuk memiliki sebuah kehidupan ideal ala Modal. Rumah besar dengan kolam renang dan taman yang luas lengkap dengan perabot-perabot stylish yang tentu tak murah harganya, mobil terkini, gadget terkini, tak lupa untuk selalu memakai baju, tas, dan sepatu branded.  Gaya hidup dibentuk sedemikian rupa agar semakin menguatkan sang Modal. Kita dipaksa masuk ke dalam sistem agar mampu bertahan. Kita didoktrin untuk mencapai “puncak” karir agar kualitas kehidupan ala modal ini semakin baik dan nyaman. Untuk mencapai puncak karir, maka mesti menjadi tangan kanan sang Modal, kita diajarkan tak peduli dengan penghisapan antar kelas, semua itu wajar kata mereka. Kita ditidur-lenakan dengan fasilitas dan kenyamanan, tanpa sadar bahwa tiap detik waktu berharga kita terbuang untuk menguatkan kekuasaan sang Modal.

Tidak, saya tak bermaksud menyudutkan jurnalisme, atau arsitektur, atau jurnalisme-arsitektur. Yang saya benci adalah Modal yang telah menguasai bidang-bidang tersebut dan membuatnya berubah. Di awal tulisan tadi, saya mengatakan bahwa tidak semua jurnalisme dikuasai Modal, dan itu benar. Masih ada teman-teman yang menjalankan fungsi jurnalisme-arsitektur atau fungsi arsitektur tanpa diperbudak oleh Modal. Masih ada yang benar-benar serius dengan ucapannya untuk mengenalkan dunia arsitektur kepada publik, untuk menyebarkan manfaat arsitektur.

Ivan Kurniawan Nasution bersama Giri Narasoma, dua-duanya kakak kelas saya di kampus, mendirikan web dan free e-magz tentang arsitektur dan urban desain, yakni: membacaruang.com

Danny Wicaksono, seorang arsitek muda, mendirikan: JongArsitek.com dengan free e-magz dan berbagai kegiatan yang sangat menarik

Raras dan Sri, dua-duanya adik kelas saya di kampus, membuat blog tentang kota, yakni: kolasekota.tumblr.com

Alexander Phillips, seorang teman dari negeri nun jauh di sana yang saya kenal lewat twitter, bersama seorang kawannya menggagas web mengenai urban desain, yakni: urbantimes.co

dan masih banyak lagi.

Tak hanya dalam hal jurnalisme-arsitektur, dalam hal arsitektur itu sendiri, tak sedikit Arsitek yang mau mengaplikasikan ilmu mereka tanpa menghitung untung-rugi. Sebut saja Romo Mangun dengan rumah-rumah di bantaran kali Code, Yu Sing dengan program Papan untuk Semua, Yori Antar dengan peremajaan rumah-rumah Wai Rebo, dan pasti masih banyak lagi.

 

Sistem Modal memang tak bisa begitu saja dilenyapkan, tidak dalam waktu dekat, tidak jika tak ada yang berbuat apa-apa. Saya dan kalian memang butuh mendapatkan “untung” dalam bekerja, untuk bertahan hidup. Tak berarti semua yang kita lakukan hanya didasarkan untung-rugi. Tak berarti makna jurnalisme dibelokkan hanya untuk kepentingan Modal. Tak berarti kita diam saja dengan sistem penghisapan antar-kelas yang terus merajalela, legal, dan diwajarkan oleh masyarakat berkat propaganda Modal melalui media.

Mulai munculnya jurnalisme-warga yang tidak berkiblat pada Modal, adanya aksi-aksi spontan para Arsitek, tentu menumbuhkan harapan dan rasa tenang. Judul provokatif di atas tentu saja saya tujukan pada Jurnalisme-Modal. Mungkin ia masih akan terus hidup dan berkuasa untuk waktu yang lama, tapi yang saya percaya adalah jurnalisme yang diajarkan oleh TAS dengan Medan Prijaji nya. Mencerdaskan, bukan membodohi. Meningkatkan kepercayaan diri dan menggelorakan jiwa, bukan membuat menjadi ciut bahkan pengecut. Meluaskan sudut pandang dan wawasan, bukan menyempitkan.  Melawan penghisapan dan penindasan, bukan ikut-ikutan melakukan penghisapan.

 

Selamat tinggal jurnalisme (modal). Mari terus berkarya!

 

mari bicara Jakarta.

Bosankah kalian jika kali ini lagi-lagi saya akan membicarakan tentang Jakarta? Maafkan jika ya. Tapi saya merasa Jakarta memang luar biasa. Saya tidak tahan hanya duduk diam dan tidak berpikir tentangnya. Jakarta yang luar biasa ini memang menggiurkan untuk terus dikaji, dibahas, dan tentu saja dicela di berbagai kesempatan. Oh ya, saat saya mengatakan ‘luar biasa’, ada baiknya untuk tidak menganggap itu sebagai pujian, karena sesungguhnya memang bukan.

 

Keinginan membahas dan mencela ini kembali timbul sekitar satu bulan terakhir, saat Jakarta dilanda bencana kemacetan yang lebih dari biasanya. Kemacetan yang makin lama makin menggila di beberapa minggu terakhir ini, terutama berada di area Jakarta Pusat. Untuk perbandingan bahwa kemacetannya lebih dari biasanya, saya akan mengambil sebuah contoh peristiwa yang dialami oleh seorang kawan kantor saya yang bertempat tinggal di Rempoa (kawasan dekat Bintaro). Jika pulang dari kantor yang berlokasi di Tebet (Jakarta Selatan), biasanya ia menghabiskan waktu di jalan sekitar 2 jam dengan menggunakan mobil pribadi. Namun beberapa minggu terakhir, ia terpaksa menghabiskan 3-4 jam waktunya untuk bisa tiba di rumah.

Kawan saya ini masih cukup beruntung, karena ia “menikmati” macetnya Jakarta di dalam sebuah mobil sedan cukup mewah lengkap dengan kursi empuk, musik, AC.  Lebih beruntung lagi mereka yang “menikmati” macet di dalam mobil mewah yang sudah dilengkapi dengan supir, tinggal tidur saja dan biarkan pak supir yang bertempur melawan macetnya Jakarta, daripada ikutan sumpek memikirkan ruwetnya Ibu Kota. Lantas bagaimana dengan warga yang harus naik kendaraan umum? Seperti angkot, kopaja, atau bus trans-jakarta? Bayangkan para warga yang berada di dalam bus yang penuhnya bukan main, sesak napas, berdiri berhimpitan dalam jangka waktu berjam-jam? Tidak hanya penumpangnya, bayangkan juga sang pengemudi angkot/kopaja/bus/taksi yang harus berjibaku dengan kemacetan separah itu setiap harinya, belum lagi target setoran yang harus mereka berikan kepada si bos setiap harinya. Bayangkan juga para pengendara sepeda dan sepeda motor yang harus menghirup asap knalpot di sekelilingya selama berjam-jam, belum lagi jika musim hujan seperti ini, bagaimana rasanya berada di kondisi basah kuyup dan kedinginan di tengah kemacetan?

Dengan kemacetan seperti itu, dan harus dilalui hampir setiap hari pula, maka saya tak akan heran jika banyak warga Jakarta yang depresi, tidak bahagia, bahkan mungkin perlahan berubah menjadi sinting. Tak heran pula jika semakin banyak warga yang menjadi gemar berpesta demi melepaskan stres, atau banyak keluarga yang berubah menjadi tak harmonis, atau perilaku warga yang kian hari kian beringas dan mudah tersulut emosi. Mengerikan memang efek kemacetan ini. Walaupun saya yakin bahwa kepenatan warga Ibu Kota bukan hanya disebabkan oleh kemacetan semata, namun juga karena banyak persoalan-persoalan lainnya.

Lantas, dengan kemacetan seperti itu, adakah yang bisa saya dan kita perbuat untuk setidaknya menguranginya? Saat saya mengatakan ” kita”, saya merujuk kepada para warga Jakarta non-pejabat dan non-aparatur negara yang lain, karena sudah putus asa rasanya menggantungkan harapan kepada mereka. Pejabat-pejabat itu lebih suka membunyikan nguing-nguing (bahasa kerennya: voorijder) di tengah kemacetan sehingga mobil mewah mereka bisa melenggang mulus membelah kemacetan. Para polisi lalu lintas itu juga tampaknya lebih tertarik dengan uang suap bagi mereka yang tertangkap sedang melakukan pelanggaran kecil, daripada benar-benar fokus untuk menguraikan macet Jakarta. Yah, memang tidak semua pejabat dan polisi lalu-lintas seperti itu, tapi yang sering saya temui di jalanan Ibu Kota memang yang berperilaku seperti itu.

 

Baik, kembali ke pertanyaan “dengan kemacetan seperti itu, adakah yang bisa saya dan kita perbuat untuk setidaknya menguranginya?”. Tentu saja ada.  Caranya adalah..

 

1. Pindah dari Jakarta

Jangan terburu-buru marah membaca usulan ini. Walaupun terdengar kurang ajar, tapi ini adalah usulan yang cukup masuk akal. Kita semua pasti sadar, bahwa beban Ibu Kota terlalu besar. Penduduknya sudah terlalu banyak. Penduduk yang luar biasa membeludak ini tak mungkin lagi ditampung di lahan Jakarta yang terbatas. Diakui atau tidak, terima atau tidak, memang itu kenyataannya. Saya sadar sesadar-sadarnya bahwa sebagian besar warga datang ke Jakarta bukan dengan tendensi membuat Ibu Kota menjadi penuh sesak, namun “didesak” kebutuhan untuk mengais rejeki. Dan apalah bisa dikata, bahwa perputaran modal di Jakarta yang begitu luar biasa ini membuat banyak masyarakat negeri ini memutuskan untuk hijrah dan menetap di Ibu Kota.

Saya hanya ingin mengatakan, jika toh saya dan kalian bisa mengais rejeki di kota lain, mengapa tak coba dilakukan saja? Toh demi kebaikan kondisi mental dan pikiran diri sendiri. Demi kebaikan warga Jakarta lain yang mau-tak-mau memang harus tetap tinggal di Jakarta karena tak punya pilihan lain. Selagi saya dan kalian punya pilihan, kenapa tidak?

Jika ada yang dengan nada sinis menghujat saya dengan pertanyaan “lo sendiri ngapain juga masih di Jakarta?”. Pertanyaan bagus kawan. Karena saya sendiri akan dengan senang hati pindah dari sini, dan sedang mengusahakan agar suami saya bisa dipindah ke kota selain Jakarta. Lagipula, siapa pula yang mau membesarkan anak dengan kondisi sekolah yang penuh bully dan senioritas, kekerasan, tawuran, dan gaya hidup yang berorientasi pada materi, seperti yang banyak ada di sekolah-sekolah di Jakarta? Saya kira bukan hanya saya yang tidak ingin.

 

2. Hentikan memakai mobil pribadi, jika hanya berkendara sendirian atau berdua.

Baik, jika pindah dari Jakarta bukan opsi yang baik karena belum ada pilihan lain, maka setidaknya jangan menggunakan mobil pribadi jika hanya berkendara sendirian atau berdua. KECUALI, anda berkendara di malam yang telah larut, atau sedang membawa wanita hamil, wanita menyusui, orang yang tua renta, dan orang sakit, maka jangan lakukan kebiasaan manja yang berakibat buruk terhadap sekitar tersebut. Naik moda transportasi umum tidak seburuk itu kok. Cobalah sekali-kali sedikit menurunkan kadar manja dan kadar gengsi demi kepentingan bersama.

Jika khawatir dengan masalah keamanan, tips dari saya yang sudah terbiasa wira-wiri dengan menggunakan moda transportasi umum adalah, pertama, jangan menggunakan pakaian atau apapun yang terlalu menarik perhatian. Menggunakan segala sesuatu yang wajar akan menghindarkan kita dari pandangan mereka yang bermaksud tidak baik.

Kedua, siapkan diri anda dengan ilmu bela diri, serius ini. Jika belum bisa, maka persenjatai diri anda dengan alat-alat yang bisa digunakan untuk membela diri di saat darurat, misalnya semprotan yang bisa membuat mata lawan menjadi pedih, pisau lipat, atau bahkan senjata api (jika memang ada).

Ketiga, siapkan mental dan keberanian, walaupun memiliki senjata di dalam kantong, tanpa keberanian cukup, senjata tersebut tidak akan ada artinya. Dengan mental dan keberanian, kita bisa melakukan apapun yang dirasa perlu di keadaan darurat, seperti menendang, menyikut, meninju, dan sebagainya.

Sebenarnya saya ingin memberikan alasan keempat, namun saya yakin saran keempat ini tidak masuk akal bagi sebagian besar orang (walaupun masuk akal bagi saya), dan tentu saja saran keempat ini tidak bisa dilakukan di sembarang kondisi. Yaitu empati. “Empati pada penjahat? Nggak salah?”. Siapa sih yang kita definiskan sebagai penjahat itu? Penipu? Perampok? Copet? Bagi saya, kadang-kadang kita harus berusaha untuk melihat lebih jauh dari apa yang sekedar terlihat di permukaan. Saat di tengah jalan ada yang menghampiri kita untuk memalak harta benda kita, jangan buru-buru menjudge orang tersebut adalah penjahat. Siapa yang tau jika si pemalak memang sedang butuh dana untuk biaya rumah sakit anaknya? Siapa yang tau jika si pemalak belum makan selama 2 hari? Jika kondisi memungkinkan, mengapa tidak jika kita ajak bicara dan beri saja si pemalak itu jumlah uang yang memang ia butuhkan? Namun, lain ceritanya jika si pemalak mengancam keselamatan pribadi kita, di titik ini saya pikir kita harus mempertahankan keselamatan diri sendiri dengan saran kedua dan saran ketiga di atas.

Oke, saya maklum jika banyak yang tidak setuju dengan saran aneh nomer empat, tapi itu hanya sekedar pendapat pribadi untuk melihat segala sesuatunya lebih dari yang hanya terlihat oleh mata. Namanya juga saran..

Masalah lain yang biasa dikeluhkan mereka yang tak mau naik moda transportasi umum adalah: kenyamanan. Untuk masalah ini, apa mau dikata kawan, saran saya hanyalah: biasakan diri anda dengan ketaknyamanan. Takut gerah? Maka jangan pakai baju berwarna gelap atau baju berlapis-lapis. Takut gosong karena kepanasan saat lama menunggu angkot? Maka pakailah sunblock, topi, atau payung. Lagipula matahari di atas jam 9 pagi memang tak baik untuk kesehatan kulit. Takut keseleo saat berjalan di jalur pedestrian yang kondisinya memilukan? Maka gunakan sepatu flat yang nyaman, high-heelsnya disimpan sampai di tempat tujuan. Takut capek berdiri di bus trans-jakarta? Maka bayangkan petugas pembuka pintu bus trans-jakarta yang harus berdiri setiap saat. Atau kalau terpaksa, pasang saja tampang memelas, niscaya ada mas-mas baik hati yang akan memberikan tempat duduknya pada kita. Takut bosan selama berada di angkutan umum (kalau di mobil sendiri kan bisa sambil dengerin musik)? Maka ajaklah bicara orang-orang di sekeliling anda. Mereka terlihat sombong atau nggak mau diajak ngobrol? Ya ajak ngobrol aja supir angkot, biasanya cerita-cerita mereka seru dan luar biasa lho.

Jadi, masalah keamanan dan kenyamanan sebenarnya bisa diatasi kan jika kita mau sedikit saja menurunkan kadar manja dan kadar gengsi? Percayalah, moda transportasi umum di Jakarta tidak seburuk itu jika kita mau membuka hati kita, berhenti menghujat pemerintah (ngapain capek-capek? percuma, mereka nggak akan dengerin juga) dan mulai melakukan apa yang bisa kita lakukan.

 

3. Usahakan memilih tempat tinggal yang dekat dengan tempat beraktivitas

Bagi yang masih single, tentu tak susah untuk menyewa kamar kost yang dekat dengan sekolah/kampus/kantor? Bagi yang sudah berkeluarga, mungkin agak sulit. Bagaimana tidak? Harga properti di tengah kota Jakarta itu mahalnya sudah tak terkira lagi, jika bukan orang yang kaya-raya, rasanya hampir mustahil membeli tanah/rumah di tengah kota. Sehingga memang menjadi wajar jika akhirnya banyak yang memutuskan untuk tinggal di kota-kota kecil di dekat Jakarta, seperti Bekasi, Tangerang, Depok, Bogor dan dari Senin-Jumat bolak-balik ke Jakarta untuk bekerja. Namun sekarang ada banyak pilihan tempat tinggal di tengah kota yang harganya cukup terjangkau, misalnya Apartemen dan Rumah Susun. Tinggal di hunian yang dekat dengan tempat beraktivitas tidak hanya akan mereduksi kemacetan, namun juga mengehmat waktu dan tenaga kita (yang lebih baik kita manfaatkan untuk hal-hal lain ketimbang terjebak di tengah kemacetan), juga hemat energi! Bayangkan berapa banyak BBM yang bisa dihemat jika sebagian besar masyarakat tinggal berjalan kaki saja menuju tempat mereka beraktivitas.

Yah, jika semua opsi untuk tinggal di tempat yang dekat dengan tempat beraktivitas benar-benar tidak memungkinkan, maka saya akan kembali ke solusi dua, yaitu tetaplah teguh menggunakan moda transportasi umum untuk jarak jauh, seperti KRL atau bus umum.

 

Oke, cukup sudah membicarakan solusi untuk mengatasi kemacetan. Dangkal ya? Ya nggak apa-apa. Soalnya saya memang cuma mau memberi tips yang bisa segera dilakukan oleh rakyat-jelata-tak-berdaya semacam saya, saya nggak mau repot ngomongin kebijakan pemerintah anu dan inu yang harus diambil untuk mengatasi kemacetan. Kalau kompak, semuanya mungkin kok, dengan atau tanpa bantuan para aparatur negara dengan segala kebijakan mereka yang lambat dan kurang jelas.

 

Masalah Jakarta berikutnya yang patut dicela adalah: banjir.

Yah, berhubung saya belum pernah mengalami sendiri banjir Jakarta (saya tinggal di daerah yang tidak banjir), saya juga kurang jelas apakah permasalahan banjir Jakarta itu karena banjir kiriman, karena masyarakat memang suka buang sampah di kali dan got, atau karena gorong-gorong yang tidak cukup besar dan sistem drainase yang belum baik. Sungguh, saya tidak tahu akar permasalahannya. Maka hal yang bisa dilakukan oleh masyarakat umum untuk mengantisipasi atau setidaknya mereduksi banjir adalah: menjaga kebersihan (sekali lagi, saya tidak ada urusan dengan pemprov, pemkot, dan teman-temannya itu).

Menjaga kebersihan itu terdengar sangat sangat mainstream dan klise bukan? Tapi bagi saya, itu memegang peranan sangat penting. Dan jangan dikira mudah melakukannya. Dengan kebiasaan menahun masyarakat yang gemar membuang semua-muanya ke jalanan dan ke kali, sulit untuk mulai membuang sampah ke tempat yang seharusnya. Saya kira bagus juga pengolahan sampah secara mandiri yang sudah banyak dilakukan di kampung-kampung di Jakarta. Atau program kerja bakti yang rutin diadakan seminggu sekali di berbagai permukiman warga. Buang sampah pada tempatnya, pengolahan sampah secara mandiri, dan kerja bakti membersihkan lingkungan sangat baik dan penting untuk dilakukan secara konsisten. Dalam kaitannya dengan banjir Jakarta, tujuannya hanya satu, yaitu agar kali, got, dan gorong-gorong menjadi bersih dan bebas sampah.

Ngomong-ngomong soal pengolahan sampah, khusus untuk sampah organik (sisa makanan, kuah makanan, kulit buah, tulang ayam, dll) bisa diolah secara mandiri oleh setiap keluarga yaitu dengan cara membuat lubang resapan biopori di halaman rumah. Yang mahasiswa/lulusan arsitektur pasti sudah sering dengar, kan? Buat yang lain yang belum pernah dengar, lubang biopori adalah lubang kecil berdiameter sekitar 10 cm dengan kedalaman sekitar 1 meter. Lubang-lubang ini (ya, lebih dari satu, setiap rumah biasanya punya beberapa lubang biopori) kita isi dengan sampah organik hingga penuh. Biasanya setelah satu minggu, lubang ini telah kosong (karena sampah organik telah melebur, somehow) dan bisa kita isi lagi dengan sampah organik lain. Lubang biopori tidak hanya berguna untuk pengolahan sampah organik secara mandiri, namun juga berguna untuk meningkatkan kemampuan tanah dalam menyerap air, sehingga dengan kata lain memperkecil kemungkinan terjadinya banjir. Apalagi jika semakin banyak warga (yang punya halaman di depan atau belakang rumahnya) berinsisiatif untuk membuat lubang resapan biopori seperti ini, maka kemungkinan banjir akan semakin kecil. Menakjubkan bukan mengetahui bahwa hal-hal kecil ternyata bisa berdampak luar biasa?

 

Masalah lain Jakarta adalah… ruang publik yang terlalu sedikit. Selain mall, tentunya. Lagipula memangnya mall itu ruang publik? Kalau benar ya,  maka cobalah berdandan kumal dengan membawa karung yang dipenuhi botol plastik, dan beritahu saya jika dengan dandanan seperti itu, kamu tetap diijinkan oleh sekuriti mall untuk masuk dan berajalan-jalan di dalam mall. Ruang publik yang saya maksud itu kalau di Jakarta contohnya Taman Tebet. Serius deh, di sana siapapun boleh masuk dan melakukan aktivitas, seperti lari pagi, senam, pacaran, foto-foto, syuting film, baca buku, main sepak bola, main voli, bengong sambil dengerin musik, dan lain-lain. Siapa saja boleh masuk dan menikmati fasilitas di taman tebet itu. SIAPAPUN, pengusaha kaya raya yang lagi mau olahraga, pemulung, tukang gorengan (asal jangan bawa gerobak segede gaban), mahasiswa, anak kecil, orang tua, dua sejoli, sekeluarga besar yang mau piknik, cowo serem bertatto yang lagi pengen menyendiri, mbak-mbak pake piyama dan sendal jepit, dan lain-lain. Dan tempatnya benar-benar nyaman karena di sana terdapat tumbuhan dan pohon-pohon lebat. Gratis pula! Nggak kayak di mall yang kalau mau duduk aja musti beli sesuatu. Beda, kan?

Nah, kurangnya ruang publik semacam taman tebet ini tentunya berdampak tidak baik bagi aktivitas sosial warga Jakarta. Mau lari pagi, nggak ada tempat. Mau main bola, nggak ada tempat juga, padahal nggak ada duit buat sewa lapangan futsal. Mau pacaran atau kongkow sama teman, harus ke mall deh, tapi nggak punya uang buat nongkrong di starbucks, nggak punya pakaian yang “keren” juga kayak anak-anak orang kaya itu, jadilah dikatain ndeso dan alay. Punya anak kecil, mau ngajak jalan-jalan, tapi jalan ke mana, sekarang semuanya harus bayar, padahal penghasilan pas-pasan. Susah ya bok. Padahal, ruang publik ini memberi dampak positif sangat banyak. Anak-anak jadi punya tempat untuk bermain, orang dewasa punya tempat untuk bersosialisasi, bercengkerama bersama teman atau keluarga, berolahraga, atau menyendiri sambil baca buku di sebuah taman kota yang indah dan rimbun. Bahkan tidak menutup kemungkinan untuk mengenal orang-orang baru yang kita temui di ruang publik tersebut.

Ruang publik ini yang dibutuhkan warga bukan hanya yang berupa taman dan ruang bermain saja, tapi seyogyanya juga ada ruang publik yang fungsinya seperti perpustakaan yang penuh dengan buku-buku menarik, serta ada ruang-ruang santai untuk siapapun membaca. Yah, ada sih Perpusnas, tapi sebelum komentar, coba ke sana dulu, dan bilang ke saya kalau kamu betah berlama-lama berada di sana. Perpustakaan untuk publik hendaknya juga bisa berfungsi sebagai ruang belajar bersama. Ruang publik seperti bale (atau apapun yang memiliki shelter) yang berguna untuk mengadakan rapat-rapat organisasi atau sekedar untuk ngobrol dan kongkow bersama teman juga rasanya perlu. Kalau musim hujan, kan nggak mungkin juga ya jadi basah kuyub karena kongkow di tengah-tengah taman.

Jenis ruang publik lain misalnya adalah lahan yang bisa dimanfaatkan bersama untuk bertani, menanam sayuran dan buah, memelihara ternak, dan membudidayakan ikan. Mengapa harus membiarkan sebidang tanah yang luas kosong jika tanah itu bisa dimanfaatkan oleh warga lain untuk bercocok tanam dan berternak?

Banyak jenis ruang publik yang dibutuhkan, dan jika lagi-lagi kita tak bisa mengandalkan pemerintah dan aparatur negara yang lain dengan segala kebijakan mereka, maka mari kita mulai dari diri sendiri. Punya rumah dengan satu kamar kosong tak terpakai? Maka manfaatkan ruangan tersebut untuk ruang baca terbuka bagi aak-anak sekitar. Punya taman yang cukup luas? Maka ajak warga sekitar untuk memanfaatkan taman tersebut, sebagai ruang bermain atau mungkin untuk bercocok tanam. Punya dua rumah, dan salah satunya kosong? Mengapa tak biarkan rumah kosong itu dihuni oleh beberapa keluarga yang setiap harinya harus tidur di emperan toko atau di dalam gerobak? Di rumah ada kolam renang yang jarang dipakai? Panggil anak-anak sekitar untuk berenang di sana.

 

Oke, tulisan saya kali ini panjang sekali ya. Sebenarnya masih banyak permasalahan Jakarta yang patut kita cela sekaligus kita cari tahu solusi yang bisa diterapkan langsung di kehidupan sehari-hari, namun tangan saya sudah mati rasa karena terus-terusan mengetik. Jadi untuk kali ini, mari kita sudahi dulu.

 

Mari mulai merubah diri sendiri, daripada berkoar-koar agar pemerintah merubah sikap dan kebijakan mereka. Mari mulai lakukan apa yang bisa kita lakukan, daripada stres memikirkan sebagian besar pemimpin negara yang nampaknya tak menaruh perhatian akan permasalahan warganya. Untuk lingkungan yang lebih baik!

 

🙂

 

kehidupan persahabatan.

Saya sering dengar pertanyaan “gimana sih, hidup setelah menikah itu?”. Sebagai seorang yang baru menikah selama 2 bulan saja, rasanya diri ini tidak pantas untuk memberi wejangan terkait dunia pernikahan. Tapi kalau sekedar menceritakan pengalaman, pantas-pantas saja kan?

 

Dalam perspektif saya, kehidupan setelah pernikahan sebenarnya biasa-biasa saja, tidak seheboh yang digembar-gemborkan oleh banyak orang, sama sekali tidak mengerikan seperti yang sering digembar-gemborkan media, dan tidak pula semeriah pesta resepsinya yang persiapannya betul-betul menguras waktu dan energi.

Bagi saya, kehidupan setelah pernikahan itu menyenangkan. Bukankah tinggal bersama salah satu sahabat terbaik pasti menyenangkan? Saya bisa membagi semua yang terjadi di kehidupan saya, menceritakan kesedihan saya, mendiskusikan keputusan-keputusan yang hendak saya ambil, merayakan kebahagiaan bersamanya, bahu-membahu dalam menghadapi apapun. Pernikahan itu sama saja dengan kehidupan persahabatan. Bersama sahabat, kita tidak akan ragu menjadi diri kita sendiri, menunjukkan keburukan dan kelemahan diri sendiri, namun di saat yang sama juga memberikan yang terbaik yang bisa kita lakukan. Kepada sahabat, kita tidak akan menghitung-hitung waktu yang kita berikan atau energi yang kita habiskan. Kepada sahabat, kita tidak akan sakit hati berkepanjangan, apalagi menyimpan dendam, karena saat ia menyakiti kita (atau kita yang menyakitinya), kita akan segera memarahinya, mengeluarkan uneg-uneg kita, berdebat panjang lebar, namun juga langsung memaafkan tanpa diminta. Kepada sahabat, kita tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya, kita selalu ingin ia mampu meraih dan menjadi seperti apa yang ia inginkan. Kita tidak akan menghakimi sahabat kita, tidak pula berkehendak untuk mengatur hidup dan mimpi-mimpinya. Pernikahan sama saja dengan kehidupan persahabatan.

Kalau ada yang nyeletuk, “tapi pacar/calon suami saya bukan termasuk sahabat saya.”

Kalau begitu, jadikan ia sahabatmu. Karena tidak ada yang lebih menyenangkan dan menentramkan jiwa daripada menghadapi hidup dengan ditemani seorang sahabat.

 

Dalam perspektif saya, kehidupan pernikahan itu seperti dua lingkaran yang berpotongan di tengah. Sisi kiri adalah kehidupan saya, sisi kanan adalah kehidupannya, dan yang berpotongan di tengah adalah kehidupan kami berdua. Sama seperti sahabat, meski saya punya kehidupan bersama si sahabat, bukankah saya tetap punya kehidupan saya sendiri di luar kehidupan persahabatan itu? Saya pikir itu adalah hal yang wajar. Justru tidak wajar ketika saya memaksakan seluruh kehidupan saya menjadi kehidupan bersama. Tidak wajar jika ia harus menyukai apa yang saya sukai, ia harus memiliki hobi yang sama dengan hobi saya, ia harus menyukai dan membaca buku-buku yang saya sukai, ia harus berprofesi di bidang (bahkan tempat?) yang sama, ia harus menyukai makanan dan film yang saya sukai, ia harus bergaul setiap saat dengan teman-teman saya. Jika itu sebaliknya, toh saya juga tidak akan suka. Mengutak-atik gadget, memainkan game perangnya, berkumpul setiap saat dengan sahabat-sahabat prianya, menambahkan kecap ke semua jenis makanan, bersusah payah naik gunung. Kalau sesekali, memang seru juga. Kalau jadi kebiasaan seperti yang biasa ia lakukan, lebih baik saya bermain bersama kucing-kucing jalanan, menghadiri pameran atau diskusi arsitektur, dan berkumpul bersama teman-teman saya sendiri. Siapa yang suka dipaksa-paksa? Bukan begitu?

Toh banyak juga hal-hal yang sering kami lakukan bersama, bukan karena yang satu memaksa yang lain, namun karena kami berdua memang sama-sama menyukainya.

 

Jadi, tidak usah berpikir berlebihan jika sahabatmu telah memintamu menjadi pasangan hidupnya. Tidak usah sibuk membayangkan hal yang macam-macam, atau takut berlebihan, atau juga melow berlebihan, seperti yang saya lakukan beberapa bulan silam. Karena menghadapi hidup bersama seorang sahabat itu (sangat) menyenangkan!

 

🙂

 

 

thank you.

Only when we are no longer afraid do we begin to live.

 

Begitulah yang dikatakan oleh Doroty Thompson. Tapi bukan Doroty langsung yang menyampaikan ke kuping saya, karena yah saya tidak tahu juga siapa itu Doroty Thompson, walau dulu saya pernah punya seekor kucing lucu bernama Thompson. Kata-kata itu saya dengar dari seorang kawan. Ia tak pernah sungkan untuk mengingatkan (atau well, meledek) saat saya mulai takut menghadapi hal-hal tertentu di dalam hidup saya.

Saya hampir tidak pernah bercerita tentang orang-orang terdekat saya di dalam blog ini, namun tulisan kali ini adalah tentangnya, dan lahir karenanya. Karena ia adalah salah satu dari sedikit kawan yang mampu menginspirasi saya. Ia salah satu dari sedikit kawan yang (setelah saya ingat-ingat) selalu peduli dengan keadaan saya, tanpa peduli apakah saya menanggapi atau tak menanggapi kepeduliannya itu. Ia salah satu dari sedikit yang tak pernah lupa untuk memberikan doa dan harapannya di hari-hari penting saya. Ia salah satu dari sedikit yang tak pernah mengingkari janjinya. Dan ia adalah salah satu dari sedikit kawan yang berhasil membuat saya terharu hingga tersedu-sedu.

 

Beberapa waktu yang lalu, kami berbincang hingga larut malam (jika tidak mau dibilang larut pagi), diawali dengan perbincangan ringan nan riang seputar kesibukan kami, perbincangan itu berubah orientasi menjadi sebuah perbincangan yang mampu membuat mata saya penuh dengan air mata yang tumpah dengan derasnya. Tangisan tersebut bukanlah tangis kesedihan, bukan pula tangis kebahagiaan. Air mata yang keluar malam itu adalah sebuah refleksi dari kesadaran baru mengenai cara memandang hidup yang ia ajarkan melalui kisah hidupnya, takdirnya, dan caranya dalam menyikapi takdir tersebut.

Diri ini menyadari bahwa selama ini diri ini terlalu sibuk membenci dan terlalu sedikit mencintai, terlalu sering memenjarakan atau bahkan meremehkan mimpi-mimpi dan kemungkinan-kemungkinan yang sesungguhnya sangat tak terbatas,  terlalu sering mengabaikan hal-hal dan orang-orang di sekeliling.

Diri ini memenjarakan mimpi-mimpi, sedangkan sebenarnya kebebasan sudah berada di genggaman. Diri ini sibuk membenci, sementara begitu banyak orang-orang yang mencintai diri ini.

 

Ia, sang kawan, mungkin memiliki takdir yang tak pernah ia inginkan. Takdir yang telah merenggut orang-orang yang dicintainya, takdir yang telah merenggut masa kecilnya. Takdir yang membuatnya harus lekas menjadi dewasa, menjadi seorang anak kecil yang mampu menyelesaikan persoalan dan tanggung jawab orang dewasa.  Ia, sang kawan, dalam setiap perbincangan kami tak pernah sekalipun melontarkan kata-kata buruk atau kebencian atau kutukan terhadap takdir yang mau tak mau harus ia hadapi. Ia, sang kawan, tak pernah menyalahkan siapapun. Ia, sang kawan, selalu tampak bersyukur menjalani hidupnya dan tak pernah takut menghadapi apapun. Ia, sang kawan, mencintai dan mensyukuri dengan sepenuh hati semua yang tersisa padanya, setelah begitu banyak yang direnggut darinya. Takdir memang tak bisa kita pilih, tapi bukankah sikap kita dalam menghadapi takdir itu kita sendiri yang menentukan?

Banyak orang berkata untuk menerima dengan lapang dada akan takdir yang kita hadapi. Banyak orang berkata untuk selalu bersyukur dan melakukan yang terbaik dalam hidup kita. Banyak orang yang berkata untuk menghidupkan mimpi-mimpi kita. Banyak memang yang berkata demikian, tapi yang sungguh mampu menjalankan perkataan seperti itu bisa dihitung saja dengan jari. He, for sure, can walk the talk.

 

Dan ah, detik ini saya kembali dibuat berkaca-kaca saat mengingat keriangannya, kisahnya, dan kebaikan hatinya.

 

To a friend, thank you for the push. And as you said, i will live it up, drink it down, laugh it out, avoid the bullshit, kill fear (before it kills me), take chances, and never have regrets.

Thank you.

 

voila!

Akhir pekan lalu merupakan salah satu akhir pekan yang sangat seru bagi saya. Alih-alih mengerjakan sayembara, atau melanjutkan membaca buku Zarathustra, atau bertemu dengan seorang teman guna mendiskusikan “gerakan” yang sedang kami rencanakan, kali ini saya memilih untuk melakukan hal yang sangat jarang saya lakukan, memasak!

Niat saya untuk memasak ini didukung dengan libur akhir pekan yang lebih panjang dari biasanya karena adanya hari Idul Adha, sehingga saya punya lebih banyak waktu untuk mencoba membuat beragam jenis masakan. Sebelum mulai memasak, terlebih dahulu saya membeli beberapa bumbu dasar yang kiranya akan saya butuhkan, seperti bawang putih, bawang merah, bawang bombay, merica, garam, daun bawang, cabe rawit, beberapa jenis sayuran, dan beberapa jenis lauk mentah maupun lauk yang dibekukan. Setelahnya, saya pun mulai mencari beberapa referensi resep masakan yang saya inginkan, mulai dari browsing di internet, bertanya kepada mama, bertanya pula kepada ibu mertua, hingga memodifikasi berbagai resep tersebut sesuai dengan selera saya. Karena bukankah selera setiap orang itu tidak sama? 🙂

 

Untuk acara masak-memasak kali ini, alih-alih menggunakan bumbu jadi yang dewasa ini sudah banyak dijual, seperti yang sering saya lakukan sebelumnya demi alasan kepraktisan, saya memilih untuk membuat sendiri bumbu-bumbu tersebut dari berbagai bahan dasar yang saya sebutkan di atas. Agak repot memang, tapi meracik sendiri bumbu masakan membuat saya lebih tenang, karena yakin masakan tersebut menjadi masakan yang bebas vetsin, bebas bahan pengawet, dan lebih sehat! …mungkin?

Lantas setalah bahan-bahan dasar dan beberapa resep dari berbagai sumber telah terkumpul, selama akhir pekan saya pun dengan bersungguh-sungguh mencoba untuk memasak beberapa jenis makanan. Pagi, siang, malam, masing-masing dengan menu yang berbeda-beda. I had a really great time!

 

Menu-menu yang berhasil saya buat selama 3 hari tersebut:

nasi goreng pedas

sayur tumis labu siam

tempe mendoan (tanpa tepung goreng instan)

telur dadar + sambal kecap

ayam kecap pedas

sup ayam

spaghetti carbonara (tanpa bumbu instan)

 

VOILA! this is it!

easy, healthy, and really yummy foods ala okita. 

 

*ps: semua resep tanpa menggunakan vetsin/penyedap rasa, kaldu instan, maupun bumbu instan lainnya. feel free to contact me for the simple recipes. hihihi.

 

cheers!

😀

 

sang subjek.

 

2 minggu sudah saya “menempuh hidup baru”, jika menggunakan kata-kata mereka. Yang sayapun masih belum mengerti, di mana letak barunya? Dan seperti wajarnya pasangan pengantin baru, kami memutuskan pindah ke sebuah tempat tinggal baru yang akan kami tempati bersama. Sebelum “menempuh hidup baru”, saya tinggal di sebuah kamar kos yang letaknya sangat dekat dari kantor. Sedangkan di tempat tinggal baru ini, waktu yang saya butuhkan untuk berangkat ke kantor adalah sekitar 30-40 menit perjalanan dengan menggunakan angkutan umum. 30 menit yang (ternyata) cukup mengubah hidup saya.

Sejak dulu, perjalanan selalu terasa menyenangkan bagi saya. Bukan hanya perjalanan jauh melewati gunung, hutan, sawah, dan pantai, perjalanan sederhana menuju kantor pun terasa hampir selalu menyenangkan. Yah, kecuali saat saya sedang bad mood, sedang diburu waktu, atau dikejar-kejar tumpukan tugas.

Selama ini saya gemar mengamati objek. Saya pergi ke Jogjakarta dan mengagumi dalam hati akan betapa indahnya Benteng Vredeburg, misalnya. Saya pergi ke Tanah Lot Bali dan terkagum-kagum dengan indahnya pemandangan saat matahari terbenam. Saya pergi ke Kebun Raya Bogor dan sibuk mengamati keindahan bunga-bunga yang ada di sana. Saya pergi ke Kota Tua Jakarta dan sibuk mengisi memori saya dengan Museum Fatahillah yang bersejarah. Saya selalu melihat dan mengamati objek, dan lupa pada manusia nya. Namun di perjalanan 30 menit setiap pagi ini, saya seolah “dipaksa” untuk melihat subjek, yakni sang manusia. Mata dan pikiran saya “dipaksa” mengamati kehidupan yang sesungguhnya. Semuanya bermula dari Terminal.

 

Biasanya saya melihat sebuah Terminal sebagai tempat yang becek, berserakan sampah, bau, dipenuhi pedagang asongan dan “preman” (sebutan saya untuk para pemuda berpenampilan bad boy yang doyan menggoda saya dan wanita-wanita lainnya di Terminal). Biasanya saya berjalan cepat-cepat agar bisa segera pergi, dan biasanya pula pikiran saya dipenuhi dengan kutukan kepada pemerintah dan masyarakat sekitar yang sepertinya enggan menjaga kebersihan sehingga membuat suasana Terminal menjadi sedemikian kumuh.

Namun sekarang, ketika setiap pagi saya mesti berhenti sejenak di Terminal (karena angkot yang saya tumpangi tidak akan jalan sebelum penumpangnya penuh), maka “mau tidak mau” saya mulai mengamati para manusianya. Para penumpang seperti saya yang berjalan tergesa-gesa, pegawai kantoran yang mengenakan masker, anak kuliah dengan headphone terpasang, ibu-ibu yang menggendong anaknya, salah satu “preman” yang wajahnya ternyata mirip sekali dengan seorang kakak kelas, supir angkot yang tak henti-hentinya membunyikan klakson untuk menarik penumpang, para pengamen dengan gitar dan suara seraknya, ibu-ibu pedagang buah, bapak tua gelandangan yang selalu terlihat tidur di atas gerobaknya. Mengapa selama ini saya tidak pernah menyadari kehidupan yang ada di sini? Mengapa selama ini pikiran saya hanya fokus pada genangan air kotor, tumpukan sampah, dan bau yang tidak sedap?

Dengan mengamati sang subjek, saya tidak lagi seperti mereka yang berjalan cepat-cepat. saya melepaskan headphone saya. pandangan saya tidak lagi lurus ke depan, melainkan menatap langsung ke arah para manusia yang saya temui. saya tidak lagi pura-pura tuli saat ada pemuda yang menyuiti saya, melainkan menatapnya dan tersenyum kecil. Jika saya kebetulan duduk di bangku depan, saya tidak lagi membisu, melainkan mengajak pak supir angkot untuk sedikit ngobrol dan bertukar kisah. Dan ternyata hal-hal sederhana itu membuat perjalanan 30 menit saya menjadi berarti. Mengamati sang subjek ternyata jauh lebih menarik daripada sekedar melihat objek-objek tak bernyawa.

Objek-objek tersebut ternyata menjadi begitu tidak berarti tanpa sang subjek di dalamnya. Terminal bersih dan wangi tidak akan ada artinya tanpa kehidupan manusia di dalamnya. Gedung pencakar langit yang keren hanya akan menjadi seonggok beton tak berarti tanpa manusia di dalamnya. Masjid yang berhasil memenangkan berbagai penghargaan tidak akan ada artinya tanpa para manusia yang berdoa dan bersujud di dalamnya. Bukan bangunan yang penting, melainkan kisah manusia di baliknya.

Untuk itu para Arsitek mesti sadar betul akan kehadiran sang manusia saat mendesain sebuah bangunan fancy. Pemerintah mesti mengerti bahwa ada begitu banyak kisah di bantaran kali dan di pinggir rel kereta api sebelum dengan semena-mena menggusur sebuah permukiman demi alasan keindahan. Para profesor mesti memahami budaya dan kehidupan dari masyarakat sebuah desa sebelum sibuk “meremajakan” rumah-rumah tinggal mereka. Para pelaku bisnis mesti mengingat bahwa ada manusia dan keluarga yang kehidupannya akan berubah drastis saat mereka mengeluarkan daftar PHK.

Berusaha melihat sang subjek akan banyak merubah sikap, perilaku, dan bahkan keputusan sehari-hari kita. Mungkin saya pun harus mengulang kembali perjalanan-perjalanan saya yang lalu-lalu, dan lebih memberikan perhatian terhadap cerita sang manusia.

Mungkin…

 

Arsitektur untuk siapa?

Bagi saya, memahami dunia ini bukanlah perkara yang sederhana. Begitu banyak ketidakpahaman akan begitu banyak hal. Dan hidup memang seperti itu, kan? Bukankah kita tidak akan pernah bisa benar-benar memahami “hidup” seperti seorang dokter forensik yang mampu memahami dengan detil setiap centi tubuh korban kejahatan?

Seperti halnya hidup, Arsitektur pun penuh dengan interpretasi, penuh dengan tujuan dan mimpi. Interpretasi, tujuan, dan mimpi itulah yang membentuk makna Arsitektur pada masing-masing individu. Dari begitu banyak literatur dan kata-kata dosen, hal utama dari Arsitektur adalah tentang perencanaan dan estetika. Namun, benarkah demikian?

Saya teringat kata-kata pak Bianpoen dalam sebuah acara bincang-bincang, bahwa tidak ada artinya Pembangunan jika ia mengorbankan dan meninggalkan sebagian (bahkan walaupun hanya sebagian kecil) masyarakat di belakangnya. Begitu pula dengan Arsitektur yang selalu seiring sejalan dengan “pembangunan” ini.

Saya sedih mendapati fakta bahwa saat ini Arsitektur begitu dipersempit maknanya menjadi sebuah transaksi bisnis semata. Saya sedih membaca berbagai forum arsitek yang isinya melulu memperdebatkan masalah fee arsitek yang dianggap terlalu rendah. Setiap orang butuh uang untuk hidup di jaman seperti ini? Memang benar. Tapi tidak berarti yang menjadi perhatian kita adalah melulu perkara fee belaka, perkara proyek menguntungkan belaka. Jika demikian, bukankah makna sejati dari Arsitektur dan Pembangunan menjadi hilang? Kesedihan ini adalah kesedihan yang sama persis yang pernah saya alami ketika mengetahui latar belakang beberapa kawan saya yang ingin menjadi seorang dokter supaya secara finansial menjadi kaya raya.

Mungkin sudah tidak aneh lagi melihat hal-hal semacam ini di sekitar kita, tapi saya tetap bertanya-tanya, mengapa setiap hubungan antar manusia, setiap karya, setiap perbuatan baik, setiap apapun yang kita lakukan harus selalu ditakar dengan ukuran uang dan kekayaan? Saya hanya ingin tahu, mengapa?

 

Kembali ke Arsitektur.

Jika interpretasi saya mengenai Arsitektur adalah creating space for people. Sebuah ruang yang baik secara fungsi, baik secara estetika, baik pula untuk psikologis dan kenyamanan manusia. Lalu pertanyaan berikutnya adalah, manusia yang mana? Tentu saja jawabannya adalah untuk SEMUA MANUSIA. Ya, sama seperti pesan Bianpoen, Arsitektur pun seharusnya tidak mengorbankan dan meninggalkan seorang manusia pun di belakangnya.

Tidak usah yang jauh-jauh, mulai saja dengan orang-orang yang ada di sekitar kita. Apa orang-orang di sekitar kita telah memiliki tempat yang layak untuk beraktivitas? Apa rumah mereka adalah rumah yang baik bagi kesehatan mereka? Apa ruangannya nyaman untuk dihuni? Apa anak-anak kecilnya punya tempat untuk bermain? Jika belum, maka mulailah untuk creating space bagi orang-orang di sekitar kita. Persetan dengan fee atau bayaran, aplikasikan ilmu kita untuk orang-orang di sekitar kita. Karena itulah gunanya ilmu, untuk diaplikasikan di dalam kehidupan, bukan untuk ditransaksikan atau dijual!

Creating space yang saya maksud di atas bukan berarti kita harus punya uang milyaran untuk membeli sebidang tanah dan membagi-bagikannya kepada orang-orang di sekitar kita. Bukan. Karena tentu saja sangat susah kalau harus menunggu kita punya uang milyaran atau sebidang tanah yang luas. Lagi-lagi ini berhubungan dengan ilmu yang telah kita pelajari.

Kalau ada teman kantor yang ingin merenovasi rumah, segera tawarkan diri kita untuk mendesainkan rumah mereka, secara gratis tentunya. Buat rumah mereka menjadi sehat, nyaman, dan indah. Jika di jalan melihat rumah yang sangat kronis kondisinya, datangi, ketuk pintunya, sampaikan niat baik kita, kalau perlu bantu cari biaya dan material untuk perbaiki kondisi rumah tersebut. Jika kita punya rumah/lahan, berikan sebagian ruangan/sebagian lahan agar bisa diakses dan dimanfaatkan oleh publik, bisa berupa ruangan untuk bermain, ruangan untuk belajar, dan sebagainya. Karena kita semua pun tahu bahwa dewasa ini ruang-ruang publik (selain mall, tentu saja) sangat sulit ditemui. Lebih ekstrim, seperti yang dilakukan oleh Romo Mangun, tinggalah di sebuah perkampungan, pelajari budaya dan kebiasaan mereka, lalu bersama-sama dengan masyarakat bangunlah perkampungan tersebut menjadi lebih baik lagi, sesuai dengan budaya dan kebutuhan mereka.

Banyak yang bisa dilakukan! Sebarkan manfaat Arsitektur kepada masyarakat, lupakan fee dan transaksi-transaksi bisnis lainnya. Jangan penjarakan pikiran dan ilmu kita dengan label harga, lantas begitu saja melupakan esensi sejati dari Arsitektur.

 

Mari berkarya!