Tahu kan ada film berjudul “Elysium” yang beredar di bioskop baru-baru ini? Pemeran utamanya adalah si aktor ganteng yang super-keren: Matt Damon. Tapi tidak, kali ini saya tidak akan membahas tentang kegantengan Matt Damon, pun saya tidak akan menjadi kritikus film dadakan. Saya hanya akan bercerita tentang “gejolak hati” yang saya rasakan ketika saya menonton film ini di bioskop.
Walaupun film ini tidak akan masuk dalam daftar film-film favorit saya seperti A Beautiful Mind atau Cast Away atau Before Sunrise, saya tetap mengapresiasi film ini dengan baik karena tiga faktor:
1. Kegantengan Matt Damon.
2. Kegantengan Matt Damon.
3. Kritik sosial yang ia sampaikan.
Karena sudah jelas saya tidak akan membahas tentang no.1 dan no.2, maka no.3 lah yang akan menjadi topik utama dalam tulisan saya kali ini.
Latar belakang waktu pada film Elysium adalah akhir abad 21, di mana saat itu kondisi Bumi telah menjadi sangat buruk, populasi manusia sudah sedemikian besarnya sehingga menimbulkan berbagai masalah serius seperti polusi udara yang sangat parah, tempat tinggal & sumber daya yang sama sekali tak memadai, dan sebagainya. Dalam film tersebut, planet Bumi sudah menjadi tempat yang sangat tak nyaman untuk ditinggali. Maka orang-orang terkaya yang ada di Bumi, membuat alternatif tempat tinggal lain di luar Bumi, semacam planet kecil (satelit) buatan yang disebut Elysium.
Berbeda dari Bumi yang telah menjadi sangat gersang dan penuh polusi, di Elysium udaranya dijaga agar tetap bersih. Jika di Bumi masyarakatnya harus tinggal berdesak-desakan, maka orang-orang kaya yang tinggal di Elysium bisa memiliki rumah-rumah besar nan mewah dengan taman-taman dan kolam renang. Jika masyarakat di Bumi sakit, mereka harus “terima” dengan perawatan kesahatan dan obat seadanya yang tersedia di RS-RS Bumi. Sedangkan mereka yang tinggal di Elysium tidak perlu khawatir dengan ancaman sakit, karena di jaman itu telah ditemukan teknologi dengan sistem atomik yang mampu menyembuhkan segala macam penyakit. Namun, sekali lagi, hanya orang-orang terkaya lah yang berhak atas teknologi tersebut.
Oke, saya tidak akan menceritakan lebih lanjut tentang detail kisah di film tersebut. Silahkan nonton sendiri kelanjutannya, hehehe.
Tapi sadarkah kalian? Terlepas dengan ada-tidaknya teknologi-teknologi dan robot-robot yang ada di film tersebut, sebenarnya masyarakat hari ini telah terpisah-pisah dalam zona-zona tertentu. Sebagian besar masyarakat berbagi tempat yang sempit di zona “bumi”, sedangkan para orang-orang kaya memiliki rumah dan taman bak surga di zona elit “elysium”. Sebagian besar masyarakat hanya mendapatkan akses kesehatan (dan akses-akses lain) yang sangat terbatas dan seadanya. Sedangkan orang-orang kaya bisa mendapatkan segala macam perawatan dan pengobatan yang paling canggih dan terbaru.
Baru-baru ini pun saya mengalami kejadian yang semakin membuat saya sadar bahwa zona-zona tersebut memang ada. Ia eksis di tengah-tengah masyarakat kita.
Suatu malam, saya memutuskan untuk pulang ke rumah dengan menggunakan transportasi umum bus transjakarta, alih-alih naik taxi atau minta dijemput suami. Jalur saya malam itu mengharuskan saya turun dan transit di halte Grogol, alih-alih halte Harmoni, dikarenakan ada masalah pada bus-reyot yang saya naiki. Basically, saya bukan tipe orang yang bermasalah saat menunggu, biasanya saya tetap ceria karena sembari menunggu saya bisa mendengarkan lagu-lagu favorit, main game di handphone, membaca buku, ataupun mengamati tingkah laku orang-orang di sekitar. Lagipula, antrian ke arah tempat saya tinggal tidak begitu panjang, jadi saya yakin bahwa tidak butuh waktu lama saya akan segera naik ke bus dan tiba di rumah. Saya pun sudah membayangkan akan memasak ini dan itu saat tiba di rumah, karena saat itu perut saya sudah ribut minta diisi makanan.
10 menit, bus belum datang, saya masih sibuk membayangkan menu-menu yang akan saya masak malam itu.
20 menit, saya mulai membuka handphone dan memainkan game-game kecil yang ada di situ.
30 menit, kaki saya mulai pegal karena harus berdiri dengan posisi yang sama, saya masih main game di handphone.
40 menit, saya sudah bosan dengan game-game di handphone, dan mulai bertanya-tanya mengapakah sudah selama ini tapi tidak juga ada tanda-tanda kehadiran bus yang akan mengangkut kami.
50 menit, angin malam yang berhembus kencang dan halte busway dengan pintu terbuka lebar mulai membuat asma saya kumat, kaki saya jangan ditanya lagi rasanya, seperti mati rasa dan mau lepas. Saya melepas earphone dan mulai kesal, bagaimana tidak, menunggu selama 50 menit dan tidak satupun bus melintas untuk mengankut kami sudah lebih dari keterlaluan. Seharusnya saat itu saya sudah berada di rumah dan sedang sibuk memasak. Karena jarak sebenarnya antara Grogol-Senen hanya 20-30 menit saja.
60 menit, rasa kesal yang ada mulai memuncak ke ubun-ubun dan hampir membuat saya pergi mencegat taxi. Menunggu 60 menit rasanya sudah tidak masuk akal. Jalanan di depan halte bahkan tidak macet sama sekali! Sudah hampir saya pergi dari antrian ketika saya mendengar tawa cekikan dari seorang anak balita yang juga sedang mengantri bersama ayahnya di sebelah saya. Ternyata sang ayah berusaha melucu terus menerus agar putrinya tetap tertawa dan tidak rewel menunggu bus. Saya memperhatikan sang ayah yang ternyata membawa dua orang putri yang masih kecil-kecil. Wajahnya sungguh terlihat lelah dan ia juga menggendong tas punggung yang cukup besar ukurannya, tapi ia tetap berusaha melucu di depan kedua putrinya dengan mengeluarkan ekspresi-ekspresi lucu.
70 menit, kaki saya sungguh mati rasa. Ayah tersebut masih juga melucu untuk kedua putrinya. Saya mendengar bayi menangis dan ibu yang menggendongnya sibuk menina bobokan bayinya dengan cara menggoyang-goyangnya. Saya juga melihat kakek tua di belakang saya sudah mulai duduk di lantai. Rasa kesal saya telah berubah menjadi rasa sedih. Keinginan untuk naik taxi sudah pergi, saat itu dengan penuh kesedihan saya hanya ingin ikut merasakan apa yang orang-orang di sekitar saya rasakan. Saya hanya ingin mengantri bersama mereka dan naik bus yang sama dengan mereka. Naik taxi bisa menghabiskan uang sebanyak 10-20 kali lipat dibandingkan naik bus transjakarta. Dan orang-orang di sekitar saya harus legawa dan menerima diperlakukan semacam itu, karena kebanyakan dari mereka memang hanya mampu membayar tiket bus transjakarta untuk sampai di tempat tujuan.
Di sini, yang tidak punya uang memang harus terus bersabar dan berbesar hati menerima perlakuan paling buruk sekalipun. 70 menit waktu kami, warga-warga kelas bawah Jakarta, mesti terbuang sia-sia karena harus menunggu bus transjakarta, satu-satunya transportasi yang mampu kami bayar. Apa para pejabat pengambil kebijakan itu mau peduli dengan apa yang kami alami? Oh, tentu tidak. Bagaimana mereka mau peduli, jika sehari-hari mereka naik mobil mewah yang sangat nyaman? Bahkan tidak cukup dengan itu, dengan mobil mewah pun tidak cukup, mereka juga memerlukan voorijder agar terhindar dari kemacetan. Karena alasan waktu yang terbatas dan jadwal yang padat. Oh well, rakyat miskin seperti kami memang tidak boleh punya jadwal yang padat, kami harus MAU dan TERIMA membiarkan diri kami menunggu 70 menit seperti orang-orang kurang kerjaan. Dan jangan mengeluh, karena jika mengeluh dan tidak suka dengan apa yang disediakan oleh pemerintah, silahkan membeli mobil pribadi atau naik taxi. Namanya orang miskin ya harus terima. Betul?
Dan jika kita telisik lebih jauh, dari mana para pengambil kebijakan yang rakus itu mendapatkan semua yang mereka miliki? Karena mereka bekerja keras? Oh well, tentu saja mereka “bekerja keras” dengan mengadakan rapat-rapat dan berdebat tentang pengambilan kebijakan-kebijakan yang akan menguntungkan kepalanya sendiri. Dan para pekerja yang sabar dan legawa ini setiap bulan harus menyetorkan sebagian gaji yang sudah pas-pasan (yang biasa disebut pajak) kepada orang-orang rakus ini. Jika tidak bayar pajak, maka akan disebut warga negara yang buruk. Jadi, semua mobil mewah yang mereka pakai, semua gedung pemerintahan yang mereka bangun dengan megahnya, semua perjalanan “dinas” ke luar negeri, dan semua harta yang mengenyangkan perutnya yang tak pernah kenyang itu, didapat dari mana? DARI KERINGAT PARA PEKERJA YANG HARUS SELALU SABAR DAN LEGAWA. Ya Tuhan, dunia macam apa ini?
80 menit menunggu, dan pikiran saya sudah ke mana-mana. Bus reyot yang kami nantikan pun akhirnya tiba. Dan tebak? Bus itu sudah terisi penuh, sehingga hanya kurang dari 10 orang yang mengantri yang bisa diangkut ke bus itu. Saya adalah salah satu yang beruntung karena berada di garis depan antrian. Di dalam bus, jangan ditanya, kami berdesak-desakan dengan sangat parah. Dengan dihadapkan dengan kondisi seperti itu, tak heran jika banyak penumpang yang menjadi mudah sekali marah karena hal-hal kecil. Padahal menurut saya, sebaiknya kondisi psikologis kita jangan ikut terpengaruh dengan kondisi sekitar yang buruk yang sedang kita alami. Karena mudah tersulut emosi karena hal-hal kecil dan marah pada orang-orang sekitar seperti itu hanya akan membuat kita tidak bisa melihat permasalahan makro dengan jernih. Untuk mendapatkan solusi dari suatu masalah, pertama-tama kita mesti tahu bahwa masalah itu memang ada. Jika semua orang di muka bumi ini tidak tahu / tidak sadar bahwa ada masalah dan isu besar yang sedang dihadapi bersama, Jika mereka berpikir bahwa sudah sewajarnya orang miskin mendapat perlakuan seperti itu, lalu jika mereka tidak mau mendapatkan perlakuan semacam itu berarti mereka harus menjadi orang kaya, maka solusi tidak akan pernah ditemukan. Untuk apa solusi, jika semua orang berpikir bahwa memang sudah sewajarnya begitu?
Saya mesti ingatkan, bahwa tak akan ada si cantik tanpa si jelek, tak ada si pintar tanpa si bodoh, tak ada penuh tanpa kosong, dan tak ada si kaya tanpa si miskin. Bahwa jika muncul satu orang kaya baru, maka dengan atau tanpa disadarinya, ia baru saja memiskinkan puluhan, ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang yang lain.
Kalian yang religius, kajilah dengan benar-benar apa yang ditulis di dalam Al-Qur’an, dan kalian akan paham bahwa seharusnya kita adalah tuan bagi diri kita sendiri. Dan bisakah kita menjadi tuan bagi diri sendiri dalam sistem yang ada sekarang?
Kalian yang terbiasa hidup berkecukupan, bangkitkan empati kalian dengan sesekali mau mengalami apa yang dirasakan oleh masyarakat di sekitar kita. Coba naik transportasi umum, coba pergi ke Rumah Sakit Umum yang murah, dan lain-lain. Jangan mau dilenakan dan dinina-bobokan dengan fasilitas-fasilitas dan barang-barang yang kalian miliki.
Teruslah belajar, maka kalian akan tahu betapa jahatnya sistem yang ada saat ini, dan bahwa sesungguhnya dengan bantuan kita semua dunia tidak perlu menjadi seperti ini. Bekerja keraslah, dan kita tidak perlu berdiri nikmat di atas kerja keras orang lain.
Kisah di atas hanyalah satu dari begitu banyak kisah sedih yang pernah saya alami tentang semakin hilangnya rasa kemanusiaan di kehidupan sehari-hari masyarakat masa kini. Dan saya akan menutup tulisan yang sudah melenceng jauh dari pembahasan film Elysium ini, dengan kutipan dari pribadi yang sangat istimewa, Mahatma Gandhi.
” Seven Deadly Sins :
Wealth without Work
Pleasure without Conscience
Science without Humanity
Knowledge without Character
Politics without Principle
Commerce without Morality
Worship without Sacrifice. “
ketika gaung individualis makin kuat di kota megapolitan ini, kekuatan untuk menjaga rasa sosial bisa didapatkan dengan ikut merasakan langsung apa yang mereka alami, sebuah share pengalaman yang sangat berarti untuk membangkitkan empati sosial. Salam Kenal
salam kenal juga mas nanang.
terima kasih sudah berkunjung. semoga bisa saling menginspirasi ya. 🙂
Iya sama sama ya…saling berbagi.