Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘Uncategorized’ Category

Enam bulan sudah saya tidak lagi menulis. Dan alih-alih menulis, saya mencoba untuk lebih menghidupi hidup saya dan menghargai setiap detiknya. Saya mendapati diri ini menjadi lebih religius. Namun jangan bayangkan saya mengenakan pakaian-pakaian penanda religiusitas, menghabiskan uang dengan pergi ke negara-negara yang banyak disebut khalayak sebagai tempat religius. Religius bagi saya tidak pernah seperti itu. Religiusitas membuat saya percaya bahwa tidak semua hal bisa kita kendalikan sesuai dengan keinginan diri. Religiusitas mengajari saya untuk menerima kehidupan ini dengan tangan terbuka, menghargai setiap momen dengan menikmati suka dan duka yang silih berganti datang, berempati dengan keadaan yang terjadi di sekitar, serta tak terbawa arus modernitas yang melupakan esensi kehidupan itu sendiri. Religiusitas dapat membuat diri ini merasa kuat sekaligus lemah. Dua hal yang dibutuhkan oleh seorang manusia. Dengan merasa kuat, diri ini tidak perlu takut untuk menghadapi kejutan apapun yang akan diberikan oleh kehidupan. Sedangkan menyadari dan percaya bahwa ada kekuatan tak terjelaskan di luar sana, membuat diri ini memiliki rasa lemah. Rasa lemah yang ternyata diperlukan untuk mencegah diri ini menjadi pongah. Pendek kata, diri ini belajar untuk ikhlas.

Namun ikhlas ternyata bukanlah kata yang mudah. Setidaknya bagi diri ini.

 

Satu bulan yang lalu, tepatnya tanggal 1 Juni 2013, saya dan suami memutuskan untuk jalan-jalan dan nonton film Fast & Furious di mall Rasuna Epicentrum. Fast & Furious jelas bukan termasuk dalam genre film kesukaan saya, namun ikut berpartisipasinya salah satu artis Indonesia di film itu membuat saya dan suami sedikit penasaran. Selesai nonton, kami berbelanja beberapa kebutuhan rumah tangga di supermarket yang ada di dalam mall tersebut. Sore itu merupakan sore yang normal dan menyenangkan. Hingga saya dan suami selesai berbelanja dan kembali ke mobil kami di parkir basement mall. Sayup-sayup terdengar  suara teriakan khas kucing kecil di dekat tempat kami parkir. Seonggok kucing kecil berwarna coklat berada di tengah-tengah area parkir, sendirian, dan sibuk berteriak. Mungkin mencari ibu dan saudara-saudaranya yang terpisah.

Saya pun segera memindahkan kucing kecil tersebut ke tempat yang lebih aman, agar ia tidak terlindas ban mobil yang melintas. Setelah saya pindahkan, tangisannya tak kunjung reda, maka saya pun memutuskan untuk menunggu di dalam mobil sampai si induk kucing tiba untuk membawa anak tersesat ini. Waktu berlalu dan induk kucing yang saya harapkan kehadirannya tak juga tiba. Mungkin ia memang tidak pernah tiba untuk menjemput si anak hilang ini.

Hati ini pun mulai sedih melihat si kucing kecil menjerit-jerit sendirian di atas beton basement yang dingin. Pilihan saya adalah membiarkan si anak kucing tetap berada di situ sendirian dan akhirnya mati kelaparan dan kedinginan, atau membawanya bersama saya. Membawa kucing kecil ini juga bukan pilihan mudah. Pertama, ia masih sangat bayi (saya duga kala itu ia baru berumur seminggu), sehingga ia belum bisa makan makanan padat, belum bisa menjilat minuman (seperti kucing kecil yang sudah lebih besar), belum bisa berjalan. Kedua, saya tidak berpengalaman merawat bayi kucing tanpa induk, saya tidak tahu harus memberinya makanan apa, dan saya sering dengar bahwa bayi kucing yang berumur di bawah 5 minggu tanpa induknya akan susah untuk bertahan hidup. Ketiga, saya tinggal di apartment bukan landed house, sehingga nantinya jika ia sudah bisa berjalan dan berlari, geraknya akan lebih terbatas.

Tapi saya tetap memutuskan untuk mencoba merawat si kucing kecil, alih-alih meninggalkannya sendirian di lantai basement mall.

Saya segera googling untuk mencari tahu cara merawat bayi kucing yang baru berumur seminggu. Susu apa yang tepat, bagaimana cara memberikan susu itu kepadanya (mengingat ia belum bisa menjilat minuman), dan sebagainya. Saya juga menelepon salah seorang dokter hewan yang ada di Jakarta, menceritakan situasi yang ada, untuk kemudian meminta sedikit saran kepadanya mengenai cara memberi susu bagi si kucing kecil. Pendek kata, saya pun merawatnya. Memberinya susu lewat dot khusus bayi kucing, membersihkan badannya dengan tisue basah, mengelusnya, menemaninya belajar merangkak, hingga menonton tv bersama di sofa.

Baru dua minggu ia tinggal bersama saya saat suatu sore ketika saya sedang tidak ada di rumah, suami saya menemukannya bersembunyi di bawah rak sepatu dalam keadaan tak lagi bernyawa. Si kucing kecil berumur 3 minggu ini ternyata tak cukup kuat untuk bertahan hidup. Kehidupan lagi-lagi memberikan kejutannya yang tidak menyenangkan.

Sakit yang diri ini rasakan akibat kematian si kucing kecil sungguh sukar untuk digambarkan. Perasaan sedih dan ngilu seperti itu bahkan mungkin belum pernah saya rasakan selama ini. Rasa menyesal karena tak mampu merawatnya dengan cukup baik pun muncul. Namun sedih dan sesal tidak akan mampu membuat nafas si kucing kecil tersambung kembali, waktu pun tak bisa diputar balik. Jadi sekali lagi, yang perlu saya lakukan adalah menerimanya. Menerima kejutan tak menyenangkan dari sang pemberi kehidupan.

 

Setelah berpulangnya si kucing kecil, entah mengapa saya menjadi lebih ingin tahu seputar dunia perkucingan (dan hewan-hewan lain). Saya banyak mengunjungi laman dunia maya yang menunjukkan kondisi kucing dan beberapa hewan lain. Saya menajamkan pandangan dan pendengaran saat berada di luar rumah. Lambat laun, perhatian saya tak lagi terletak pada kondisi manusia semata, namun juga kondisi makhluk hidup-makhluk hidup lainnya.

Ketertarikan baru ini ternyata membawa saya pada hal-hal yang sangat mengejutkan dan memilukan hati. Penyiksaan, praktik jual-beli, perampasan kehidupan, dan sebagainya ternyata terjadi di mana-mana. Suatu kali, ada seorang breeder (pembiak) kucing yang mengunci, memisahkan anak-anak kucing dari induknya, tak memberi makan kucing-kucing tersebut, hingga mereka menderita malnutrisi, terserang berbagai virus, dan dua diantaranya mati secara mengenaskan. Suatu kali yang lain, ada 4 anak kucing kecil di dalam kardus yang (entah dipukuli atau diapakan), tergeletak di pinggir jalan dalam keadaan berdarah-darah, dua diantaranya mati. Suatu kali yang lain, ada 30 kucing dan anjing yang dijadwalkan untuk disuntik mati, karena tak juga ada yang mau mengadopsinya. Suatu kali yang lain, ada seekor harimau yang ditembak warga karena “mencuri” ternak mereka.

Masih banyak suatu kali-suatu kali yang lain yang tidak mungkin saya tuliskan satu persatu. Namun semua cerita tersebut seolah menegaskan pada saya, bahwa manusia, yang mengklaim dirinya sendiri beradab, ternyata bisa menjadi makhluk paling kejam dan paling rakus yang ada muka bumi ini. Yang memburu dan membunuh makhluk-makhluk hidup lain hanya untuk hobi dan kesenangan (bukan untuk makan atau bertahan hidup). Yang merampas tanah bumi ini dari para penghuni bumi yang lain dan tak menyisakan apapun untuk mereka. Yang mampu memusnahkan makhluk-makhluk hidup lain yang dianggap dapat “merusak” pemandangan kota jika dibiarkan berkeliaran. Kekejaman dan kerakusannyalah yang membuat bumi ini kian hari kian rusak. Kekejaman dan kerakusannyalah yang niscaya akan membuat bumi ini kehilangan keseimbangan alaminya.

 

Tentunya seperti yang kita ketahui bersama, kegilaan manusia tidak hanya ditujukan bagi makhluk-makhluk hidup lain. Kegilaan ini juga ditujukan bagi sesamanya. Tak usah saya jelaskan panjang lebar lagi bahwa karena sifat rakusnya, manusia memperbudak manusia lain untuk menumpuk kekayaan, yang waras akan tersingkir, yang berani bersuara tidak akan dibiarkan begitu saja oleh para monster-monster rakus ini. Kegilaan membuat mereka tak bisa merasakan kenyang, sebanyak apapun yang sudah ia dapatkan dan miliki. Kegilaan ini menular dengan cepat seperti virus yang mengerikan. Membuat manusia-manusia lain yang tak berpikir untuk menumpuk harta secara akumulatif, akan dicap aneh dan bodoh. Membuat mereka yang mau mendistribusikan apa yang dipunyai ke orang-orang yang membutuhkan, akan dianggap aneh dan bodoh. Membuat mereka yang lebih mencintai bumi dan semua makhluk hidup di dalamnya ketimbang barang-barang bermerek, akan diejek dan dianggap bodoh. Ya, kegilaan ini telah membuat yang waraslah yang terlihat gila.

 

Bukankah sukar untuk bertahan dalam dunia yang sudah serba gila ini? Semoga dengan religiusitas (religiusitas versi saya tentu saja, bukan versi khalayak), diri ini tidak akan kehilangan kewarasan dalam kegilaan yang semakin menggila ini.

Semoga.

Read Full Post »

“itu, buku Tan Malaka?”

 

Saya yang sedang sibuk mencari earphone di dalam tas, sedikit terkejut dengan sapaan itu. Dan segera menoleh ke arah sumber suara, yang tak lain berasal dari seorang pemuda yang duduk persis di sebelah saya, di dalam sebuah travel yang hendak melaju menuju Jakarta.

 

“iya, ini buku Dari Penjara ke Penjara. suka Tan Malaka juga?”, jawab saya sambil melirik ke arah buku yang tergeletak di dekat tas saya.

“saya juga sudah baca beberapa karyanya. saya heran saja, soalnya saya jarang ketemu dengan orang yang suka baca buku-buku semacam itu, apalagi perempuan.”, katanya diiringi sebuah senyuman.

 

Singkat cerita, kami berkenalan dan banyak berbincang seru selama perjalanan Bandung-Jakarta tersebut. Ternyata sang pemuda adalah seorang mahasiswa tingkat akhir yang sedang mengambil jurusan Ilmu Sejarah di sebuah perguruan tinggi di Jogja. Dan ternyata pula ia berasal dari Timor Leste, yang sudah merdeka dari Indonesia sejak tahun 2002 silam. Pantas saja sedari tadi saya tidak mampu mengenali logat yang ia pakai, jelas bukan Jawa, bukan pula Sunda, bukan Bali, bukan pula Batak. Sekalipun bahasa Indonesia yang ia gunakan sangat baik dan lancar.

Lantas seperti layaknya seorang yang kurang pergaulan dan kurang pengetahuan dengan dunia luar, saya pun girang luar biasa mengetahui teman baru ini adalah orang yang berasal dari “luar” Indonesia. Apalagi negara yang ia cintai itu cukup sering saya dengar di media karena konflik-konfliknya dan karena gosip-gosipnya (you know, Raul Lemos dan Krisdayanti itu loh). Dengan semangat 45, saya yang kuper dan suka penasaran ini mulai melancarkan aksi bertanya dan mengorek informasi tentang negara asalnya tersebut.

Darinya, saya baru tahu kalau sebenarnya sebelum Harto berkuasa di NKRI, Timor Leste sudah memproklamasikan kemerdekaannya sendiri dari jajahan Portugis. Saya juga baru tahu kalau saat Harto berkuasa, ia melakukan invasi yang cukup massif terhadap Timor Leste, yang berakhir dengan kemenangan di pihak Harto, untuk kemudian Timor Leste “dipaksa” bergabung ke Indonesia.  Pantas saja beberapa tahun silam saya ingat Pak Pram pernah berkata, “lho, ya sudah benar kalau Timor Timur itu memisahkan diri dan merdeka dari Indonesia. Indonesia ini kan dulu merdeka untuk membebaskan diri dari Kolonialisme dan Imperialisme Belanda. Kok setelah merdeka malah menjajah negara kecil di dekatnya.”

Pemuda ini terlihat jauh lebih tua dari usianya yang seharusnya masih 27. Gaya bertuturnya sopan, dengan suara yang pelan tapi tampak pasti. Gaya bicaranya tidak berapi-api seperti kebanyakan teman-teman saya di dunia sosial-politik, tapi nasionalisme yang kuat sangat terpancar dari setiap kata yang ia utarakan.

Setelah cukup puas dengan sejarah Timor Leste yang ia ceritakan, saya mulai bertanya mengenai aktivitas sosial-politik terkini di negaranya. Ia bercerita bahwa di sana sedang akan diadakan pemilihan parlemen. Ia bercerita tentang pemimpin yang sedang berkuasa saat ini, dan dari partai mana pemimpin itu berasal. Di antara beberapa partai besar yang mendominasi pemilu tersebut, ia pun mengungkapkan dukungannya terhadap sebuah partai besar yang berperan sebagai oposisi saat ini, ia menjelaskan karena permasalahan ideologi yang berbeda dengan partai-partai lain, maka partai yang ia dukung ini akan sulit untuk menang dari parta-partai lain yang sebagian besar berkoalisi dengan partai penguasa. Partai yang tidak hanya ia dukung, namun juga telah ia ikuti ini, dalam dugaannya akan kembali menjadi partai oposisi.

Setelah mendapatkan penjelasan mengenai partai yang ia dukung ini, saya pun segera mengetahui bahwa pemuda ini adalah seorang sosialis. Saya menjadi terheran-heran sendiri dengan pertemuan yang sangat kebetulan ini, dan bersyukur karenanya.

 

Di akhir perbincangan dan perjumpaan kami, yakni saat travel yang kami tumpangi telah tiba di pemberhentiannya di Jakarta, kami saling bertukar email, serta mengakhiri perjumpaan itu dengan jabat tangan dan tanpa ragu berkata,

“sampai bertemu lagi.”

 

 

Read Full Post »

Don’t like me? Cool.

Think i’m ugly? Don’t look at me.

Don’t know me? Don’t judge then.

Don’t act like you know who i am when you don’t.

You THINK you do, but you really have no fuckin clue who i am.

Oh God, why can you not just leave me the fuck alone for the love of all that is good and pure in this is foresaken universe?

Why? Why? WHY?

 

 

*Sorry for this angry post. But seriously, i can’t deal with this bullshit anymore.

 

 

Read Full Post »

“Dan alangkah indah kehidupan tanpa merangkak-rangkak di hadapan orang lain”

-Pak Pram-

 

Di antara kota-kota yang pernah saya kunjungi, Jogja selalu punya tempat tersendiri di hati saya. Tidak lebih istimewa dari Surabaya dan Bandung tentu saja. Tapi jika konteksnya adalah jalan-jalan yang saya lakukan baru-baru ini, Jogja adalah juaranya. Itu sebabnya dalam perjalanan kali ini, kota ini saya singgahi lebih lama jika dibandingkan dua kota lainnya. Secara fisik kota ini indah dan memiliki kebudayaan tradisional yang masih kental terasa. Mungkin itu sebabnya banyak turis lokal maupun asing yang berbondong-bondong mengunjungi kota ini.

Bangunan-bangunan kuno peninggalan Belanda seperti Benteng Vredeburg dan gedung yang kini difungsikan sebagai kantor Bank Indonesia terlihat sangat terawat, sehingga keindahan arsitekturnya tidak luntur ditelan usia. Tidak hanya bangunan-bangunan peninggalan Belanda, bangunan-bangunan tradisional berbentuk Joglo seperti yang bisa kita temukan di Kraton pun masih berada pada kondisi yang baik. Jogja juga tampak tidak terlalu terpengaruh dengan derasnya serbuan mall-mall yang sudah berhasil mengubah wajah kota-kota lain di negara ini, sebut saja Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Memang tetap ada mall di kota ini, tapi jumlahnya sangat terbatas. Selain itu, kota ini juga tidak semacet kota-kota lain.  Alih-alih angkot, kopaja, dan mobil, kota ini lebih memilih becak, andong, dan kaki sebagai alat transportasi yang meramaikan jalan-jalan kota.

Jalan malioboro yang legendaris itu juga tetap menjadi destinasi utama para turis. Deretan pertokoan dengan trotoar yang disesaki pedagang kaki lima menjadi daya tarik tersendiri. Hampir semua pedagang menjual pernak-pernik dan cinderamata khas Jogja, seperti pakaian batik atau aneka aksesoris etnik. Bagi yang gemar menawar harga, di sini surganya. Jika pedagang memberi harga sekian, berarti sebenarnya barang tersebut bisa kita bawa pulang maksimal dengan harga  setengahnya. Biasanya begitu.

 

Sebagai turis, harusnya yang melulu terlihat di kota ini adalah keindahan pariwisata, keunikan budayanya, dan keeksotisan penduduknya. Tapi ada sesuatu di kota ini yang lebih dari semua itu. Sesuatu itu membuat saya merinding. Apa itu? Pertama, aura feodalisme yang kental dan sifat penghambaan yang kuat dari masyarakatnya. Kedua, kepercayaan-kepercayaan yang bersifat klenik dan mistis masih sangat terasa. Yang menyedihkan,  hal ini malah menjadi suguhan menarik bagi para turis.

Contohnya saat suatu malam saya memutuskan untuk menonton pertunjukan Sendratari Ramayana di Purawisata. Harga tiket yang sangat mahal membuat saya segera tahu bahwa target pengunjung tempat wisata ini adalah turis asing, bukan turis lokal, apalagi masyarakat sekitar. Saya mengambil tempat duduk di tengah, sehingga pandangan saya lurus ke arah panggung. Sesaat sebelum pementasan dimulai, tiba-tiba cahaya redup berwarna kemerahan memenuhi area teater outdoor ini. Lalu di tengah panggung muncul seorang pria tua dengan pakaian tradisional Jawa. Pria itu melakukan ritual rutin sebelum pementasan dimulai, yaitu dengan membawa sesajen dan membaca doa-doa dari ujung ke ujung panggung. Untuk menambah aura mistis, adegan ini  dilatar belakangi kepulan asap. Saya tercenung, dan hanya mampu bergumam di dalam hati,

 

“What kind of bullshit is this?”

 

Jangan salah, saya sangat menghargai kebudayaan bangsa saya. Dan saya rasa semua orang berhak menikmati keindahan budaya ini, sama seperti semua orang berhak tahu tentang cerita Ramayana. Tapi saya tidak akan pernah setuju dengan tontonan yang melibatkan adegan-adegan klenik yang berbau mistis. Apalagi jika adegan tersebut sengaja “dijual” agar turis-turis asing semakin suka dengan pementasan ini. Hal klenik dan mistis bukanlah kebudayaan!  Pikiran saya menolak dengan tegas jika bangsa kami dijadikan tontonan menarik oleh orang-orang putih tersebut karena menampilkan ritual bodoh, konyol, dan penuh takhayul yang sengaja diekspos demi menaikkan penjualan. Hal-hal klenik semacam itu sudah seharusnya segera diusir dari kehidupan masyarakat negeri ini. Diberangus, dan dicabut hingga ke akar-akarnya! Budaya  yang indah ini tidak seharusnya dicampur dengan takhayul memuakkan seperti itu. Cerita dongeng, sejarah, kebudayaan harus dilihat dengan mata dan pikiran rasional, agar bisa dipetik pelajaran yang ada di dalamnya. Atau setidaknya nikmati mereka dengan kacamata estetika dan keindahan. Bukan dengan pengaruh takhayul yang membodohkan.

Itu pikiran saya, dan mungkin saja saya yang menanggapi hal ini dengan berlebihan. Kadang saya memang suka menjadi drama queen, terutama saat hati ini sedang marah.

 

Saya juga sempat mengunjungi kawasan Taman Sari. Kawasan ini terdiri dari tiga tempat, yaitu Istana Air, Masjid Bawah Tanah, dan pemandian Taman Sari. Di tengah teriknya sinar matahari, saya berkeliling ke tiga tempat tersebut dengan ditemani seorang pemandu wisata tidak resmi. Mengapa tidak resmi? Karena tiba-tiba seorang mas-mas berambut gondrong dengan pakaian seadanya ini mengiringi langkah saya dan sibuk menjelaskan sejarah masing-masing tempat tersebut. Istana Air dan Masjid Bawah Tanah tidak terlalu memberi kesan mendalam. Namun, saat saya mulai memasuki area pemandian Taman Sari dan menyimak penjelasan dari pemandu wisata tersebut, saya kembali murung. Pemandian ini dibangun sebagai tempat rekreasi Sultan bersama para selirnya. Tempatnya sangat indah dan mewah, apalagi untuk ukuran bangunan tahun 1700-an.

Saya berduka tentu bukan karena keindahan arsitekturnya. Melainkan karena menyadari bahwa hak berlebihan yang diterima para raja 300 tahun yang lalu, ternyata sama saja dengan hak berlebihan yang diterima “raja” di jaman ini. 300 tahun sudah berlalu. Kemerdekaan, reformasi, dan demokrasi yang banyak didengung-dengungkan, arus kesadaran dan pengetahuan yang seharusnya sudah dimiliki oleh sebagian besar masyarakat nusantara ini ternyata tidak mengubah kenyataan bahwa raja tetap memiliki hak-hak berlebihan di saat masyarakat yang dipimpinnya mungkin sedang dalam keadaan menderita dan serba kekurangan.

Herannya, dengan fasilitas berlebihan yang diterima Sultan (saat itu dan hingga saat ini), sebagian besar masyarakat yang dipimpinnya tetap patuh dan mengabdi dengan sepenuh hati. Sikap pengabdian yang susah untuk saya pahami. Saya juga sempat mengunjungi keraton dan berkeliling di dalamnya, dan masih sempat bertemu dengan para abdi dalem yang sudah bekerja puluhan tahun di dalam keraton degan kesetiaan dan penghambaan diri yang luar biasa terhadap Sultan.

Saya semakin tidak mengerti.

 

Tapi setidaknya ada satu hal yang saya mengerti dari perjalanan saya kali ini, bahwa walaupun dengan hati yang murung, saya benar-benar menikmatinya dan ingin melakukan perjalanan serupa ke tempat-tempat lainnya setiap 2-3 bulan sekali.

 

Cheers!

😀

 

Read Full Post »

Hari Kartini selalu dikaitkan agar kita mengingat perjuangan beliau terhadap kaum wanita.

Namun, dewasa ini, emansipasi selalu disikapi dengan berlebihan.

Bagi saya, wanita sampai kapanpun tidak bisa disama-samakan dengan pria.

Jadi sangat aneh dan tidak konsisten saat saya melihat ada seorang wanita yang bisa berkata “hei, ini jamannya emansipasi wanita” sekaligus menuntut pria untuk melakukan hal-hal seperti mengganti ban mobil atau memperbaiki genteng.

Kalau memang mau disetarakan, jangan hanya mau yang enak-enaknya dong, tapi konsisten! lakukan juga pekerjaan2 pria yang susah itu!

Sepertinya perjuangan Kartini banyak disalah artikan. Saya sendiri selalu beranggapan bahwa Kartini berjuang karena pada jamannya dahulu, banyak wanita yang ditindas oleh kaum pria.

Jadi jika kaum pria tidak lagi menindas kaum wanita dan membiarkan wanita berkembang, kenapa sekarang jadi banyak wanita yang menindas kaum pria ? Kenapa jadi banyak wanita yang menggembor-gemborkan emansipasi, tapi hanya dalam hal-hal yang enak dan menguntungkan pihak wanita itu sendiri ?

Coba dikaji ulang. Apakah tepat dan adil berbuat demikian?

Sampai kapanpun, wanita dan pria punya porsinya masing-masing. Memang sudah begitu kodratnya.

Bukan berarti wanita bisa ditindas seperti jaman dahulu kan? Bukan berarti wanita tidak bisa berkembang seperti jaman dahulu kan?

Tapi pria dan wanita memang berbeda, dan seperti yang tadi saya tulis, pria dan wanita punya porsinya masing-masing.

Read Full Post »

Banyak sekali pihak-pihak yang meremehkan perjuangan Kartini, dan membanding-bandingkan dengan perjuangan Cut Nyak Dien yang ikut bertempur di lapangan melawan Belanda.

Mereka-mereka yang meremehkan itu nampaknya belum mengenal Kartini dan belum tahu hal-hal apa saja yang dahulu dilakukan dan diperjuangkan oleh Kartini.

Mereka-mereka yang meremehkan itu nampaknya selalu beranggapan bahwa perjuangan fisik selalu lebih hebat dari perjuangan pikiran dan tulisan.

Apakah menurut mereka berperang di meja perundingan itu lebih gampang dibanding berperang di medan perang ?

Dangkal sekali jika ada yang menjawab ya.

Bagi saya, Kartini maupun Cut Nyak Dien adalah SAMA mulianya, mereka berjuang dengan cara yang berbeda. Itu saja yang membedakan.

Read Full Post »