Enam bulan sudah saya tidak lagi menulis. Dan alih-alih menulis, saya mencoba untuk lebih menghidupi hidup saya dan menghargai setiap detiknya. Saya mendapati diri ini menjadi lebih religius. Namun jangan bayangkan saya mengenakan pakaian-pakaian penanda religiusitas, menghabiskan uang dengan pergi ke negara-negara yang banyak disebut khalayak sebagai tempat religius. Religius bagi saya tidak pernah seperti itu. Religiusitas membuat saya percaya bahwa tidak semua hal bisa kita kendalikan sesuai dengan keinginan diri. Religiusitas mengajari saya untuk menerima kehidupan ini dengan tangan terbuka, menghargai setiap momen dengan menikmati suka dan duka yang silih berganti datang, berempati dengan keadaan yang terjadi di sekitar, serta tak terbawa arus modernitas yang melupakan esensi kehidupan itu sendiri. Religiusitas dapat membuat diri ini merasa kuat sekaligus lemah. Dua hal yang dibutuhkan oleh seorang manusia. Dengan merasa kuat, diri ini tidak perlu takut untuk menghadapi kejutan apapun yang akan diberikan oleh kehidupan. Sedangkan menyadari dan percaya bahwa ada kekuatan tak terjelaskan di luar sana, membuat diri ini memiliki rasa lemah. Rasa lemah yang ternyata diperlukan untuk mencegah diri ini menjadi pongah. Pendek kata, diri ini belajar untuk ikhlas.
Namun ikhlas ternyata bukanlah kata yang mudah. Setidaknya bagi diri ini.
Satu bulan yang lalu, tepatnya tanggal 1 Juni 2013, saya dan suami memutuskan untuk jalan-jalan dan nonton film Fast & Furious di mall Rasuna Epicentrum. Fast & Furious jelas bukan termasuk dalam genre film kesukaan saya, namun ikut berpartisipasinya salah satu artis Indonesia di film itu membuat saya dan suami sedikit penasaran. Selesai nonton, kami berbelanja beberapa kebutuhan rumah tangga di supermarket yang ada di dalam mall tersebut. Sore itu merupakan sore yang normal dan menyenangkan. Hingga saya dan suami selesai berbelanja dan kembali ke mobil kami di parkir basement mall. Sayup-sayup terdengar suara teriakan khas kucing kecil di dekat tempat kami parkir. Seonggok kucing kecil berwarna coklat berada di tengah-tengah area parkir, sendirian, dan sibuk berteriak. Mungkin mencari ibu dan saudara-saudaranya yang terpisah.
Saya pun segera memindahkan kucing kecil tersebut ke tempat yang lebih aman, agar ia tidak terlindas ban mobil yang melintas. Setelah saya pindahkan, tangisannya tak kunjung reda, maka saya pun memutuskan untuk menunggu di dalam mobil sampai si induk kucing tiba untuk membawa anak tersesat ini. Waktu berlalu dan induk kucing yang saya harapkan kehadirannya tak juga tiba. Mungkin ia memang tidak pernah tiba untuk menjemput si anak hilang ini.
Hati ini pun mulai sedih melihat si kucing kecil menjerit-jerit sendirian di atas beton basement yang dingin. Pilihan saya adalah membiarkan si anak kucing tetap berada di situ sendirian dan akhirnya mati kelaparan dan kedinginan, atau membawanya bersama saya. Membawa kucing kecil ini juga bukan pilihan mudah. Pertama, ia masih sangat bayi (saya duga kala itu ia baru berumur seminggu), sehingga ia belum bisa makan makanan padat, belum bisa menjilat minuman (seperti kucing kecil yang sudah lebih besar), belum bisa berjalan. Kedua, saya tidak berpengalaman merawat bayi kucing tanpa induk, saya tidak tahu harus memberinya makanan apa, dan saya sering dengar bahwa bayi kucing yang berumur di bawah 5 minggu tanpa induknya akan susah untuk bertahan hidup. Ketiga, saya tinggal di apartment bukan landed house, sehingga nantinya jika ia sudah bisa berjalan dan berlari, geraknya akan lebih terbatas.
Tapi saya tetap memutuskan untuk mencoba merawat si kucing kecil, alih-alih meninggalkannya sendirian di lantai basement mall.
Saya segera googling untuk mencari tahu cara merawat bayi kucing yang baru berumur seminggu. Susu apa yang tepat, bagaimana cara memberikan susu itu kepadanya (mengingat ia belum bisa menjilat minuman), dan sebagainya. Saya juga menelepon salah seorang dokter hewan yang ada di Jakarta, menceritakan situasi yang ada, untuk kemudian meminta sedikit saran kepadanya mengenai cara memberi susu bagi si kucing kecil. Pendek kata, saya pun merawatnya. Memberinya susu lewat dot khusus bayi kucing, membersihkan badannya dengan tisue basah, mengelusnya, menemaninya belajar merangkak, hingga menonton tv bersama di sofa.
Baru dua minggu ia tinggal bersama saya saat suatu sore ketika saya sedang tidak ada di rumah, suami saya menemukannya bersembunyi di bawah rak sepatu dalam keadaan tak lagi bernyawa. Si kucing kecil berumur 3 minggu ini ternyata tak cukup kuat untuk bertahan hidup. Kehidupan lagi-lagi memberikan kejutannya yang tidak menyenangkan.
Sakit yang diri ini rasakan akibat kematian si kucing kecil sungguh sukar untuk digambarkan. Perasaan sedih dan ngilu seperti itu bahkan mungkin belum pernah saya rasakan selama ini. Rasa menyesal karena tak mampu merawatnya dengan cukup baik pun muncul. Namun sedih dan sesal tidak akan mampu membuat nafas si kucing kecil tersambung kembali, waktu pun tak bisa diputar balik. Jadi sekali lagi, yang perlu saya lakukan adalah menerimanya. Menerima kejutan tak menyenangkan dari sang pemberi kehidupan.
Setelah berpulangnya si kucing kecil, entah mengapa saya menjadi lebih ingin tahu seputar dunia perkucingan (dan hewan-hewan lain). Saya banyak mengunjungi laman dunia maya yang menunjukkan kondisi kucing dan beberapa hewan lain. Saya menajamkan pandangan dan pendengaran saat berada di luar rumah. Lambat laun, perhatian saya tak lagi terletak pada kondisi manusia semata, namun juga kondisi makhluk hidup-makhluk hidup lainnya.
Ketertarikan baru ini ternyata membawa saya pada hal-hal yang sangat mengejutkan dan memilukan hati. Penyiksaan, praktik jual-beli, perampasan kehidupan, dan sebagainya ternyata terjadi di mana-mana. Suatu kali, ada seorang breeder (pembiak) kucing yang mengunci, memisahkan anak-anak kucing dari induknya, tak memberi makan kucing-kucing tersebut, hingga mereka menderita malnutrisi, terserang berbagai virus, dan dua diantaranya mati secara mengenaskan. Suatu kali yang lain, ada 4 anak kucing kecil di dalam kardus yang (entah dipukuli atau diapakan), tergeletak di pinggir jalan dalam keadaan berdarah-darah, dua diantaranya mati. Suatu kali yang lain, ada 30 kucing dan anjing yang dijadwalkan untuk disuntik mati, karena tak juga ada yang mau mengadopsinya. Suatu kali yang lain, ada seekor harimau yang ditembak warga karena “mencuri” ternak mereka.
Masih banyak suatu kali-suatu kali yang lain yang tidak mungkin saya tuliskan satu persatu. Namun semua cerita tersebut seolah menegaskan pada saya, bahwa manusia, yang mengklaim dirinya sendiri beradab, ternyata bisa menjadi makhluk paling kejam dan paling rakus yang ada muka bumi ini. Yang memburu dan membunuh makhluk-makhluk hidup lain hanya untuk hobi dan kesenangan (bukan untuk makan atau bertahan hidup). Yang merampas tanah bumi ini dari para penghuni bumi yang lain dan tak menyisakan apapun untuk mereka. Yang mampu memusnahkan makhluk-makhluk hidup lain yang dianggap dapat “merusak” pemandangan kota jika dibiarkan berkeliaran. Kekejaman dan kerakusannyalah yang membuat bumi ini kian hari kian rusak. Kekejaman dan kerakusannyalah yang niscaya akan membuat bumi ini kehilangan keseimbangan alaminya.
Tentunya seperti yang kita ketahui bersama, kegilaan manusia tidak hanya ditujukan bagi makhluk-makhluk hidup lain. Kegilaan ini juga ditujukan bagi sesamanya. Tak usah saya jelaskan panjang lebar lagi bahwa karena sifat rakusnya, manusia memperbudak manusia lain untuk menumpuk kekayaan, yang waras akan tersingkir, yang berani bersuara tidak akan dibiarkan begitu saja oleh para monster-monster rakus ini. Kegilaan membuat mereka tak bisa merasakan kenyang, sebanyak apapun yang sudah ia dapatkan dan miliki. Kegilaan ini menular dengan cepat seperti virus yang mengerikan. Membuat manusia-manusia lain yang tak berpikir untuk menumpuk harta secara akumulatif, akan dicap aneh dan bodoh. Membuat mereka yang mau mendistribusikan apa yang dipunyai ke orang-orang yang membutuhkan, akan dianggap aneh dan bodoh. Membuat mereka yang lebih mencintai bumi dan semua makhluk hidup di dalamnya ketimbang barang-barang bermerek, akan diejek dan dianggap bodoh. Ya, kegilaan ini telah membuat yang waraslah yang terlihat gila.
Bukankah sukar untuk bertahan dalam dunia yang sudah serba gila ini? Semoga dengan religiusitas (religiusitas versi saya tentu saja, bukan versi khalayak), diri ini tidak akan kehilangan kewarasan dalam kegilaan yang semakin menggila ini.
Semoga.