Bosankah kalian jika kali ini lagi-lagi saya akan membicarakan tentang Jakarta? Maafkan jika ya. Tapi saya merasa Jakarta memang luar biasa. Saya tidak tahan hanya duduk diam dan tidak berpikir tentangnya. Jakarta yang luar biasa ini memang menggiurkan untuk terus dikaji, dibahas, dan tentu saja dicela di berbagai kesempatan. Oh ya, saat saya mengatakan ‘luar biasa’, ada baiknya untuk tidak menganggap itu sebagai pujian, karena sesungguhnya memang bukan.
Keinginan membahas dan mencela ini kembali timbul sekitar satu bulan terakhir, saat Jakarta dilanda bencana kemacetan yang lebih dari biasanya. Kemacetan yang makin lama makin menggila di beberapa minggu terakhir ini, terutama berada di area Jakarta Pusat. Untuk perbandingan bahwa kemacetannya lebih dari biasanya, saya akan mengambil sebuah contoh peristiwa yang dialami oleh seorang kawan kantor saya yang bertempat tinggal di Rempoa (kawasan dekat Bintaro). Jika pulang dari kantor yang berlokasi di Tebet (Jakarta Selatan), biasanya ia menghabiskan waktu di jalan sekitar 2 jam dengan menggunakan mobil pribadi. Namun beberapa minggu terakhir, ia terpaksa menghabiskan 3-4 jam waktunya untuk bisa tiba di rumah.
Kawan saya ini masih cukup beruntung, karena ia “menikmati” macetnya Jakarta di dalam sebuah mobil sedan cukup mewah lengkap dengan kursi empuk, musik, AC. Lebih beruntung lagi mereka yang “menikmati” macet di dalam mobil mewah yang sudah dilengkapi dengan supir, tinggal tidur saja dan biarkan pak supir yang bertempur melawan macetnya Jakarta, daripada ikutan sumpek memikirkan ruwetnya Ibu Kota. Lantas bagaimana dengan warga yang harus naik kendaraan umum? Seperti angkot, kopaja, atau bus trans-jakarta? Bayangkan para warga yang berada di dalam bus yang penuhnya bukan main, sesak napas, berdiri berhimpitan dalam jangka waktu berjam-jam? Tidak hanya penumpangnya, bayangkan juga sang pengemudi angkot/kopaja/bus/taksi yang harus berjibaku dengan kemacetan separah itu setiap harinya, belum lagi target setoran yang harus mereka berikan kepada si bos setiap harinya. Bayangkan juga para pengendara sepeda dan sepeda motor yang harus menghirup asap knalpot di sekelilingya selama berjam-jam, belum lagi jika musim hujan seperti ini, bagaimana rasanya berada di kondisi basah kuyup dan kedinginan di tengah kemacetan?
Dengan kemacetan seperti itu, dan harus dilalui hampir setiap hari pula, maka saya tak akan heran jika banyak warga Jakarta yang depresi, tidak bahagia, bahkan mungkin perlahan berubah menjadi sinting. Tak heran pula jika semakin banyak warga yang menjadi gemar berpesta demi melepaskan stres, atau banyak keluarga yang berubah menjadi tak harmonis, atau perilaku warga yang kian hari kian beringas dan mudah tersulut emosi. Mengerikan memang efek kemacetan ini. Walaupun saya yakin bahwa kepenatan warga Ibu Kota bukan hanya disebabkan oleh kemacetan semata, namun juga karena banyak persoalan-persoalan lainnya.
Lantas, dengan kemacetan seperti itu, adakah yang bisa saya dan kita perbuat untuk setidaknya menguranginya? Saat saya mengatakan ” kita”, saya merujuk kepada para warga Jakarta non-pejabat dan non-aparatur negara yang lain, karena sudah putus asa rasanya menggantungkan harapan kepada mereka. Pejabat-pejabat itu lebih suka membunyikan nguing-nguing (bahasa kerennya: voorijder) di tengah kemacetan sehingga mobil mewah mereka bisa melenggang mulus membelah kemacetan. Para polisi lalu lintas itu juga tampaknya lebih tertarik dengan uang suap bagi mereka yang tertangkap sedang melakukan pelanggaran kecil, daripada benar-benar fokus untuk menguraikan macet Jakarta. Yah, memang tidak semua pejabat dan polisi lalu-lintas seperti itu, tapi yang sering saya temui di jalanan Ibu Kota memang yang berperilaku seperti itu.
Baik, kembali ke pertanyaan “dengan kemacetan seperti itu, adakah yang bisa saya dan kita perbuat untuk setidaknya menguranginya?”. Tentu saja ada. Caranya adalah..
1. Pindah dari Jakarta
Jangan terburu-buru marah membaca usulan ini. Walaupun terdengar kurang ajar, tapi ini adalah usulan yang cukup masuk akal. Kita semua pasti sadar, bahwa beban Ibu Kota terlalu besar. Penduduknya sudah terlalu banyak. Penduduk yang luar biasa membeludak ini tak mungkin lagi ditampung di lahan Jakarta yang terbatas. Diakui atau tidak, terima atau tidak, memang itu kenyataannya. Saya sadar sesadar-sadarnya bahwa sebagian besar warga datang ke Jakarta bukan dengan tendensi membuat Ibu Kota menjadi penuh sesak, namun “didesak” kebutuhan untuk mengais rejeki. Dan apalah bisa dikata, bahwa perputaran modal di Jakarta yang begitu luar biasa ini membuat banyak masyarakat negeri ini memutuskan untuk hijrah dan menetap di Ibu Kota.
Saya hanya ingin mengatakan, jika toh saya dan kalian bisa mengais rejeki di kota lain, mengapa tak coba dilakukan saja? Toh demi kebaikan kondisi mental dan pikiran diri sendiri. Demi kebaikan warga Jakarta lain yang mau-tak-mau memang harus tetap tinggal di Jakarta karena tak punya pilihan lain. Selagi saya dan kalian punya pilihan, kenapa tidak?
Jika ada yang dengan nada sinis menghujat saya dengan pertanyaan “lo sendiri ngapain juga masih di Jakarta?”. Pertanyaan bagus kawan. Karena saya sendiri akan dengan senang hati pindah dari sini, dan sedang mengusahakan agar suami saya bisa dipindah ke kota selain Jakarta. Lagipula, siapa pula yang mau membesarkan anak dengan kondisi sekolah yang penuh bully dan senioritas, kekerasan, tawuran, dan gaya hidup yang berorientasi pada materi, seperti yang banyak ada di sekolah-sekolah di Jakarta? Saya kira bukan hanya saya yang tidak ingin.
2. Hentikan memakai mobil pribadi, jika hanya berkendara sendirian atau berdua.
Baik, jika pindah dari Jakarta bukan opsi yang baik karena belum ada pilihan lain, maka setidaknya jangan menggunakan mobil pribadi jika hanya berkendara sendirian atau berdua. KECUALI, anda berkendara di malam yang telah larut, atau sedang membawa wanita hamil, wanita menyusui, orang yang tua renta, dan orang sakit, maka jangan lakukan kebiasaan manja yang berakibat buruk terhadap sekitar tersebut. Naik moda transportasi umum tidak seburuk itu kok. Cobalah sekali-kali sedikit menurunkan kadar manja dan kadar gengsi demi kepentingan bersama.
Jika khawatir dengan masalah keamanan, tips dari saya yang sudah terbiasa wira-wiri dengan menggunakan moda transportasi umum adalah, pertama, jangan menggunakan pakaian atau apapun yang terlalu menarik perhatian. Menggunakan segala sesuatu yang wajar akan menghindarkan kita dari pandangan mereka yang bermaksud tidak baik.
Kedua, siapkan diri anda dengan ilmu bela diri, serius ini. Jika belum bisa, maka persenjatai diri anda dengan alat-alat yang bisa digunakan untuk membela diri di saat darurat, misalnya semprotan yang bisa membuat mata lawan menjadi pedih, pisau lipat, atau bahkan senjata api (jika memang ada).
Ketiga, siapkan mental dan keberanian, walaupun memiliki senjata di dalam kantong, tanpa keberanian cukup, senjata tersebut tidak akan ada artinya. Dengan mental dan keberanian, kita bisa melakukan apapun yang dirasa perlu di keadaan darurat, seperti menendang, menyikut, meninju, dan sebagainya.
Sebenarnya saya ingin memberikan alasan keempat, namun saya yakin saran keempat ini tidak masuk akal bagi sebagian besar orang (walaupun masuk akal bagi saya), dan tentu saja saran keempat ini tidak bisa dilakukan di sembarang kondisi. Yaitu empati. “Empati pada penjahat? Nggak salah?”. Siapa sih yang kita definiskan sebagai penjahat itu? Penipu? Perampok? Copet? Bagi saya, kadang-kadang kita harus berusaha untuk melihat lebih jauh dari apa yang sekedar terlihat di permukaan. Saat di tengah jalan ada yang menghampiri kita untuk memalak harta benda kita, jangan buru-buru menjudge orang tersebut adalah penjahat. Siapa yang tau jika si pemalak memang sedang butuh dana untuk biaya rumah sakit anaknya? Siapa yang tau jika si pemalak belum makan selama 2 hari? Jika kondisi memungkinkan, mengapa tidak jika kita ajak bicara dan beri saja si pemalak itu jumlah uang yang memang ia butuhkan? Namun, lain ceritanya jika si pemalak mengancam keselamatan pribadi kita, di titik ini saya pikir kita harus mempertahankan keselamatan diri sendiri dengan saran kedua dan saran ketiga di atas.
Oke, saya maklum jika banyak yang tidak setuju dengan saran aneh nomer empat, tapi itu hanya sekedar pendapat pribadi untuk melihat segala sesuatunya lebih dari yang hanya terlihat oleh mata. Namanya juga saran..
Masalah lain yang biasa dikeluhkan mereka yang tak mau naik moda transportasi umum adalah: kenyamanan. Untuk masalah ini, apa mau dikata kawan, saran saya hanyalah: biasakan diri anda dengan ketaknyamanan. Takut gerah? Maka jangan pakai baju berwarna gelap atau baju berlapis-lapis. Takut gosong karena kepanasan saat lama menunggu angkot? Maka pakailah sunblock, topi, atau payung. Lagipula matahari di atas jam 9 pagi memang tak baik untuk kesehatan kulit. Takut keseleo saat berjalan di jalur pedestrian yang kondisinya memilukan? Maka gunakan sepatu flat yang nyaman, high-heelsnya disimpan sampai di tempat tujuan. Takut capek berdiri di bus trans-jakarta? Maka bayangkan petugas pembuka pintu bus trans-jakarta yang harus berdiri setiap saat. Atau kalau terpaksa, pasang saja tampang memelas, niscaya ada mas-mas baik hati yang akan memberikan tempat duduknya pada kita. Takut bosan selama berada di angkutan umum (kalau di mobil sendiri kan bisa sambil dengerin musik)? Maka ajaklah bicara orang-orang di sekeliling anda. Mereka terlihat sombong atau nggak mau diajak ngobrol? Ya ajak ngobrol aja supir angkot, biasanya cerita-cerita mereka seru dan luar biasa lho.
Jadi, masalah keamanan dan kenyamanan sebenarnya bisa diatasi kan jika kita mau sedikit saja menurunkan kadar manja dan kadar gengsi? Percayalah, moda transportasi umum di Jakarta tidak seburuk itu jika kita mau membuka hati kita, berhenti menghujat pemerintah (ngapain capek-capek? percuma, mereka nggak akan dengerin juga) dan mulai melakukan apa yang bisa kita lakukan.
3. Usahakan memilih tempat tinggal yang dekat dengan tempat beraktivitas
Bagi yang masih single, tentu tak susah untuk menyewa kamar kost yang dekat dengan sekolah/kampus/kantor? Bagi yang sudah berkeluarga, mungkin agak sulit. Bagaimana tidak? Harga properti di tengah kota Jakarta itu mahalnya sudah tak terkira lagi, jika bukan orang yang kaya-raya, rasanya hampir mustahil membeli tanah/rumah di tengah kota. Sehingga memang menjadi wajar jika akhirnya banyak yang memutuskan untuk tinggal di kota-kota kecil di dekat Jakarta, seperti Bekasi, Tangerang, Depok, Bogor dan dari Senin-Jumat bolak-balik ke Jakarta untuk bekerja. Namun sekarang ada banyak pilihan tempat tinggal di tengah kota yang harganya cukup terjangkau, misalnya Apartemen dan Rumah Susun. Tinggal di hunian yang dekat dengan tempat beraktivitas tidak hanya akan mereduksi kemacetan, namun juga mengehmat waktu dan tenaga kita (yang lebih baik kita manfaatkan untuk hal-hal lain ketimbang terjebak di tengah kemacetan), juga hemat energi! Bayangkan berapa banyak BBM yang bisa dihemat jika sebagian besar masyarakat tinggal berjalan kaki saja menuju tempat mereka beraktivitas.
Yah, jika semua opsi untuk tinggal di tempat yang dekat dengan tempat beraktivitas benar-benar tidak memungkinkan, maka saya akan kembali ke solusi dua, yaitu tetaplah teguh menggunakan moda transportasi umum untuk jarak jauh, seperti KRL atau bus umum.
Oke, cukup sudah membicarakan solusi untuk mengatasi kemacetan. Dangkal ya? Ya nggak apa-apa. Soalnya saya memang cuma mau memberi tips yang bisa segera dilakukan oleh rakyat-jelata-tak-berdaya semacam saya, saya nggak mau repot ngomongin kebijakan pemerintah anu dan inu yang harus diambil untuk mengatasi kemacetan. Kalau kompak, semuanya mungkin kok, dengan atau tanpa bantuan para aparatur negara dengan segala kebijakan mereka yang lambat dan kurang jelas.
Masalah Jakarta berikutnya yang patut dicela adalah: banjir.
Yah, berhubung saya belum pernah mengalami sendiri banjir Jakarta (saya tinggal di daerah yang tidak banjir), saya juga kurang jelas apakah permasalahan banjir Jakarta itu karena banjir kiriman, karena masyarakat memang suka buang sampah di kali dan got, atau karena gorong-gorong yang tidak cukup besar dan sistem drainase yang belum baik. Sungguh, saya tidak tahu akar permasalahannya. Maka hal yang bisa dilakukan oleh masyarakat umum untuk mengantisipasi atau setidaknya mereduksi banjir adalah: menjaga kebersihan (sekali lagi, saya tidak ada urusan dengan pemprov, pemkot, dan teman-temannya itu).
Menjaga kebersihan itu terdengar sangat sangat mainstream dan klise bukan? Tapi bagi saya, itu memegang peranan sangat penting. Dan jangan dikira mudah melakukannya. Dengan kebiasaan menahun masyarakat yang gemar membuang semua-muanya ke jalanan dan ke kali, sulit untuk mulai membuang sampah ke tempat yang seharusnya. Saya kira bagus juga pengolahan sampah secara mandiri yang sudah banyak dilakukan di kampung-kampung di Jakarta. Atau program kerja bakti yang rutin diadakan seminggu sekali di berbagai permukiman warga. Buang sampah pada tempatnya, pengolahan sampah secara mandiri, dan kerja bakti membersihkan lingkungan sangat baik dan penting untuk dilakukan secara konsisten. Dalam kaitannya dengan banjir Jakarta, tujuannya hanya satu, yaitu agar kali, got, dan gorong-gorong menjadi bersih dan bebas sampah.
Ngomong-ngomong soal pengolahan sampah, khusus untuk sampah organik (sisa makanan, kuah makanan, kulit buah, tulang ayam, dll) bisa diolah secara mandiri oleh setiap keluarga yaitu dengan cara membuat lubang resapan biopori di halaman rumah. Yang mahasiswa/lulusan arsitektur pasti sudah sering dengar, kan? Buat yang lain yang belum pernah dengar, lubang biopori adalah lubang kecil berdiameter sekitar 10 cm dengan kedalaman sekitar 1 meter. Lubang-lubang ini (ya, lebih dari satu, setiap rumah biasanya punya beberapa lubang biopori) kita isi dengan sampah organik hingga penuh. Biasanya setelah satu minggu, lubang ini telah kosong (karena sampah organik telah melebur, somehow) dan bisa kita isi lagi dengan sampah organik lain. Lubang biopori tidak hanya berguna untuk pengolahan sampah organik secara mandiri, namun juga berguna untuk meningkatkan kemampuan tanah dalam menyerap air, sehingga dengan kata lain memperkecil kemungkinan terjadinya banjir. Apalagi jika semakin banyak warga (yang punya halaman di depan atau belakang rumahnya) berinsisiatif untuk membuat lubang resapan biopori seperti ini, maka kemungkinan banjir akan semakin kecil. Menakjubkan bukan mengetahui bahwa hal-hal kecil ternyata bisa berdampak luar biasa?
Masalah lain Jakarta adalah… ruang publik yang terlalu sedikit. Selain mall, tentunya. Lagipula memangnya mall itu ruang publik? Kalau benar ya, maka cobalah berdandan kumal dengan membawa karung yang dipenuhi botol plastik, dan beritahu saya jika dengan dandanan seperti itu, kamu tetap diijinkan oleh sekuriti mall untuk masuk dan berajalan-jalan di dalam mall. Ruang publik yang saya maksud itu kalau di Jakarta contohnya Taman Tebet. Serius deh, di sana siapapun boleh masuk dan melakukan aktivitas, seperti lari pagi, senam, pacaran, foto-foto, syuting film, baca buku, main sepak bola, main voli, bengong sambil dengerin musik, dan lain-lain. Siapa saja boleh masuk dan menikmati fasilitas di taman tebet itu. SIAPAPUN, pengusaha kaya raya yang lagi mau olahraga, pemulung, tukang gorengan (asal jangan bawa gerobak segede gaban), mahasiswa, anak kecil, orang tua, dua sejoli, sekeluarga besar yang mau piknik, cowo serem bertatto yang lagi pengen menyendiri, mbak-mbak pake piyama dan sendal jepit, dan lain-lain. Dan tempatnya benar-benar nyaman karena di sana terdapat tumbuhan dan pohon-pohon lebat. Gratis pula! Nggak kayak di mall yang kalau mau duduk aja musti beli sesuatu. Beda, kan?
Nah, kurangnya ruang publik semacam taman tebet ini tentunya berdampak tidak baik bagi aktivitas sosial warga Jakarta. Mau lari pagi, nggak ada tempat. Mau main bola, nggak ada tempat juga, padahal nggak ada duit buat sewa lapangan futsal. Mau pacaran atau kongkow sama teman, harus ke mall deh, tapi nggak punya uang buat nongkrong di starbucks, nggak punya pakaian yang “keren” juga kayak anak-anak orang kaya itu, jadilah dikatain ndeso dan alay. Punya anak kecil, mau ngajak jalan-jalan, tapi jalan ke mana, sekarang semuanya harus bayar, padahal penghasilan pas-pasan. Susah ya bok. Padahal, ruang publik ini memberi dampak positif sangat banyak. Anak-anak jadi punya tempat untuk bermain, orang dewasa punya tempat untuk bersosialisasi, bercengkerama bersama teman atau keluarga, berolahraga, atau menyendiri sambil baca buku di sebuah taman kota yang indah dan rimbun. Bahkan tidak menutup kemungkinan untuk mengenal orang-orang baru yang kita temui di ruang publik tersebut.
Ruang publik ini yang dibutuhkan warga bukan hanya yang berupa taman dan ruang bermain saja, tapi seyogyanya juga ada ruang publik yang fungsinya seperti perpustakaan yang penuh dengan buku-buku menarik, serta ada ruang-ruang santai untuk siapapun membaca. Yah, ada sih Perpusnas, tapi sebelum komentar, coba ke sana dulu, dan bilang ke saya kalau kamu betah berlama-lama berada di sana. Perpustakaan untuk publik hendaknya juga bisa berfungsi sebagai ruang belajar bersama. Ruang publik seperti bale (atau apapun yang memiliki shelter) yang berguna untuk mengadakan rapat-rapat organisasi atau sekedar untuk ngobrol dan kongkow bersama teman juga rasanya perlu. Kalau musim hujan, kan nggak mungkin juga ya jadi basah kuyub karena kongkow di tengah-tengah taman.
Jenis ruang publik lain misalnya adalah lahan yang bisa dimanfaatkan bersama untuk bertani, menanam sayuran dan buah, memelihara ternak, dan membudidayakan ikan. Mengapa harus membiarkan sebidang tanah yang luas kosong jika tanah itu bisa dimanfaatkan oleh warga lain untuk bercocok tanam dan berternak?
Banyak jenis ruang publik yang dibutuhkan, dan jika lagi-lagi kita tak bisa mengandalkan pemerintah dan aparatur negara yang lain dengan segala kebijakan mereka, maka mari kita mulai dari diri sendiri. Punya rumah dengan satu kamar kosong tak terpakai? Maka manfaatkan ruangan tersebut untuk ruang baca terbuka bagi aak-anak sekitar. Punya taman yang cukup luas? Maka ajak warga sekitar untuk memanfaatkan taman tersebut, sebagai ruang bermain atau mungkin untuk bercocok tanam. Punya dua rumah, dan salah satunya kosong? Mengapa tak biarkan rumah kosong itu dihuni oleh beberapa keluarga yang setiap harinya harus tidur di emperan toko atau di dalam gerobak? Di rumah ada kolam renang yang jarang dipakai? Panggil anak-anak sekitar untuk berenang di sana.
Oke, tulisan saya kali ini panjang sekali ya. Sebenarnya masih banyak permasalahan Jakarta yang patut kita cela sekaligus kita cari tahu solusi yang bisa diterapkan langsung di kehidupan sehari-hari, namun tangan saya sudah mati rasa karena terus-terusan mengetik. Jadi untuk kali ini, mari kita sudahi dulu.
Mari mulai merubah diri sendiri, daripada berkoar-koar agar pemerintah merubah sikap dan kebijakan mereka. Mari mulai lakukan apa yang bisa kita lakukan, daripada stres memikirkan sebagian besar pemimpin negara yang nampaknya tak menaruh perhatian akan permasalahan warganya. Untuk lingkungan yang lebih baik!
🙂
Sepakaaat!
toss!