Feeds:
Pos
Komentar

Posts Tagged ‘guru’

Digugu dan ditiru.

Saya pernah membaca di sebuah majalah. Kata “guru” berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya pembimbing rohani. Namun orang Jawa mengutak-atik kata tersebut menjadi “orang yang harus digugu (didengar ucapannya) dan ditiru (tingkah laku dan perbuatannya)”.

 

Sejak kecil, kehidupan saya tidak pernah lepas dari sosok bernama guru. Mulai dari guru TK, SD, SMP, SMA, hingga dosen saat kuliah. Mulai dari guru mengaji, bahasa inggris, piano, berenang, hingga tennis. Kehidupan saya selalu diisi sosok guru. Dan sampai sekarang saya masih bisa mengingat satu-persatu wajah dan nama guru yang pernah singgah di dalam hidup saya, dan mengenang segala pengalaman yang menyertainya.

Lantas, entah sejak kapan, saya pun ingin menjadi seorang guru nantinya. Ditambah sederetan “pengalaman” saya menjadi “guru” bagi kedua adik kandung saya dan seorang adik sepupu saya. Saya memang suka membagi ilmu saya. Dan bisa dibilang saya punya kesabaran untuk mengulang dan mengulang materi yang saya tularkan agar benar-benar dipahami oleh adik-adik saya tersebut. Mungkin itu salah satu kelebihan saya, walaupun secara keseluruhan saya sama sekali bukan orang yang penyabar.

 

Sejak tahun 2006, tahun di mana saya hijrah ke Bandung dalam rangka kuliah, saya tidak lagi “aktif” menjadi “guru” bagi adik-adik saya. Namun kesempatan menjadi guru kembali datang tidak lama setelah saya lulus kuliah. Tidak tanggung-tanggung, kesempatan ini memungkinkan saya pergi sejenak dari kehidupan saya di kota yang hingar-bingar ini menuju dusun-dusun pelosok yang sunyi senyap, selama setahun.

“Lumayan lah, saya bisa sedikit melihat kondisi sosial-masyarakat pedalaman di negeri ini, sekalian sedikit terapi  dan meditasi bagi diri sendiri”, begitu pikir saya. Menjadi guru kelihatannya juga menyenangkan, apalagi yang ditawarkan adalah posisi guru SD. Dan saya suka sekali dengan anak-anak. Yah, walaupun hanya sebatas suka bermain dengan mereka saja. Kalau dalam hal cara mendidik yang baik dan benar, sejujurnya pengetahuan saya bisa dibilang nol besar.

Lalu, tanpa banyak ba-bi-bu saya pun segera mendaftarkan diri.

Tahap awal adalah mengirim data diri lengkap dan membuat delapan buah essay, kalau tidak salah.

Tahap berikutnya adalah self presentationforum group discussion, wawancara, dan simulasi mengajar.

Tahap berikutnya adalah cek kesehatan.

Dan saya mesti mundur pada tahap terakhir ini karena tidak berhasil mengantongi izin dari orang tua. “Perempuan di pelosok? Berbahaya itu. Bisa menimbulkan prahara  budaya.”, begitu nasehat papa waktu itu. Walaupun saya tidak paham  betul apa yang papa maksud dengan prahara budaya. Tapi sudahlah. Menyakiti hati kedua orang tua saya adalah hal yang tidak pernah terpikir di benak saya. Sehingga saya menurut, dan menghabiskan berpak-pak tisu menangisi dan menyesali keputusan itu.

 

Saya anggap saya belum berjodoh dengan kesempatan menjadi guru SD di pelosok. Saya pun menjalani kembali kehidupan saya di kota yang hingar bingar ini, dengan tetap berkeyakinan bahwa suatu hari saya akan menjadi guru, walaupun belum tentu profesi guru. Guru kan tidak selalu sama dengan profesi guru? Dan saat kesempatan itu datang, saya ingin bersungguh-sungguh agar menjadi guru yang baik. Bukan guru yang hanya rajin menggurui, atau merasa paling tahu dan paling pintar. Bukan pula guru yang menjelek-jelekkan dan menjatuhkan mental muridnya. Saya hanya ingin menularkan ilmu dan pengetahuan yang saya  miliki, setelah itu terserah mereka (para murid) mau meng-apa-kan ilmu dan pengetahuan tersebut. Karena seperti kata salah seorang teman saya, bahwa “ilmu dan pengetahuan yang tidak dibagi itu hanya akan menjadi seonggok sampah di dalam diri.”

 

Lalu seperti kejatuhan durian runtuh, seoarang sahabat tiba-tiba menawarkan sebuah kesempatan kepada saya untuk menjadi guru, menggantikan posisinya, karena ia sendiri akan pergi melintasi benua untuk melanjutkan studinya.

Saya pun kegirangan bukan main.

 

Saya: MAU! Guru apa?

Si Sahabat: Guru Fisika. Gimana?

 

Saya tertegun. Karena sejujurnya, tidak pernah terpikirkan untuk menjadi guru Fisika. Selama ini saya berpikir akan menjadi guru Menggambar. Atau guru Bahasa Inggris. Atau guru Berenang. Atau guru Paduan Suara. Atau mungkin guru Bahasa Indonesia. Atau setidaknya guru Kimia, di mana nilai saya hampir selalu seratus saat SMA dulu.

Tapi Fisika? Wah, saya tidak mahir di bidang ini.

 

Saya: Susah tak jadi guru Fisika? Eike gak terlalu pinter Fisika loh.

Si Sahabat: Cincay lah. Pasti kamu bisa kok.

 

Baiklah, lebih baik saya percaya saja dengan kata-katanya. Karena bukankah saya sudah menunggu-nunggu kesempatan untuk menjadi guru?

Beberapa proses pun harus dilalui agar official menjadi guru Fisika di tempat yang akan ditinggalkan oleh si sahabat. Dan yang menarik adalah, saya diperkenankan menjadi guru Fisika di waktu senggang saya, misalnya sepulang kantor atau saat akhir pekan. Sehingga saya bisa tetap menulis.

Dalam hitungan minggu, semester baru akan dimulai. Dan saya akan memulai peran baru saya sebagai guru Fisika. Menyiapkan materi pelajaran, belajar pengetahuan dan hal-hal baru seputar dunia Fisika, mengajar di depan kelas, menjawab rentetan pertanyaan dari murid, memeriksa pekerjaan mereka, dan mendongeng di depan kelas, tidak lama lagi akan menjadi keseharian saya.

Perasaan nervous dan excited rasanya campur aduk menjadi satu!

 

Read Full Post »